ZONAUTARA.com – Kasus dugaan tindak pidana perempuan dan anak (TPPA) di bawah umur hasil dari penggerebekan yang dilakukan oleh Satuan Resmob Polres Kotamobagu pada pekan lalu (31/7/2024) di My Hotel Kotamobagu mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
Sorotan tersebut terkait dengan predikat yang diperoleh Kotamobagu sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pemkot Kotamobagu meraih prestasi KLA pada medio 2023, karena dinilai memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak, dan mampu mengimplementasikannya dengan baik dalam kebijakan, program, dan infrastruktur yang ramah anak.
Pada penggerebekan tersebut, polisi mengamankan seorang terduga, MK alias Surti. Terduga pelaku yang menyamar sebagai joki becak motor (bentor) ini juga berperan sebagai mucikari. Bersama Surti, diamankan tiga orang anak perempuan yang masih di bawah umur berstatus pelajar SMP.
Dari keterangan penyidik PPA Polres Kotamobagu, ketiga anak ditawarkan oleh Surti kepada pelanggannya. Ketiga anak ini juga mendapat tekanan dari Surti jika setoran yang ia tetapkan tidak sesuai atau jika mereka tidak mendapat pelanggan.
“Kami masih terus melakukan pemeriksaan,” ujar Penyidik PPA Polres Kotamobagu, Yani Maringka, Rabu, (31/7/2024).
Kasi Humas Polres Kotamobagu, AKP I Dewa Gede Dwiadnyana dalam konfirmasi lanjutan mengatakan, penggerebekan bermula dari laporan salah satu orangtua korban ke Polres Kotamobagu.
Tim Resmob kemudian melakukan penyelidikan dan pengumpulan keterangan di lapangan. “Hasilnya, korban ditemukan di sebuah hotel yang ada di Kotamobagu. Setelah ditemukan, korban diinterogasi dan mengaku telah melakukan hubungan badan layaknya suami istri dengan terduga pelaku,” jelas Dewa.
Berdasarkan informasi dari korban, Tim Resmob kemudian melakukan pengembangan dan berhasil menemukan terduga pelaku Surti di hotel yang sama. Pelaku segera diamankan dan dibawa ke Polres Kotamobagu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Terkait motif, Dewa mengatakan pelaku mengajak korban yang berada di hotel tersebut untuk melakukan hubungan badan. “Untuk saat ini, pelaku bertindak sendiri,” tambahnya.
Menurut Dewa, Surti kini dijerat dengan Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Polres Kotamobagu telah melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder terkait, termasuk UPTD PPA Kota Kotamobagu, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan untuk penanganan kasus ini.
Mengenai faktor-faktor yang dapat memperberat atau meringankan hukuman, Dewa menyebutkan bahwa unit PPA hanya menjelaskan ancaman hukuman maksimal dan minimal yang dapat dikenakan kepada pelaku.
Predikat Kota Layak Anak
Kejadian ini mengejutkan masyarakat, terutama karena Kota Kotamobagu telah dinyatakan sebagai Kota Layak Anak (KLA) Kategori Nindya pada Tahun 2023. Program KLA adalah inisiatif Pemerintah yang bertujuan agar kota-kota di Indonesia memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak. Kategori Nindya menunjukkan sebuah tingkat implementasi yang baik dalam hal kebijakan, program, dan infrastruktur yang ramah anak.
Program Kota Layak Anak dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan pencapaian dan implementasi indikator yang ada, yaitu Pratama, Madya, Nindya, dan Utama.
Kota Kotamobagu, yang menyandang kategori Nindya, diharapkan telah mencapai tingkat implementasi yang baik dalam berbagai aspek yang ramah anak, termasuk pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, serta partisipasi anak dalam pengambilan keputusan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kotamobagu, Sofyan Mokoginta, menyatakan bahwa Pemkot akan segera mengadakan rapat koordinasi dengan dinas terkait untuk menangani masalah ini.
“Dengan adanya laporan ini, hal pertama yang akan kami lakukan adalah segera melaksanakan rapat bersama OPD-OPD terkait untuk menindaklanjuti,” ujar Sofyan, saat ditemui ZONAUTARA.com, Rabu, (31/7/2024) di ruang kerjanya.
Sebagai langkah pencegahan, Pemkot Kotamobagu berencana mengeluarkan surat edaran yang melarang anak di bawah umur menginap di hotel tanpa pengawasan orang tua. “Kami akan membuat edaran di setiap hotel maupun penginapan untuk melarang anak di bawah umur menginap sendiri atau bersama teman-teman tanpa orang tua,” jelas Sofyan.
Pemkot juga akan mengimbau pemerintah kecamatan, desa, dan kelurahan untuk mensosialisasikan bahaya perdagangan anak serta pentingnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak mereka.
“Kami mengimbau pemerintah setempat mulai dari camat, sangadi, dan lurah untuk mensosialisasikan tentang trafficking dan memberikan edukasi kepada keluarga tentang bagaimana menjaga anak-anak mereka, terutama yang sudah putus sekolah,” tambahnya.
Selain itu, Pemkot akan melakukan razia serta meninjau perizinan hotel yang diduga menjadi tempat transaksi penjualan anak di bawah umur. “Jika terbukti, akan ada tindakan tegas,” tegas Sofyan.
Pandangan budayawan dan upaya pencegahan
Budayawan Mongondow, Chairun Mokoginta, memberikan pandangan mendalam terkait kasus perdagangan anak ini. Menurut Chairun, dalam perspektif budaya Mongondow, seseorang dianggap dewasa ketika mencapai usia akil balig.
“Adat Mongondow juga mengenal kinolatag atau perlindungan kaum wanita. Perlakuan terhadap perempuan yang tidak wajar adalah pelanggaran adat, terutama yang masih di bawah umur,” jelas Chairun, Minggu, (4/8/2024) saat dihubungi ZONAUTARA.com.
Menurut Chairun, pelanggaran adat seperti ini termasuk membawa lari anak orang, yang merupakan tindakan serius dalam budaya Mongondow.
“Tidak lepas dari peran pemerintah daerah dan pihak keamanan, termasuk tokoh adat di desa, harus secara komprehensif melakukan pencegahan,” tambahnya.
Chairun mengusulkan program Budayawan Menyapa Siswa (BMS) di mana setiap sekolah mendapatkan sesi pengenalan budaya serta alat musik, termasuk pemahaman muatan lokal Mongondow.
“Hukumannya dalam budaya kami bisa termasuk diusir dari kampung dan dikenakan denda adat yang besar, serta dikucilkan,” tambah Chairun.
Upaya sosialisasi dan edukasi
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Sarida Mokoginta, saat ditemuai ZONAUTARA, Kamis, (1/8/2024) mengaku baru mengetahui dugaan prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur tersebut. Ia mengatakan terlalu dini jika menyebut kasus tersebut sebagai perdagangan orang.
“Torang juga ndak bisa bilang bahwa dorang juga itu penjual atau pembeli (Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka penjual atau pembeli, red-). Sekarang kami sedang koordinasi dengan Polres untuk mendalami kasus ini seperti apa, yang jelas data ketiga anak tersebut beserta satu orang yang ditahan sudah ada,” jelas Sarida.
Kendati demikian, Sarida mengatakan bahwa DP3A akan meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. “Kami akan lebih intens lagi memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” kata Sarida.
“Kolaborasi dengan berbagai dinas dan lembaga akan terus ditingkatkan.Ini tugas bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan semua pihak terkait,” ujarnya.
Sarida menambahkan, DP3A UPTD-PPA Kotamobagu akan mendampingi apabila ada korban, terutama yang di bawah umur.
Menanggapi kejadian ini, Nurhasanah dari LSM Swara Parangpuang angkat bicara. Menurutnya, kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur sudah jelas adalah tindakan yang salah dan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya.
“Kita tahu, bahkan di UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPO) yang mengatur tentang penanganan, pencegahan, dan pemberantasan perdagangan orang, yakni UU No. 21 Tahun 2007, ada tiga unsur termasuk persetujuan, tapi untuk anak di bawah umur tentu berbeda,” jelas Nurhasanah, Jumat, (2/8).
Nurhasanah mengatakan, dalam konteks perdagangan orang, persetujuan atau consent dari anak-anak tidak dianggap sah karena anak-anak belum memiliki kapasitas hukum atau pemahaman yang memadai untuk mengetahui dan mengevaluasi konsekuensi dari apa yang mereka setujui.
Dalam hukum internasional dan banyak yurisdiksi nasional, anak-anak dianggap sebagai individu yang memerlukan perlindungan khusus karena keterbatasan usia dan perkembangan kognitif mereka.
“Oleh karena itu, dalam kasus perdagangan orang yang melibatkan anak-anak, setiap bentuk persetujuan yang diberikan oleh anak tersebut tidak diakui. Perlindungan terhadap anak-anak dalam hal ini sangat ketat, dan siapa pun yang terlibat dalam eksploitasi atau perdagangan anak akan dikenai hukuman berat tanpa memandang adanya persetujuan dari anak tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak dan protokol-protokol tambahan lainnya yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan kekerasan,” kata Nurhasanah.
Nuhasanah juga berharap tidak ada lagi kasus perdagangan anak di Kotamobagu dan meminta semua pihak untuk bekerja sama dalam pencegahan.
“Harus benar-benar melihat faktor atau latar belakang penyebab mereka bisa masuk dalam jaringan prostitusi ini. Sehingga pencegahan dan penanganannya itu akan tepat sasaran. Sejauh mana kesenjangan ekonomi, kontrol sosial, peran tokoh agama, sistem pendidikan berperan dalam melakukan pencegahan atau justru memberikan ruang hal itu terjadi,” ucap Nurhasanah.
Evaluasi program Kota Layak Anak
Dengan terungkapnya kasus ini, Budayawan Mongondow, Chairun Mokoginta meminta Pemerintah Kota Kotamobagu mengevaluasi kembali program dan kebijakan KLA. Prinsip-prinsip perlindungan anak harus diterapkan secara efektif dan tidak hanya menjadi dokumen formal.
“Ponalad, atau mogiputan dalam bahasa Mongondow yang artinya harus berkelanjutan atau tidak berhenti. Maksudnya, program yang berpihak pada anak tidak hanya sebatas diseriusi setelah dapat penghargaan saja, namun setelahnya harus tetap ada dan bahkan dibuat lebih baik lagi,” ungkap Chairun.
Baik Chairun, maupun Nurhasanah dari LSM Swara Parangpuang, mengatakan, upaya pencegahan dan penanganan perdagangan anak harus ditingkatkan melalui kerjasama yang solid antara pemerintah, LSM, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen masyarakat.
Mereka sepakat, perdagangan anak di bawah umur adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan merupakan masalah yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak seharusnya menjadi lingkungan yang aman, ramah, dan mendukung perkembangan anak-anak, dengan melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan buruk lainnya.
Dengan kasus yang mencuat ini, mereka berharap semua pihak di Kota Kotamobagu, dari pemerintah hingga masyarakat, dapat lebih waspada dan aktif dalam melindungi anak-anak dari bahaya perdagangan dan eksploitasi. Upaya kolaboratif dan tindakan preventif yang kuat adalah kunci untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan anak-anak di Kotamobagu.