ZONAUTARA.com – Corneles Tatambihe (68) sedang menjemur buah cengkeh di halaman depan rumahnya di Kelurahan Akesembeka, Kecamatan Siau Timur, Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Kamis, (25/7/2024).
Siang itu, terdapat tujuh terpal berukuran 4 x 2 meter yang digunakan untuk mengeringkan hasil panen cengkeh. Empar terpal cengkeh yang sudah dua hari dijemur, dan tiga terpal berisi cengkeh yang baru satu hari dikeringkan.
Corneles becerita kepada Zonautara.com bahwa ia memiliki sekitar delapan puluh pohon cengkeh. Saat ini, dia binggung apakah cengkeh ini harus disyukuri atau malah dikeluhkan. Saat masih muda, ia bisa memanjat dan memanen dengan mudah, namun di usia lanjut, Corneles membutuhkan tenga pemetik. Saat musim panen seperti saat ini, ia butuh empat hingga lima orang pemetik. Namun hingga saat ini hanya tersedia tiga orang saja.
“Sangat sulit mencari pemetik, anak muda sekarang tidak bisa diharapkan, mereka fokus dengan handphone saja, bahkan yang tidak bersekolah juga tidak mau jadi petani,” keluhnya.
Akibatnya, Corneles memastikan sepuluh pohon cengkeh rusak karena tidak bisa dipanen, dengan kerugian mencapai belasan juta rupiah. Selain itu, pria paruh baya ini juga menghadapi masalah lain yaitu kondisi cuaca. Di dalam rumah, ia menunjukkan karung berisi cengkeh seberat 35 kg yang rusak akibat hujan.
Corneles dan istrinya, Neltji Pontoh (71), mencoba menghadapi keadaan dengan membangun tempat pengasapan berukuran 2 x 1,5 meter di depan rumah. Tempat ini digunakan untuk buah pala dan kelapa, namun mulai dimodifikasi untuk cengkeh. Namun, upaya pengasapan itu tidak bisa mengeringkan buah cengkeh dengan senmpurna. Hanya untuk mengubah warna dan menjaga panas saja.
Neltji Pontoh, semberi memilah buah cengkeh kering yang rusak di teras rumah berujar, “ada yang masih bisa dipakai, asal sabar memilih”. Namun, ia juga mengeluhkan harga cengkeh yang turun drastis, yang membuatnya menyesal karena tetap membayar pemetik dengan upah normal Rp 120.000 per kilogram hasil petik.
“Kami terpaksa harus menanggung selisih rugi Rp 14.000 per kilogram cengkeh mentah kepada pemetik. Jadi supaya tidak rugi, kami memutuskan tidak menjual cengkeh saat harga turun hingga Rp 70.000,” katanya.
Saat berkunjung ke rumah Corneles dan Neltji, harga cengkeh pekan itu turun menjadi Rp 70.000, bahkan ada pengepul yang hanya akan membeli jika petani menjual Rp 65.000 per kilogram kering.
Tidak jauh dari situ, Zonautara.com bertemu dengan Rizal Dalending di Lingkungan IV. Siang itu, jumlah terpal miliknya jauh lebih banyak. Karena kekurangan lahan di rumah, ia terpaksa menggunakan halaman gedung gereja.
Rizal membutuhkan hingga delapan pemetik untuk mengejar hasil panen, namun seperti Corneles, ia juga kesulitan merekrut buruh harian pemetik cengkeh.
“Sangat sulit, karena pemetik juga memiliki pohon cengkeh dan mendahulukan memanen milik mereka. Kalau pekerja usia muda nyaris tidak ada yang mau,” kata Rizal sambil menggelengkan kepala.
Rizal mengaku sangat rugi dengan harga cengkeh saat ini, yang kurang dari Rp 70.000 per kilogram.
“Ini sama halnya dengan membunuh petani, sementara kesepakatan yang kita lakukan dengan pemetik saat harga jual masih seratus ribu rupiah per kilogram,” tambahnya. “Kalau ongkos petik diturunkan kasihan juga pekerja.”
Tahun ini, Rizal terpaksa menahan cengkeh hasil panennya. Beruntung ia sudah menabung sehingga biaya operasional dapat ditanggulangi dari dana tabungan miliknya. “Saya tidak akan jual kalau harga masih begini, tidak apa-apa nanti tahan satu tahun lagi baru dijual,” ungkap Rizal.
Di sisi barat Pulau Siau, kami bertemu dengan seorang petani yang sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi petani cengkeh. Ridelson Damar (63) baru saja turun dari pohon cengkeh miliknya di Desa Lehi, Kecamatan Siau Barat. Meskipun usianya sudah lanjut, Ridel masih lihai di atas pohon cengkeh yang tinggi.
Pada Jumat (26/7), Ridel baru saja memanen satu karung berukuran 20 kilogram. Ia mengaku tak selincah dulu, apalagi saat itu angin kencang sehingga ia memilih untuk menyudahi pekerjaan lebih cepat. “Pusing, angin sangat kencang ditambah sudah tua,” katanya sambil berjalan.
Menurut Ridel, panen cengkeh tidak tetap, kadang tiga tahun sekali, kadang dua tahun sekali. Tahun 2024 ini, katanya, merupakan siklus panen dua tahun dengan buah yang lebat. “Ini buahnya lebat, panen bagus,” ungkapnya.
Jarak kebun Ridel dengan rumah sekitar 200 meter. Meski begitu, Ridel sangat kecewa dengan harga cengkeh saat ini. “Kami hanya berharap pada Pemerintah, kalau tidak bisa melakukan apa-apa juga, terus petani mengeluh kemana?” tanyanya.
Turun harga
Zonautara.com memastikan harga jual cengkeh di pasar tradisional Ondong di Pulau Siau, dengan mendatangi beberapa lapak pengepul. Salah satunya Hendra Laheba, yang pagi itu sibuk di meja kasir. Hampir semua petani yang datang, menjual hasil panen mereka dalam bentuk cengkeh kering.
“Sekarang sudah turun harga. Beberapa pekan lalu masih ada di angka Rp 120.000, namun kini tinggal Rp 65.000 per kilo,” kata Hendra pada akhir Juli.
Harga yang sama juga disampaikan Asripan Makahinda dari Toko Kartika. Asripan menjelaskan bahwa sebagai pengepul kecil, ia hanya menyesuaikan harga sesuai permintaan pasar dari Manado. Harga cengkeh bisa berubah dalam sehari.
“Pada Senin, 22 Juli misalnya, pagi harga turun ke 85 ribu, siangnya turun lagi tinggal 75 ribu, dan sorenya turun lagi sampai 65 ribu. Cepat turunnya jadi kami ikut menyesuaikan, apalagi pengusaha kecil begini ikut saja harga,” kata Asripan, sembari menambahkan bahwa salah fakto yang memengaruhi harga adalah panen raya di daerah lain.
Cengkeh bukan komiditi unggulan Sitaro?
Buku terbitkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Sitaro yakni Sitaro Dalam Angka Tahun 2024, menunjukkan tidak ada produksi cengkeh dalam dua tahun terakhir, dibandingkan komiditas hasil bumi pala dan kelapa.
Pada halaman 171 dengan judul “Produksi Perkebunan Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (ton), 2022 dan 2023,” data produksi cengkeh kosong. Sementara itu, produksi kelapa sebesar 2.948,16 ton pada tahun 2022 naik menjadi 2.975,16 ton pada tahun 2023. Sedangkan buah pala tercatat sebanyak 3.147,06 ton pada tahun 2022 dan naik menjadi 3.126,85 ton pada tahun 2023.
Meskipun pohon cengkeh hampir dijumpai di setiap sisi jalan maupun kebun warga di Pulau Siau, Kepala Bidang Pertanian dan Perkebunan Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Sitaro, Fonne Katuhu, menjelaskan bahwa komoditi hasil bumi cengkeh tidak menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Sitaro.
“Tidak ada PAD masuk dari hasil perkebunan cengkeh,” kata Fonne, dihubungi Senin, 5 Agustus 2024.
Fonne juga menjelaskan bahwa cengkeh bukan termasuk komoditi unggulan Kabupaten Sitaro, tidak seperti pala dan kelapa. “Bukan komoditi unggulan Sitaro,” sebut dia.
Meski begitu, kata Fonne, Pemerintah tidak melarang warga untuk menanam cengkeh. “Untuk himbauan menanam cengkeh atau merawat tanaman cengkeh memang belum dilakukan oleh Pemda hingga saat ini,” ungkapnya.
Kondisi membuat petani cengkeh di Sitaro semakin terancam. Buah lebat tidak menjamin pendapatan yang besar. Bahkan kini ada fenomena di kalangan petani, memotong cabang pohon cengkeh karena tidak ada pemetik. Petani cengkeh kini tinggal menunggu bom waktu untuk kehilangan pekerjaan dan pendapatannya. Ditambah lagi, kurangnya minat generasi muda Sitaro yang tertarik pada sektor pertanian.
Jika mengacu pada tabel katalog “Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023,” terdapat 10.192 rumah tangga usaha pertanian di seluruh kecamatan di Sitaro. Tetapi jika dilihat dari sebaran menurut kategori kelompok, umur, terlihat jelas tidak ada ketertarikan generasi muda pada sektor pertanian.
Kelompok umur 15-24 tahun ada 42 orang, usia 25-34 tahun ada 578 orang, usia 35-44 tahun tercatat 1.685 orang, usia 45-54 tahun tercatat 2.936 orang, usia 55-64 tahun tercatat 3.021 orang, dan di atas usia 65 tahun terdapat 1.930 orang.
Dari data ini, terlihat jelas kesenjangan usia di sektor pertanian. Padahal Kabupaten Kepulauan Sitaro memiliki tanah yang subur serta hasil alam yang melimpah dan sebagian besar warganya bergantung hidup sebagai petani. Namun, ancaman sektor pertanian semakin nyata dan akan berdampak pada hasil produksi.