ZONAUTARA.com – Tak terasa sebagai bangsa, Indonesia telah merayakan kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan hingga berusia 79 tahun pada 17 Agustus 2024. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari Sabang sampe Merauke merayakan kemerdekaan ini dengan berbagai cara. Termasuk masyarakat yang ada di Sulawesi Utara (Sulut).
Namun di tengah gegap gempita hari ulang tahun (HUT) ke-79 RI, sebagian dari warga Sulut masih dalam bayang-bayang peristiwa kelam yang belum lama ini terjadi, meletusnya Gunung Ruang di pulau Ruang, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), pada akhir April 2024.
Warga dua desa di pulau Ruang kala itu, harus mengungsikan diri dari keganasan erupsi Gunung Ruang, yang dalam sekejap meluluh lantakkan seisi pulau dengan material vulkanik.
Lantas apa kabar para pengungsi Gunung Ruang saat ini?
Sejak erupsi terakhir Gunung Ruang pada 30 April 2024, hingga kini banyak warga pulau Ruang masih terus bertahan di posko pengungsian.
Hampir empat bulan berlalu sejak peristiwa kelam itu, trauma dan ketidakpastian masih membayangi mereka yang terpaksa meninggalkan rumah dan kenangan di Tagulandang.
Salah satu posko pengungsian yang menjadi tempat bernaung bagi para penyintas ini adalah Rusunawa Sagerat, Kota Bitung, yang menjadi saksi perjuangan hidup mereka saban hari.
Di pagi yang cerah, pada Jumat 16 Agustus 2024, tim Zonautara.com mengunjungi Rusunawa Sagerat, dan bertemu dengan salah satu pengungsi, Yulrene Manuho, wanita berusia 59 tahun.
Ditengah segala keterbatasan, Yulrene bersama cucunya berupaya menjalani aktivitas sehari-hari.
Setiap pagi, mereka turun ke lantai bawah untuk mengambil makanan yang disediakan oleh petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) SITARO.
“Iya, setiap pagi seperti biasa ambil sarapan untuk kami makan pagi,” kata Yulrene.
Sejak Mei 2024, Yulrene dan empat anggota keluarganya, termasuk anak dan cucunya, memutuskan untuk mengungsi ke Bitung.
Kekhawatiran akan keadaan di Tagulandang memaksa mereka meninggalkan rumah tanpa membawa banyak barang, hanya beberapa potong pakaian yang mereka bawa.
“Kami dari Tagulandang datang ke sini hanya membawa baju saja. Syukurlah, ada sedikit bantuan pakaian bekas yang kami terima. Barang-barang yang masih selamat kami tinggalkan di Tagulandang, sementara yang sudah tidak bisa kami ambil, kami tinggalkan di Ruang,” ungkap Yulrene.
Bertahan di tengah keterbatasan
Hidup di pengungsian tentu tidak mudah. Yulrene dan keluarganya, sebagai penyintas erupsi Gunung Ruang, harus menghadapi berbagai tantangan untuk bertahan hidup.
Mereka mendapatkan makanan tiga kali sehari dari pemerintah, namun kebutuhan lain seperti susu dan barang pribadi harus dibeli sendiri. Situasi ini menambah beban psikologis dan ekonomi bagi para pengungsi.
“Di sini untuk makan tiga kali sehari ditanggung pemerintah, tetapi untuk kebutuhan lainnya seperti membeli susu atau keperluan pribadi lainnya, kami harus beli sendiri. Jadi kalau tidak ada uang, kami tidak bisa membeli apa-apa,” tutur Yulrene dengan nada lirih.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro melalui terus mendampingi kehidupan para pengungsi di Bitung ini.
Fasilitas makan disediakan secara rutin untuk memastikan para pengungsi mendapatkan kebutuhan dasar mereka.
Menurut Hence, salah satu ASN dari BPBD SITARO, pendampingan yang mereka lakukan bagi para pengungsi di Rusunawa sudah berlangsung sejak awal.
Mereka terus berusaha mendampingi dan memberikan bantuan yang diperlukan oleh para pengungsi.
“Kami sudah lama di sini dan belum tahu kapan bisa kembali ke Siau. Tugas kami di sini adalah menyediakan makanan dan beberapa hal lainnya untuk para pengungsi,” jelas Hence.
Asa pengungsi Gunung Ruang
Yospaleni Tahulending (55), seorang warga asli pulau Ruang, juga menjadi salah satu pengungsi yang tinggal di Rusunawa.
Saat tim Zonautara.com menemuinya, Yospaleni tengah menjaga cucu perempuannya yang akrab dipanggil Yohana.
Meski di pengungsian, Yospaleni tetap berusaha menjaga semangat hidup, meskipun hatinya dirundung kesedihan karena harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Yospaleni dengan senang hati berbagi cerita tentang kehidupan mereka di pengungsian.
Meskipun berat, ia tetap berharap suatu hari nanti bisa kembali ke kampung halamannya di Ruang, berkumpul kembali dengan tetangga dan keluarga yang terpisah.
Berbeda dengan Yulrene, saat erupsi awal Yospaleni sedang berada di Toli-Toli, sedangkan di Laingpatehi Pulau Ruang ada anak dan cucunya.
Mendengar kabar letusan pada 17 April 2024, ia bergegas datang melihat keluarganya, untuk berencana menjemput mereka.
“Langsung datang setelah dengar kabar itu, habis itu erupsi ulang, kami akhirnya memilih mengungsi ke sini,” ujarnya.
Yospaleni datang ke posko pengungsian dengan barang bawaan seadanya, kini ia akhirnya mencoba untuk membeli beberapa barang yang bisa dipakai.
“Sekarang soh ada beberapa barang. Barang lain dari anak paling kecil karena sudah selesai kuliah, barang dari kost kami bawa ke sini,” jelasnya.
Di tengah perayaan Kemerdekaan ke-79 pada 17 Agustus 2024, Yulrene dan Yospaleni tidak berharap yang muluk-muluk.
Harapan mereka, mendapat kepastian mereka tempat tinggal dan perhatian dari Pemerintah yang segera terlaksana.
Termasuk tentang keinginan mereka yang jika bisa agar dapat memilih pada Pilkada nanti, untuk terakhir kalinya sebagai warga masyarakat Sitaro dapat diwujudkan sebelum dipindahkan ke Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
***