JAKARTA, ZONAUTARA.com – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengutuk keras kekerasan sistematis yang dialami oleh jurnalis saat meliput aksi penolakan Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Dalam keterangannya, insiden kekerasan ini terjadi saat berlangsungnya demonstrasi yang digelar oleh berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa di depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu secara tegas mengatakan kekerasan pada jurnalis jelas melanggar hukum, khususnya UU Pers no 40/1999.
“Para jurnalis itu sedang melakukan tugasnya, sesuai UU Pers,” kata Ninik.
Pemimpin redaksi Tempo, Setri Yasra menceritakan ada 2 jurnalis yang mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Keduanya mengalami kekerasan dari aparat, meski sudah menyebut identitas jurnalis.
Kisah yang mirip diceritakan Wakil Pemimpin Redaksi IDNTimes Umi Kalsum. Saat liputan, salah satu reporter IDN Times mengenakan seragam IDN Times.
Sementara seorang rekan yang lain, hanya mengenakan pakaian sipil dan tanda pengenal. Mereka berdiri berdekatan dan sedang mengambil gambar aparat yang sedang memukuli demonstran.
“Justru kemudian reporter yang menggunakan seragam IDN Times yang dikejar oleh aparat,”kata Umi. Reporter yang berseragam IDN Times tersebut, justru diintimidasi untuk menghapus video yang merekam kekerasan aparat.
Hal yang mirip juga dialami reporter Narasi dan Deduktif seperti yang diungkap para pimpinan media dalam konferensi pers. Para reporter mengalami kekerasan dari aparat, tidak hanya dari kepolisian tetapi juga personal TNI.
Tidak hanya di Jakarta, kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di Semarang, Jawa Tengah, di mana jurnalis dari Pers Mahasiswa turut menjadi korban tindakan represif aparat kepolisian saat meliput aksi massa yang mengangkat tema serupa.
KKJ melaporkan bahwa setidaknya 11 jurnalis di Jakarta menjadi korban kekerasan aparat yang dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari intimidasi, ancaman pembunuhan, hingga kekerasan fisik dan psikis yang menyebabkan luka-luka serius.
Di Semarang, tercatat tiga anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) mengalami sesak napas hingga pingsan akibat tembakan gas air mata yang dilancarkan oleh polisi untuk membubarkan massa.
Dalam kejadian kali ini, tidak hanya aparat kepolisian yang terlibat, tetapi juga personel TNI yang diduga kuat turut dikerahkan dalam proses pengamanan. Mereka menjadi aktor utama di balik serangan terhadap jurnalis.
Berdasarkan laporan dari Tempo.co, personel TNI dan Polri diduga memukul serta mengancam membunuh seorang jurnalis Tempo yang berinisial H saat meliput demonstrasi di Kompleks Parlemen DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Kekerasan ini berawal saat jurnalis H merekam aksi aparat TNI dan Polri yang diduga menganiaya seorang demonstran yang terkulai lemas di dekat pagar sisi kanan gerbang utama Gedung DPR RI yang telah dijebol oleh massa sekitar pukul 17.00 WIB.
Tanpa peringatan, tiga orang aparat langsung meringkus H, menanyakan identitas serta surat tugas peliputan yang dimilikinya.
Namun, bukannya memberikan penjelasan, aparat justru melakukan intimidasi dan memaksa H untuk menghapus video yang direkamnya.
H kemudian dibawa ke pos kepolisian terdekat dan kembali dipaksa untuk menghapus video tersebut oleh petugas dari biro Provos.
Kejadian serupa juga dialami oleh kameramen Makna Talks – Edo dan Dory saat mendokumentasikan tindakan represif aparat.
Mengutip postingan X oleh akun @iyaslawrence, keduanya terluka akibat tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian disertai gas air mata dan penyerbuan.
Praktik kekerasan psikis berupa intimidasi dan penyerangan fisik juga mengakibatkan kerusakan pada alat kerja jurnalis Narasi.tv.
Jurnalis yang melakukan peliputan hingga sekitar pukul 20.30 WIB didorong paksa dan diintimidasi oleh aparat kepolisian untuk meninggalkan Lokasi peliputan.
Berdasarkan kejadian tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Tindak kekerasan oleh Aparat Kepolisian berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara.
Atas perkara tersebut, KKJ mendesak:
- Kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.
- Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang;
- Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang;
- Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis dan wartawan yang tengah menjalankan tugas peliputan;
- Mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan;
Tentang Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ)
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
***