Dedikasi tanpa batas: Bidan Marlince yang berjuang di desa terpencil di Kabupaten Sitaro

Kondisi tenaga kesehatan di desa-desa terpencil perlu perhatian serius dari Pemerintah, salah satunya bidan yang ada di Sitaro.
sitaro
Kondisi jalan yang harus dilewati Bidan Marlince Selone Masone saat mengunjungi pasiennya. (Foto: Zonautara.com/Jufri Kasumlaba)

Dedikasi tanpa batas: Bidan Marlince yang berjuang di desa terpencil di Kabupaten Sitaro

Kondisi tenaga kesehatan di desa-desa terpencil perlu perhatian serius dari Pemerintah, salah satunya bidan yang ada di Sitaro.

ZONAUTARA.com – Malam itu Februari 2021, Marlince Selone Masone sedang di rumah. Tak lama, usai makan, Ia didatangi seorang pria paru baya. Bidan berusia 29 tahun ini diminta melayani persalinan di Desa Batubulan, salah satu desa terpencil di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Provinsi Sulawesi Utara.

Untuk sampai ke rumah pasien, Marlince harus jalan kaki. Jalan yang akan dilaluinya tak mudah. Kondisi jalan tanah berkerikil, dan kontur menanjak. Dan malam itu, pelayanannya terasa lebih berat karena dia sedang mengandung. Usia kehamilannya enam bulan.

Marlince bercerita, malam itu dia terpaksa tidur di rumah pasien, karena proses persalinan yang ditanganinya baru terjadi dinihari. Pengalaman ini merupakan resiko yang kerap dihadapi Ibu satu anak ini sebagai tenaga bidang kesehatan, di Desa Batubulan.

“Saya bekerja 1 x 24 jam setiap hari,” kata Marlince, saat ditemui di rumahnya di Desa Batubulan, Kamis, 8 Agustus 2024.

Marlince merupakan lulusan Akademi Kebidanan Trinita Manado. Dia masuk tahun 2012 dan lulus pada 2015. Sebelum menjadi bidan desa,  pada 2016 – 2017 Ia bekerja di Klinik bersalin Clara di Kota Bitung.

Usai menikah tahun 2018, Marlince dan Suami Wilmar Tumei tinggal menetap di Desa Batubulan. Setahun setelahnya pada 2019, ia diangkat sebagai tenaga kesehatan desa hingga awal tahun 2024.

Awal kontrak kerja Marlince diwarnai dengan lelehan lava Gunungapi Karangetang yang sedang erupsi pada awal Februari. Akibat bencana erupsi itu, akses jalan dan jembatan menuju Desa Batubulan di Kecamatan Siau Barat Utara, terputus. Lebar lelehan lava mencapi 160 meter ke arah Desa Batubulan.

Saat bencana itu terjadi, satu-satunya akses warga keluar masuk kampung harus menggunakan perahu. Itu pun tidak ada jaminan setiap saat tersedia. Karena jika cuaca sedang memburuk, desa ini akan terisolir, tak ada perahu yang berani jalan.

sitaro
Bidan Marlince Selone Masone bersama suami dan anaknya. (Foto: Zonautara.com/Jufri Kasumbala)

Perempuan kelahiran 1995 ini telah membantu persalinan delapan orang ibu yang tidak bisa dibawa dan mengakses fasilitas kesehatan di Puskesmas. Dengan keterampilan yang diperolehnya selama pendidikan, Marlince berupaya membantu persalinan dengan peralatan dan kondisi yang sangat sederhana.

“Sebelum kerja, saya berdoa supaya diberi ketenangan. Biasanya saya juga menenangkan si Ibu agar tidak stres,” kata Marlince, sembari meniru gerakan saat menuntun pasien bersalin.

Tidak hanya bekerja saat pasien melahirkan, Ia juga harus mengontrol kondisi ibu dan calon bayi di usia kehamilan dan mengedukasi supaya saat proses bersalin bisa dilakukan di fasilitas kesehatan Puskesmas atau di rumah sakit.

Namun tak mudah mengajak ibu di kampung paham pentingnya mengakses layanan kesehatan. Sebab dari pengalamannya tidak semua ibu hamil di Desa Batubulan ingin dibawa ke fasilitas kesehatan saat bersalin. Ada kebiasaan warga yang merasa lebih aman dan ingin melahirkan normal di rumah.

“Meyakinkan warga bahwa di Puskesmas dan Rumah Sakit bisa lebih aman itu tidak mudah, tantangan buat saya sebagai petugas kesehatan,” kata Marlince.

Marlince selalu bersyukur kepada Tuhan ketika bisa membantu pasien melahirkan dan bayinya lahir dengan sehat. Meski begitu, dari delapan anak yang dibantu lahir, tidak semua berhasil selamat. Dia pernah terpukul ketika tidak bisa menyelamatkan salah satu bayi yang lahir dengan letak sungsang/bokong.

“Saat itu saya di jemput oleh suami dari ibu tersebut untuk datang ke rumah mereka. Dia mengatakan bahwa istrinya akan melahirkan. Saya berusaha menyarankan ke Puskesmas, namun waktu itu posisi sudah pembukaan lengkap dan sudah mau melahirkan,” ceritanya.

“Saya kaget ketika tahu posisi bayi sungsang, dan sang ibu sudah kelelahan. Bayi itu bisa lahir namun sudah tertahan lama karena si ibu sudah kehabisan tenaga,” sesal Marlince.

Sebagai seorang perempuan dia dihantui rasa bersalah karena merasa gagal menyelamatkan sang bayi. Dirinya baru bisa lebih tenang ketika didatangi kedua orang tua bayi itu, dan meminta dirinya tidak merasa bertanggung jawab karena keduanya sudah ikhlas dan seharusnya rutin memeriksa kandungan sebelumnya.

“Disitu, barulah saya merasa beban dan rasa bersalah berkurang,” ucap Marlince sambil menyeka air mata.

sitaro
Kondisi jalan yang harus dilewati Bidan Marlince Selone Masone saat mengunjungi pasiennya. (Foto: Zonautara.com/Jufri Kasumlaba)

Selama menjadi tenaga kesehatan di Desa Batubulan Marlince menerima gaji yang tak tentu. Pada tahun 2019 lewat anggaran pendapatan belanja desa, Marlince digaji Rp.2.500.000 per bulan. Jumlah ini menurun di tahun berikutnya menjadi Rp. 2.000.000 saja. Pada tahun ketiganya dia menjadi tenaga kesehatan di desa, gajinya malah turun lagi menjadi Rp.1.000.000. Terakhir awal tahun 2024 marlince menerima Rp. 2.000.000 per bulan, masih lebih rendah dari gaji yang ia terima pada 2019.

“Saya punya kantor Puskesmas Pembantu, disitu melayani hingga jam 12 siang. Selebihnya saya menerima konsultasi di rumah. Gaji yang saya terima dicukupkan untuk kebutuhan keluarga,” ujar dia.

sitaro
Letak Desa Batubulan. (Grafis: Zonautara.com/Ronny A. Buol)

Pahlawan bagi warga Batubulan

Independen.id menemui Risye Muleru warga Desa Batubulan, Senin 9 September 2024 di rumahnya. Saat didatangi ibu berusia 33 tahun ini sedang menggendong anaknya berumur dua bulan. Ketlin Jiana Tulusan namanya, lahir pada 8 Juni 2024, sekira pukul 07.00 Wita Pagi.

Ia bercerita proses kehamilan sampai melahirkan waktu itu. Risye mulai merasakan tanda melahirkan pada tengah malam, namun kondisinya semakin lemah pada dinihari. Breneden Muleru ayahnya terpaksa berlari, menemui Marlince bidan desa.

“Saya waktu itu posisi tidak bisa berjalan lagi sudah lemas. Tidak mungkin ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, karena jalan tidak bisa dilewati mobil, jadi keluarga langsung mencari bidan,” ceritanya.

Sebagai seorang perempuan di Desa Batubulan, Risya tak sedikitpun berpikir harus operasi. Ia menginginkan bayinya lahir secara normal. Karena itu ia sangat senang bisa melahirkan normal bayi ke empatnya. “Bersyukur saya bisa melahirkan normal lewat tuntunan bidan Marlince,” ucap dia.

Risye mengaku selama hamil rutin melakukan konsultasi dengan bidan desa. Untuk mengecek usia kehamilan dan kesehatan bayinya, ia pun rajin ikut Posyandu ibu hamil. “Bisa dimana saja konsultasi dengan bidan (Marlince), sehingga saya bisa melahirkan dengan normal. Dan lebih senang begitu daripada ke rumah sakit. Takut,” katanya.

sitaro
Marlince Selone Masone dengan pasiennya. (Foto: Zonautara.com/Jufri Kasumbala)

Beberapa ratus meter dari rumah Risye Muleru, Independen.id menuju rumah Terupina Sao (63), perempuan paru baya yang menceritakan proses kehamilan anak perempuannya Trisiawati Bartei (38), 6 Februari 2020 lalu. Juga dibantu bidan Marlince.

Terupina tak mampu membayangkan jika saat itu tidak ada bidan desa, ia mungkin kehilangan cucunya. Menurut wanita ini, Marlince saat itu rela tinggal bermalam di rumah untuk menuntun proses persalinan sejak malam hingga pagi hari, padahal kondisinya juga tidak baik – baik saja.

“Anak saya beruntung, dan kami salut dengan bidan Marlince, saat itu ia melayani proses persalinan anak saya, dengan kondisi hamil enam bulan, harus jalan kaki jauh ke rumah ini,” kata Terupina.

Pada waktu itu, perempuan paru baya ini sempat berpikir untuk mencari perahu, karena jalan utama warga masih terputus akibat lelehan lava dan sulit dilewati. Sementara jalan menuju pantai dari desa Batubulan juga sangat jauh, sehingga tidak ada pilihan yang mudah untuk menyelamatkan anak dan cucunya.

sitaro
Bidan Marince Masone saat mengunjungi pasiennya Terupina Sao. (Foto: Zonautara.com/Jufri Kasumbala)

“Kami sekeluarga karenanya berterimakasih, kalau tidak ada Marlince, mungkin sudah kehilangan cucu kami,” ucapnya.

Terupina mengaku memiliki 12 orang anak, dan semuanya lahir normal. Bagi warga Batubulan lahir normal merupakan pilihan utama. Mereka berusaha menghindar dari operasi. “Kami tidak mau operasi, lebih baik lahir normal,” ujarnya.

Desa Batubulan

Desa Batubulan berada di Kecamatan Siau Barat Utara, masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, di Provinsi Sulawesi Utara. Sesuai data dari Pemerintah Desa, saat ini ada 445 jiwa yang tinggal di desa terpencil ini, laki – laki 213 jiwa dan 232 jiwa lainnya adalah perempuan.

Mayoritas warga Desa Batubulan bermata pencaharian petani, dan sebagian lainnya sebagai nelayan. Dari anggaran dana desa yang diterima setiap tahun, Pemerintah Desa menganggarkan pengadaan tenaga kesehatan di desa, meski sudah ada penempatan tenaga kesehatan perawat dari Dinas Kesehatan.

“Desa kami sangat sulit, untuk kemana saja susah. Karena itu kami merekrut tenaga kesehatan untuk membantu warga. Apalagi bidan juga sangat dibutuhkan disini, obatnya juga kami sediakan lewat dana desa, selain juga ada bantuan dari Dinas Kesehatan,” kata Kepala Desa, Naftali H Baganu, saat ditemui di ruang kerjanya.

Soal honor yang diterima Marlince, Naftali mengakui ada perubahan setiap tahun dan tidak dibayarkan setiap bulan,  meski kinerjanya sangat baik. Beruntung saat ini pihaknya menerima anggaran dari Dinas Kesehatan, sehingga pembayaran tenaga kesehatan kini sudah merata setiap bulannya.

“Sekarang sudah sesuai petunjuk teknis dua juta perbulan. Kalau dulu tidak tetap, itu pun pembayaran tiga bulan sekali,” ungkap.

Tenaga Kesehatan wajib dihadirkan hingga desa terpencil

Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi untuk memastikan akses layanan kesehatan di seluruh wilayah, termasuk desa terpencil. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menegaskan hak setiap warga negara atas kesehatan, dimana pemerintah bertanggung jawab menyediakan tenaga kesehatan di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 mewajibkan setiap fasilitas kesehatan memenuhi standar tenaga kesehatan yang diperlukan. Sementara itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 dan Nomor 24 Tahun 2016 mengatur penempatan dan distribusi tenaga kesehatan, termasuk Puskesmas di daerah terpencil.

Dana desa juga dapat digunakan untuk pengadaan tenaga kesehatan sesuai Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020. Program Nusantara Sehat oleh Kementerian Kesehatan bertujuan mendistribusikan tenaga kesehatan ke daerah-daerah sulit dijangkau.

Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa setiap desa, termasuk yang terpencil, memiliki akses ke layanan kesehatan yang memadai.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro melalui Dinas Kesehatan, hingga Agustus 2024, jumlah tenaga kesehatan, khususnya bidan di wilayah perbatasan Kepulauan Sitaro masih sangat kurang. Jika dilihat dari klasifikasi jenjang pendidikan, di tingkat Puskesmas terdapat 53 orang bidan dengan jenjang pendidikan DIII, dan 10 orang dengan jenjang DIV.

Sementara itu, di dua rumah sakit di Kepulauan Sitaro, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lapangan Sawang dan RSUD Tagulandang, jumlah bidan lebih sedikit. Bidan dengan gelar DIII tercatat berjumlah 31 orang, sedangkan bidan bergelar DIV hanya 5 orang.

“Untuk tenaga bidan di Sitaro mengacu pada kebutuhan pegawai, baik CPNS maupun PPPK. Ya masih kurang. Ada beberapa Puskesmas yang tenaga bidannya belum mencukupi kebutuhan pelayanan. Contohnya, di Puskesmas Sawang hanya memiliki dua orang bidan,” kata Sekretaris Dinas Kesehatan, dr. Alva Mangundap, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, 27 Agustus 2024.

Untuk mengatasi kekurangan ini, Dinas Kesehatan mengambil dua langkah. Salah satunya adalah memanfaatkan tenaga kesehatan dari program Nusantara Sehat yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu upaya lain adalah bekerja sama dengan Dinas Pemerintahan dan Pemberdayaan Desa dalam hal perekrutan tenaga kesehatan di setiap desa. Hingga saat ini, 17 desa telah merekrut tenaga bidan untuk bekerja.

“Dari 83 desa, baru 17 desa yang memiliki bidan. Kami terus mendorong agar semua desa bisa merekrut tenaga kesehatan melalui pemanfaatan dana desa,” ujar Mangundap.

Salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah adalah terkait penganggaran honor atau gaji para tenaga kesehatan ini. Mangundap menjelaskan bahwa Pemkab Sitaro sudah memiliki satuan harga yang membuat semua tenaga kesehatan, baik bidan maupun perawat yang bekerja sebagai tenaga harian lepas, memiliki gaji yang sama, termasuk di desa. Namun, untuk menjadi Aparatur Sipil Negara, tenaga kesehatan desa ini tetap harus mengikuti seleksi.

“Kalau ingin jadi PNS atau PPPK, harus lulus seleksi, meskipun sudah lama bekerja sebagai tenaga bidan desa,” ujarnya.

Mangundap juga mengakui bahwa salah satu masalah yang masih dihadapi adalah rendahnya kesadaran masyarakat, khususnya ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan mereka ke fasilitas kesehatan, baik di Puskesmas maupun rumah sakit.

Menyikapi hal ini, pemerintah daerah memanfaatkan anggaran dari pemerintah pusat dengan menggelar program pemeriksaan rutin bagi ibu hamil serta melakukan promosi kesehatan agar proses persalinan dapat berlangsung lebih aman di fasilitas kesehatan.

“Tantangannya ada di daerah kepulauan atau terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan. Karena itu kami juga mengangkat sejumlah kader kesehatan, yang dulunya dikenal sebagai biang kampung, untuk membantu mendampingi pasien. Ini juga sebagai langkah untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di Sitaro,” jelas Mangundap.

Harapan tak pernah pupus

Pada tahun 2023, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro membuka penerimaan calon Aparatur Sipil Negara lewat jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Terdapat beberapa formasi yang dibuka saat itu termasuk tenaga kesehatan khusus untuk bidan.

Marlince yang merasa semua kriteria terpenuhi sebagai seorang tenaga kesehatan, mencoba mendaftar secara online untuk seleksi berkas. Pengalaman itu tidak akan dilupakannya. Ia optimis lolos karena merasa sudah melayani masyarakat selama ini. Namun harapannya belum terkabul, dia dinyatakan tidak lulus berkas.

Dia kemudian mencoba mencari informasi, dan akhirnya memanfaatkan waktu sanggah usai pengumuman selama tiga hari.

“Saya waktu itu langsung lemas, hilang semangat, beruntung masih kuat setelah mendapat informasi bisa ikut masa sanggah. Aan akhirnya bisa diterima dan lanjut ke CAT,” ucap dia.

Marlince masih ingat betul, pada Desember 2023 dengan senyum sumringah, saat sedang mencari signal internet di bawah pohon, ia menerima kabar kelulusan dan diterima sebagai ASN PPPK di lingkup Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro.

“Saya meneteskan air mata, setelah banyak cobaan akhirnya diberi kesempatan Tuhan untuk bisa menjadi ASN,” ucapnya sambil tertawa.

Tepatnya pada Juni tahun 2024, Marlince Selone Masone mengenakan pin KORPRI serta menerima semua hak dan tunjangan sebagai ASN di Puskesmas Hiung. Meski begitu Marlince tetap melayani warga di Desa Batubulan.

Cerita perjuangan Marlince menjadi kabar baik bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia, khususnya di daerah perbatasan dan terpencil agar tidak putus harapan. Bagi Marlince, tidak ada satupun penyesalan untuk menjadi seorang tenaga kesehatan. Ia berharap tenaga bidan akan lebih banyak disediakan pemerintah agar ibu dan bayi selamat.


Liputan ini telah terbit terlebih dahulu di Independen.id. Jufri Kasumbala menerima beasiswa liputan dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article