ZONAUTARA.com – Ratusan pengungsi letusan Gunung Ruang yang tersebar di sejumlah wilayah di Sulawesi Utara (Sulut) terancam tak bisa memilih bupati kampung halamannya, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada November 2024. Padahal, ini adalah momen terakhir mereka sebagai warga Sitaro sebelum dipindahkan ke tempat relokasi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menyediakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di lokasi pengungsian di Bitung, meski para pengungsi masih ada yang kembali ke Kabupaten Sitaro dan tersebar di wilayah lain seperti di Manado, Kabupaten Minahasa, dan lainnya. Pun, di TPS khusus tersebut, mereka hanya bisa memilih Gubernur Sulawesi Utara.
Hingga tulisan ini diturunkan, Zonautara.com telah menghubungi dua komisioner dan juru bicara KPU RI tetapi belum ada tanggapan langsung.
Maikel Makainas (38) duduk bersandar di sudut kamar kecil di lantai 3 Rusunawa Sagrat, Kota Bitung. Wajahnya kuyu, sorot matanya tampak redup. Pagi itu, matahari baru saja mulai meninggi, menerangi ruangan sempit yang ia tinggali bersama istri dan anaknya.
Maikel adalah perangkat desa (kampung) Laingpatehi di Pulau Ruang, Kabupaten Kepulauan Sitaro. Oleh Kepala Desanya, ia dipercaya sebagai Kepala Urusan (Kaur) Perencanaan. Kini, ia mengungsi dan terasing dari tanah kelahirannya setelah erupsi Gunung Ruang.
April 2024 lalu, letusan gunung api tersebut memporak-porandakan kampung halamannya. Awan panas dan abu vulkanik menutupi wilayah tempat tinggal mereka, menjadikannya tidak layak huni.
Maikel menarik napas dalam-dalam, matanya menatap ke luar ruangan. “Waktu di kampung, saya biasa berkebun, kadang melaut. Kehidupan kami sederhana, tapi semuanya jelas. Sekarang, semuanya belum pasti,” ujar Maikel dengan suara parau, saat ditemui Zonautara.com, pada Jumat, 16 Agustus 2024.
Di lokasi pengungsian, Maikel kini menjadi buruh pemetik cengkeh untuk memenuhi biaya hidup. “Kalau memetik cengkeh, biasanya seminggu tidak pulang. Kami tinggal di perkebunan. Tapi sekarang, saya masih beristirahat,” tambahnya, tampak lelah.
Ada kepedihan yang dalam ketika Maikel berbicara. Bukan hanya tentang kehilangan rumah dan pekerjaan, tapi juga tentang hak pilihnya yang terancam hilang. Hak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya sebagai warga negara, kini terasa seperti sesuatu yang jauh dari genggaman.
“Sebagai warga sah Sitaro, kami masih punya hak untuk memilih pemimpin kami. Dan kalau hanya bisa memilih gubernur, banyak warga yang tidak mau datang ke TPS. Lebih baik tidak memilih,” ujar Maikel.
Kemarahan Maikel juga dirasakan tokoh masyarakat Kampung Laingpatehi, Wolters Nanono, (75). Pensiunan guru ini juga mengancam tak ikut berpartisipasi dalam helatan akbar demokrasi tersebut. Sebagai tokoh masyarakat, sabdanya sering didengar oleh para warga lainnya.
“Tidak ada alasan untuk mengabaikan kami,” ucapnya dengan nada yang tinggi.
Nanono kesal, penyelenggara pemilu seharusnya memiliki cukup waktu untuk mencari solusi buat pengungsi seperti mereka. Namun, keputusan menyediakan surat suara hanya untuk Pilgub membuatnya geram.
Selain Maikel dan Nanono, ada pula ratusan warga Pulau Ruang dari dua desa, Pumpente dan Laingpatehi lainnya, yang harus mengungsi setelah erupsi Gunung Ruang.
Menurut catatan KPU Sitaro, pengungsi tersebar di sejumlah lokasi. Mayoritas dari mereka, sebanyak 268 warga, masih bertahan di Tagulandang, Kabupaten Sitaro, yang lokasinya hanya berseberangan dari kampung halaman mereka di Pulau Ruang.
Di tempat Maikel dan Nanono mengungsi, ada sekitar 200 warga lainnya. Di lokasi pengungsian resmi lainnya di Gedung Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Pineleng, Kabupaten Minahasa, terdapat sekitar 60 warga. Sementara itu, 138 warga lainnya tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Utara.
Carles Makatindu (33), yang kini mengungsi di Pineleng, juga ikut masygul lantaran keputusan KPU tak mengakomodir keinginan mereka. “Kalau kami tidak bisa memilih Bupati, kami tidak setuju. Kami maunya tetap memilih,” ujar Makatindu yang berasal dari Desa Pumpente, Pulau Ruang, Kabupaten Sitaro .
“Warga yang tinggal di luar negeri saja bisa memilih dalam Pilpres, kenapa kami yang hanya di luar Sitaro tidak bisa (pilih) bupati?”
Baginya dan banyak warga lain, pemilihan bupati jauh lebih penting karena keputusan yang diambil oleh bupati berdampak langsung pada kehidupan mereka di kampung halamannya.
“Kalau pada akhirnya tetap tidak bisa memilih, sebagian besar masyarakat, khususnya di Pumpente, memilih untuk golput. Termasuk saya,” tegasnya.
Dengan ancaman warga ini, para pimpinan kampung pun ikut kalang kabut, termasuk Ropli Yani Hebimisa yang juga menjabat sebagai Sekretaris Kampung Pumpente, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro.
“Kami di sini (di lokasi pengungsian) bukan karena keinginan tapi kami dipaksa oleh keadaan,” ucap Hebimisa saat ditemui lokasi yang sama, di Kabupaten Minahasa.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai kami dilupakan hanya karena kami berada jauh dari rumah.”
Meski jauh dari rumah, mereka masih berharap suaranya didengar dan hak pilih mereka dapat dipenuhi seutuhnya, bukan parsial. UU Hak Asasi Manusia Pasal 43 menjamin hak mereka untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
Polemik status daftar pemilih
KPU Sulawesi Utara telah memutuskan 666 pengungsi masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS khusus di Bitung. Pun, di lokasi TPS khusus tersebut, warga tidak bisa memilih Bupati Sitaro dan hanya diberikan surat suara Pemilihan Gubernur (Pilgub).
“Terdapat dua TPS Khusus yang kami sediakan untuk pengungsi Gunung Ruang. TPS 1 untuk 259 pemilih dan TPS 2 untuk 407 pemilih,” jelas Kapala Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Bitung Frangky Takasihaeng, saat dihubungi, Senin (30/9/2024).
Keputusan ini diambil berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi untuk memusatkan pemilihan di Bitung, alih-alih mengakomodir sebanyak 666 pengungsi yang tersebar di wilayah lain.
KPU Sulawesi Utara berdalih, nihilnya aturan yang menjelaskan tata laksana penyediaan surat suara Pemilihan Bupati (Pilbup) untuk lintas kabupaten menjadikan mereka sulit mengakomodasi para pengungsi yang tersebar.
“Ini kasus yang pertama di Indonesia. Biasanya, (semua) pengungsi tetap berada di wilayah administrasi kabupaten mereka, sehingga tidak ada masalah dalam hal hak pilih,” kata Kepala Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Sulawesi Utara, Awaludin Umbola, Jumat, 23 Agustus 2024.
“Hak mereka untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati di Sitaro sudah tidak ada karena mereka sudah berada di luar wilayah administrasi Sitaro.”
Hal serupa dikatakan Kepala Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Sulut Lanny Ointu saat ditemui di kantornya pada Senin, 26 Agustus 2024.
“Sesuai aturan, boleh dibuatkan lokasi khusus apabila pengungsi itu terkonsentrasi dalam satu tempat. Dan, itu penanggungjawabnya adalah KPU Kota Bitung (karena lokasi pengungsian resmi ada di sana). Kami tidak menghilangkan hak pilih dari warga dua desa dari Pulau Ruang, mereka masih bisa memilih gubernur,” kata Ointu.
Merujuk Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2024 tentang penyusunan daftar pemilih, TPS dapat didirikan di lokasi khusus, salah satunya adalah relokasi bencana.
Lebih jauh, dalam beleid tersebut menyebutkan lokasi TPS khusus dibuat dengan syarat di antaranya pemilih terkonsentrasi di satu tempat, adanya pemilih yang tidak dapat menggunakan hak suara sesuai dengan alamat di Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan jumlah pemilih sesuai dengan minimal pembuatan TPS–untuk Pilkada yakni 600 pemilih di satu TPS.
Keputusan mendirikan TPS khusus di Bitung tersebut juga dibenarkan oleh Ketua KPU Sitaro Stevanus Kaaro. Ia menyebut bahwa keputusan itu sudah sesuai dengan rekomentasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
“KPU mempertimbangkan rekomendasi dari pemerintah bahwa relokasi bencana Pulau Ruang berada di Bitung,” katanya, ketika ditemui di Kantor KPU Sitaro, Sabtu, 24 Agustus 2024.
Meskipun mereka telah dicoklit, 666 pemilih dari dua desa warga Pulau Ruang tersebut sudah tidak lagi masuk dalam daftar pemilih Sitaro, melainkan dimasukkan ke dalam pemilih khusus di Bitung.
Namun kebijakan pemusatan pengungsi ini menuai kritik dari internal KPU Sitaro sendiri. Kepala Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sitaro Fidel Malumbot menjelaskan keputusan untuk hanya mendirikan TPS loksus (lokasi khusus) bencana di Bitung tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan. Menurutnya, harus ada aturan baru yang bisa mengakomodasi hak pilih pengungsi dalam keadaan bencana.
Pasalnya masih ada 268 pemilih dari dua desa di Pulau Ruang yang tidak keluar dari Sitaro dan saat ini masih tinggal di wilayah Tagulandang (Sitaro).
“Mereka itu seharusnya masih bisa memilih Bupati dan Wakil Bupati di Sitaro, bukan di Bitung,” tegasnya, Jumat, 23 Agustus 2024.
Secara normatif, kata Fidel Malumbot, PKPU Nomor 7 Tahun 2024 maupun keputusan nomor 799 Tahun 2024 itu memungkinkan adanya TPS loksus. Tetapi ada beberapa poin yang menurut dia tidak relevan dengan kondisi pengungsi Gunung Ruang ini. TPS loksus itu mensyaratkan pengungsi itu terkonsentrasi pada satu titik, atau di beberapa titik tapi terkonsentrasi.
Pada kasus Gunung Ruang, pengungsi ada yang di Sagrat Bitung sekitar 200-an pemilih. Di Pineleng Minahasa ada sekitar 60-an pemilih dan sisanya masih menyebar di daerah lain di Sulawesi Utara, termasuk 268 pemilih yang ada di Tagulandang.
“Semestinya atas nama perlindungan hak pilih, maka loksus bencana itu diatur berbeda dengan loksus pada umumnya seperti lembaga pemasyarakatan, pondok pesantren atau daerah industri. Apalagi ini sifatnya force majeure. Dimana-mana itu kalau namanya force majeure bisa saja mengesampingkan yang sifatnya reguler,” kata Fidel.
Terombang-ambing proses relokasi
Saat ini, pengungsi masih memiliki KTP Sitaro. Namun, mereka tak akan lagi menjadi warga Sitaro, melainkan Bolang Mongondow Selatan (Bolsel), jika unit rumah relokasi di daerah tersebut sudah rampung.
Awalnya pemerintah merencanakan rumah relokasi ini akan selesai digarap dan bisa dihuni pada November 2024. Tetapi, relokasi bakal tertunda karena berbagai kendala, termasuk cuaca buruk yang menghambat proses pembangunan rumah baru di lokasi relokasi.
Ketidakpastian ini semakin mempertegas kegelisahan warga. Mereka yang tadinya sudah siap untuk pindah ke Bolsel, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa hingga saat ini mereka masih tinggal di pengungsian sementara dan nasib hak pilih mereka masih belum jelas.
“Informasi bahwa proses pekerjaan rumah di sana (Bolsel) sedikit terhambat karena faktor cuaca. Jadi dipastikan saat hari H pemilihan, kami masih tetap warga Sitaro,” ungkap Makatindu.
‘Hak Pilih Tak Boleh Hilang’
Toar Palilingan, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sam Ratulangi, mendesak KPU untuk segera bertindak untuk memastikan hak pilih pengungsi Gunung Ruang tidak hilang.
“KPU RI harus segera turun tangan. Semestinya ada kebijakan khusus bagi para pemilih yang berada di situasi seperti ini. Regulasi tidak boleh kaku, apalagi untuk masyarakat korban erupsi seperti mereka. Perlu ada surat edaran dari KPU RI untuk mengantisipasi pemilih yang sudah dihapus (datanya) dari Sitaro,” kata Toar ketika dihubungi, Kamis, 19 September 2024.
Lebih jauh, Toar menjelaskan, pengungsi tetap memiliki hak untuk memilih pemimpin kepala daerah mereka seperti layaknya warga Indonesia lain. Terlebih, Toar menyoroti bahwa jumlah 666 pemilih bukanlah angka kecil, dan hak pilih mereka dijamin oleh undang-undang. Persoalan ini, “tak boleh dianggap enteng.”
Kehilangan hak ini, menurutnya, akan menjadi pukulan ganda bagi para pengungsi. “Bayangkan, mereka sudah kehilangan tempat tinggal dan harus meninggalkan kampung halaman untuk selamanya. Jika sekarang mereka juga harus kehilangan hak pilih, itu sama saja dengan menambah kesedihan mereka,” lanjutnya.
“Jangan sampai kebijakan yang diambil merugikan mereka, para korban bencana. Demokrasi kita harus tetap berjalan, tapi juga harus melindungi hak setiap warga negara, terutama yang sedang dalam situasi sulit seperti ini.”
Pernyataan Toar Palilingan seolah menegaskan bahwa persoalan ini tidak hanya soal teknis penyelenggaraan pemilu, tapi lebih pada bagaimana negara memperlakukan warganya yang sedang berada dalam situasi sulit. Hak pilih adalah hak fundamental, dan mengabaikan hak ini sama saja dengan mengabaikan hak asasi manusia.
Mendekati tanggal 27 November, hari yang ditetapkan oleh KPU untuk pencoblosan Pilkada 2024, Warga Pulau Ruang masih berharap agar hak pilih mereka di Pemilihan Bupati Sitaro dapat diakomodir.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai kami dilupakan hanya karena kami berada jauh dari rumah,” ujar Ropli Yani Hebimisa menutup pembicaraan.
“Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa.”