ZONAUTARA.com – Berdasarkan data Sensus Pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang, jumlah petani gurem di Indonesia menunjukkan tren yang fluktuatif selama periode 2003 hingga 2023.
Petani gurem didefinisikan sebagai petani yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektare, yang membuat mereka rentan secara ekonomi dan memiliki produktivitas yang rendah. Meskipun sempat mengalami penurunan, jumlah petani gurem kembali meningkat dalam dekade terakhir.
Jumlah petani gurem dari 2003 hingga 2023
Pada tahun 2003, Indonesia memiliki 19.015.051 petani gurem. Sepuluh tahun kemudian, jumlah ini menurun secara signifikan menjadi 14.248.864 pada tahun 2013. Penurunan ini kemungkinan terkait dengan berbagai upaya pemerintah dalam program reforma agraria, modernisasi pertanian, dan urbanisasi yang menyebabkan berkurangnya jumlah petani kecil.
Namun, pada tahun 2023, jumlah petani gurem kembali meningkat menjadi 17.248.181 orang. Lonjakan ini menunjukkan adanya tantangan yang perlu dihadapi dalam sektor pertanian, termasuk masalah akses lahan, distribusi lahan yang tidak merata, serta keterbatasan modal dan teknologi di kalangan petani kecil.
Distribusi petani gurem di Indonesia berdasarkan provinsi
Pada tahun 2023, terdapat beberapa provinsi dengan jumlah petani gurem yang sangat tinggi. Berikut adalah 10 provinsi dengan jumlah petani gurem terbanyak:
- Jawa Timur: 4.475.033 orang
- Jawa Tengah: 3.466.475 orang
- Jawa Barat: 2.551.067 orang
- Sumatera Utara: 759.573 orang
- Lampung: 570.941 orang
- Nusa Tenggara Timur: 498.101 orang
- Nusa Tenggara Barat: 461.616 orang
- Aceh: 469.138 orang
- Sulawesi Selatan: 426.742 orang
- Banten: 443.263 orang
Dari data ini terlihat bahwa provinsi-provinsi di Pulau Jawa mendominasi jumlah petani gurem di Indonesia.
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menyumbang angka yang sangat besar, menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap pertanian lahan kecil masih sangat tinggi di wilayah ini.
Nilai Tukar Petani (NTP) Gabungan
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah indikator yang sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani. NTP dihitung dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani.
Jika NTP di atas 100, maka petani dianggap memperoleh keuntungan karena harga yang mereka terima lebih tinggi daripada harga yang harus mereka keluarkan untuk input produksi.
Dari grafik NTP yang disajikan, terlihat bahwa dari tahun 2014 hingga 2020, NTP petani relatif stagnan, berfluktuasi di sekitar angka 101 hingga 102. Namun, mulai tahun 2021, NTP menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Pada tahun 2021, NTP mencapai 104,6, lalu naik drastis pada tahun 2022 menjadi 107,3. Pada tahun 2023, NTP melonjak lagi menjadi 112,5, dan pada tahun 2024, hingga Agustus, NTP mencapai 118,8.
Peningkatan NTP ini menunjukkan adanya perbaikan dalam kesejahteraan petani secara keseluruhan, meskipun tantangan struktural masih ada, terutama bagi petani gurem yang tetap bergantung pada lahan kecil dengan produktivitas rendah.
Tantangan petani gurem di Indonesia
Peningkatan jumlah petani gurem dalam satu dekade terakhir menandakan adanya masalah mendasar dalam sektor pertanian Indonesia. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi peningkatan ini antara lain:
- Fragmentasi lahan: Dengan bertambahnya populasi dan warisan tanah yang terus terpecah-pecah antar generasi, lahan pertanian semakin kecil dan sulit untuk dimaksimalkan.
- Urbanisasi dan migrasi terbalik: Meskipun banyak masyarakat yang bermigrasi ke kota, sebagian mungkin kembali ke desa karena kurangnya lapangan kerja di perkotaan, sehingga meningkatkan jumlah petani gurem.
- Akses terbatas ke teknologi dan modal: Banyak petani gurem yang tidak memiliki akses yang memadai ke teknologi modern dan modal, sehingga sulit meningkatkan produktivitas mereka.
Meski demikian, peningkatan NTP dalam beberapa tahun terakhir merupakan pertanda positif bagi kesejahteraan petani. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenaikan harga komoditas pertanian atau kebijakan pemerintah yang lebih mendukung sektor ini, seperti subsidi pupuk atau program bantuan pertanian.
Namun, kenaikan NTP tidak serta merta menyelesaikan masalah struktural yang dihadapi petani gurem, seperti fragmentasi lahan dan akses ke teknologi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih fokus untuk mendukung petani gurem, seperti program konsolidasi lahan, penyediaan teknologi yang terjangkau, dan akses ke pasar yang lebih baik.
Kesimpulan
Data dari Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem di Indonesia masih sangat signifikan, terutama di provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Meskipun kesejahteraan petani secara keseluruhan telah meningkat, yang ditunjukkan oleh kenaikan NTP, tantangan bagi petani gurem masih besar.
Peningkatan jumlah petani gurem sejak 2013 memerlukan perhatian khusus dari pemerintah, terutama dalam hal kebijakan reforma agraria, akses ke teknologi, dan pengembangan infrastruktur pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani kecil.