Mengenal ‘Mintahang’: Tradisi menyambut bulan Ramadan masyarakat Bolmong

Indra Umbola
Penulis:
Editor: David Sumilat
Di Bolaang Mongondow (Bolmong) Sulawesi Utara, ada tradisi bernama Mintahang, sebuah adat mirip syukuran baca doa yang digelar saat jelang bulan Ramadan. (Foto:Ilustrasi)

ZONAUTARA.com – Ketika menjelang bulan Ramadan, masyarakat Bolaang Mongondow (Bolmong) akan berbondong-bondong menggelar syukuran baca doa di masjid maupun di rumah masing-masing. Tradisi baca doa ini oleh sebagian besar masyarakat disebut mintahang.

Prosesi unik menyambut bulan Ramadan ini biasanya didahului dengan ziarah dan bersih-bersih kubur keluarga dan sanak saudara.

Saat mintahang berlangsung, akan dipanjatkan berbagai macam doa, di antaranya doa keselamatan dan doa arwah untuk anggota keluarga yang telah berpulang.

Dari informasi yang dihimpun Zonautara.com, mintahang merupakan tradisi yang telah sejak lama mengakar dalam laku hidup masyarakat Bolmong.

Telah dikenal sejak abad 19


Tradisi mintahang di Bolmong setidaknya telah dikenal lebih dari seabad silam. Budayawan Bolmong Chairun Mokoginta mengkonfirmasi bahwa tradisi mintahang sudah dikenal masyarakat sejak abad ke-19.

Mintahang sudah dikenal sejak akhir abad 19. Pada jaman pemerintahan Raja Abram Sugeha, mintahang sudah dikenal,” ujar budayawan sepuh ini.

Senada, sejarawan Bolmong Uwin Mokodongan juga memperkirakan, mintahang telah dilakukan masyarakat Bolmong sejak abad ke-19.

Mintahang tak hanya saat menjelang bulan Ramadan

Pada dasarnya, baca doa melalui tradisi mintahang tak hanya dilakukan saat menjelang bulan Ramadan.

Mintahang bisa dilakukan di momen apa saja, tergantung apa yang menjadi hajat pelaku mintahang.

Mintahang pada dasarnya tidak hanya dilakukan menjelang bulan Ramadan. Setiap orang boleh melaksanakan mintahang sesuai kepentingan. Perbedaannya, menjelang bulan puasa mintahang dilaksanakan secara massif, baik di masjid atau di rumah,” terang Chairun Mokoginta.

Di lain sisi, Uwin Mokodongan juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, mintahang yang hari ini masih terus hidup adalah gambaran tradisi bagaimana orang Mongondow berhubungan dengan Sang Pencipta.

“Naik rumah baru, tuan rumah menggelar mintahang. Lulus kuliah, mintahang digelar. Peringatan 3 hari, 7 hari, atau 100 hari atas berpulangnya orang yang meninggal, mintahang juga digelar. Demikian pula jelang Ramadan. Isinya adalah ucapan syukur, doa, permintaan, dan harapan kepada Sang Pencipta agar senantiasa memberikan berkah, memberi keselamatan dan sebagainya. Dalam mintahang ada tetua adat dan tentu keterlibatan para pemuka agama (Islam) seperti Imam Masjid atau Pegawai Syar’i setempat yg biasa disebut jiou,” terang founder Monibi Institute ini.

Bentuk akulturasi kebudayaan Mongondow dan Islam

Uwin berpendapat, mintahang adalah bentuk akulturasi dari perjumpaan budaya lokal (Mongondow) dan Islam.

Mintahang yang kita lihat hari ini, yang melibatkan tokoh agama (Islam) dan tetua adat itu mulai dilakukan ketika Islam diterima di negeri ini dan terus mengalami perkembangan,” ungkapnya.

Ia memperkirakan, mintahang yang melibatkan unsur Islam di dalamnya dan kolaborasi antara tokoh Islam (Imam) dan tetua adat Mongondow dimulai ketika raja-raja memeluk Islam.

“Mulai dari Raja Ismail Cornelis Manoppo pada tahun 1829. Kemudian diteruskan oleh raja-raja selanjutnya yang mulai memeluk Islam seperti Jacobus Manuel Manoppo tahun 1833,” tutup Uwin.

***

Follow:
Mengawali karir junalistik di tahun 2019, mulai dari media cetak hingga beberapa media elektronik sebelum akhirnya bergabung dengan Zonautara.com di tahun 2024.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com