Gedung Putih pada Selasa (11/3) membela kebijakan deportasi Presiden Donald Trump setelah penangkapan Mahmoud Khalil pada akhir pekan. Khalil merupakan seorang aktivis Palestina dan penduduk tetap resmi Amerika Serikat, yang memainkan peran penting dalam protes universitas tahun lalu terkait perang di Gaza.
Pejabat Gedung Putih menggemakan janji Trump yang ia sampaikan pada Senin (10/3) untuk “menemukan, menangkap, dan mendeportasi para simpatisan teroris ini dari negara kita — dan mereka tidak akan pernah kembali lagi.”
Trump menegaskan kembali pernyataannya pada hari Selasa.
“Kita harus mengeluarkan mereka semua dari negara ini,” katanya. “Mereka pembuat onar. Mereka penghasut. Mereka tidak mencintai negara kita. Kita harus mengeluarkan mereka.”
Khalil, yang hingga Selasa masih ditahan, belum didakwa dengan tindak pidana apa pun.
“Ini adalah individu yang mengorganisir protes kelompok yang tidak hanya mengganggu kelas-kelas di kampus dan melecehkan mahasiswa Yahudi Amerika dan membuat mereka merasa tidak aman di kampus mereka sendiri tetapi juga mendistribusikan selebaran propaganda pro-Hamas dengan logo Hamas,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt. “Itulah perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh individu ini.”
Menurut data pemerintah AS yang melacak penangkapan imigrasi, seorang pria bernama Mahmoud Khalil, yang tercatat lahir di Suriah, ditahan di fasilitas ICE di pedesaan Louisiana. Khalil adalah mahasiswa Columbia University di Kota New York dan merupakan tokoh terkemuka selama protes yang berlangsung di institusi tersebut tahun lalu.
Trump juga berjanji, dalam unggahan media sosialnya pada hari Senin, bahwa akan ada lebih banyak penangkapan. Ketika ditanya berapa banyak lagi, Leavitt tidak menyebutkan jumlahnya.
“Tetapi saya tahu bahwa Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) sedang aktif menanganinya,” jawabnya. “Dan saya juga tahu bahwa Columbia University telah diberitahu nama-nama individu lain yang terlibat dalam aktivitas pro-Hamas, dan mereka menolak membantu DHS mengidentifikasi individu-individu tersebut di kampus, dan seperti yang dikatakan presiden dengan sangat tegas dalam pernyataannya kemarin, dia tidak akan menoleransi hal itu, dan kami berharap, mengharapkan semua perguruan tinggi dan universitas di Amerika untuk mematuhi kebijakan pemerintahan ini.”
Minggu lalu, pemerintah AS mengumumkan pembatalan segera sekitar $400 juta dalam bentuk hibah dan kontrak federal untuk Columbia University, karena pemerintah menganggap, “universitas tersebut terus-menerus tidak bertindak dalam kasus pelecehan mahasiswa-mahasiswa Yahudi.”
Dalam sebuah pernyataan, lembaga kajian Heritage Foundation, yang dokumen Project 2025-nya secara efektif telah menjadi pedoman kebijakan bagi pemerintahan Trump, memuji langkah untuk menghentikan pendanaan dan penangkapan Khalil, dengan mengatakan, dalam tajuk utama, “Heritage Memuji Keputusan Pemerintahan Trump untuk Memutus Dana Columbia University, Menangkap Pemimpin Mahasiswa Pro-Hamas.”
“Ini adalah langkah besar ke arah yang benar,” kata Jason Bedrick, seorang peneliti kebijakan pendidikan di lembaga tersebut. “Sudah terlalu lama, universitas seperti Columbia membiarkan kaum radikal terlibat dalam pelecehan yang menargetkan mahasiswa Yahudi, memicu kekerasan, mendukung organisasi teroris secara terbuka, dan melanggar kebijakan kampus tanpa dikenai hukuman.”
Di Gedung Kongres, anggota DPR dari Partai Demokrat, Jamie Raskin mengatakan penangkapan itu merupakan pelanggaran hak Amendemen Pertama Khalil. Raskin mengatakan dia “memantau dengan seksama” situasi tersebut.
Sementara Leavitt mengatakan pada hari Selasa bahwa menteri luar negeri memiliki kewenangan untuk mencabut Kartu Penduduk Tetap seseorang, yang juga dikenal sebagai kartu hijau, karena masalah keamanan nasional, para kritikus mempertanyakan legalitas tindakan tersebut.
“Penahanan Mahmoud Khalil merujuk pada buku pedoman otoriter,” kata Raskin, seorang profesor hukum tata negara, dalam sebuah pernyataan. “Penangkapannya menjadi preseden yang sangat berbahaya dan mengerikan dari pemerintahan yang bersikeras menggunakan rasa takut dan intimidasi sebagai senjata untuk menghancurkan perbedaan pendapat politik. Semua warga Amerika, termasuk mereka yang sangat tidak setuju dengan pidato Khalil, seharusnya marah dengan serangan terang-terangan ini terhadap kebebasan fundamental kita.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengatakan kepada VOA melalui email bahwa mereka merasa terhibur dengan keputusan hakim untuk memblokir deportasi Khalil.
“Apa yang akhirnya terjadi pada Mahmoud dapat menjadi preseden bagi banyak penduduk tetap sah lainnya dan bahkan mungkin warga negara Amerika yang menjadi sasaran dalam perang anti-Amerika terhadap kebebasan berbicara dan aktivisme damai,” kata Edward Ahmed Mitchell, wakil direktur nasional CAIR.
“Kebebasan berbicara bagi setiap orang di negara kita, termasuk penduduk tetap sah, adalah landasan demokrasi Amerika.” Komite Antidiskriminasi Amerika-Arab mengatakan kepada VOA melalui email bahwa kasus ini memunculkan banyak pertanyaan. “Mereka terus-menerus mengubah kriteria tentang apa yang antisemitisme dan apa yang bukan,” kata Direktur Eksekutif Nasional Abed Ayoub kepada VOA.
“Tidak ada bukti bahwa Mahmoud melakukan kejahatan. Apa kewenangan hukum yang mereka gunakan? Bagaimana dengan Amendemen Pertama? Sejauh mana pemerintah melangkah dengan ini? Apakah mereka akan menargetkan warga negara AS yang dinaturalisasi? Ini tampak seperti pertanyaan yang jelas, tetapi belum ditanyakan.”
Hakim Pengadilan Distrik AS Jesse Furman pada hari Senin memerintahkan agar Khalil tidak dideportasi untuk saat ini dan menetapkan sidang berikutnya pada hari Rabu. [ab/uh]
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia