ZONAUTARA.com – Hari kedua di Pohuwato, Gorontalo, Minggu (06/05/2025), sama seperti hari-hari dalam perjalanan sebelumnya, panas. Bahkan menurut candaan orang lokal, matahari di Gorontalo ada dua, saking panasnya.
Saya yang malam sebelumnya menginap di Paguat segera bergeser ke Marisa. Hawa panas dalam perjalanan kurang lebih 20 menit itu bagai merobek kulit lengan. Di kiri kanan jalan menghampar dataran hijau yang entah mengapa tak gersang meski diterpa terik macam itu dalam waktu yang tak ditentukan.
Di Marisa, saya yang berangkat bersama Ramdan dan Atika segera menuju rumahnya Qeyta, rumah yang memang tiap tahun menjadi tujuan utama saya ke Marisa.
Ketika memasuki permukiman, nampak deretan rumah-rumah dengan ukuran yang relatif sama. Ada beberapa yang lebih besar, namun jumlahnya tak banyak. Bisa jadi ini salah satu wujud paling nyata dari egalitarianisme yang tanpa sadar telah dianut dan dilakoni masyarakat pesisir sejak lama. Beberapa bocah berlarian. Suasana desa kental terasa.
Berbeda dengan wilayah urban yang saban hari kian membuka ruang pada hasrat individualistis, masyarakat di desa pesisir nampaknya masih setia dalam prinsip-prinsip hidup secara komunal.
Dari barisan rumah-rumah itu beberapa dicat dengan warna mencolok, hijau, biru, merah muda, oranye dan tosca. Orang-orang di sini seakan tak ingin tunduk pada estetika ala masyarakat urban, dan lebih mengutamakan fungsi ketimbang penampakan visual.

Setibanya kami di tujuan, tegur sapa adalah hal wajib. Kemudian rombongan berjumlah tiga orang ini segera disuguhi makan siang oleh si empunya rumah. Keramah-tamahan yang sama sekali tak berlebihan.
Setelah makan dan berbincang ringan, tujuan selanjutnya ke Torosiaje, sebuah desa di atas laut yang dihuni suku Bajo. Jaraknya dua jam perjalanan dari Marisa. Namun waktu kini mendekati pukul 15.00, hari sudah sore. Bila memaksa berangkat, rombongan diperkirakan tiba menjelang petang. Pemandangan akan sangat terbatas. Akhirnya kami urung menuju Torosiaje.
Padahal saya ingin merekam dalam ingatan segala tindak-tanduk masyarakat di sana. Bagaimana rasanya tinggal di atas air? Apakah mereka kelompok yang tersisa dari ungkapan nenek moyangku seorang pelaut? Dan masih banyak ‘apakah’ lainnya yang berkelindan di kepala.
Tapi waktu adalah seadil-adilnya hakim. Tak ada yang bisa melawan kuasa waktu. Waktu pulalah yang mengharuskan kami urung pergi. Betapa digdayanya waktu.
Batal berangkat, kami yang sekarang ketambahan Gusti dan Una memilih melanjutkan percakapan di ruang tengah rumah tingkat dua tersebut. Cuaca di luar masih sama, panas kering dan sedikit berangin.
Dari perbincangan dengan kawan-kawan yang berdomisili di Pohuwato itulah saya mendapat informasi seputar isu-isu terkini. Banyak lokasi tambang yang baru dibuka sekarang. Begitulah percakapan dimulai.
Saya berpandangan, kenyataan semacam ini berpotensi mencerabut identitas masyarakat bahari di daerah pesisir. Bukan tidak mungkin kultur maritim perlahan akan ditinggalkan seiring meningkatnya intensitas para pekerja tambang. Tentu pandangan di atas perlu kajian lebih lanjut dengan memasukkan semua unsur kompleksitas di dalamnya.
Namun satu yang pasti, latar belakang dan kejenuhan atas kondisi sosial akan bermuara pada terbentuknya nalar ekonomi pragmatis. Pun demikian, saya tak akan ikut-ikutan menghakimi, atau setidaknya tak buru-buru menilai. Sebab di atas sana, di tempat gelap, dingin dan berlumpur itu, beribu harapan digantungkan.
Semakin lama pembicaraan makin dalam dan sepertinya tak begitu cocok di sore yang panas dan berkeringat. Tema cerita berganti ke hal-hal receh yang mengundang tawa. Dalam hal ini kami setuju tanpa aba-aba.

Sejalan dengan bayang-bayang senja yang perlahan menapak laut di belakang rumah, kami mulai menyusun rencana untuk sisa hari ini hingga hari berikutnya. Intinya silaturahmi. Sebab mendekatkan yang jauh dan merekatkan yang retak adalah sebagian dari esensi Idul Fitri.
Malam jatuh di Marisa, percakapan tak kunjung usai. Hari sudah gelap, gerimis menderu dan sisa lembayung senja tak berbekas lagi di Bumi Panua. Beberapa kawan mulai berdatangan, menambah riuh suasana. Entah telah berapa botol minuman bersoda jadi saksi cerita ngalor-ngidul tersebut.
Umumnya kami hanya mengulang-ngulang cerita konyol dari masa lalu dan entah mengapa masih selalu terasa lucu. Membahas apa pun yang terlintas dari sekelebat ingatan. Beberapa cerita mungkin telah diulang lebih dari sepuluh kali, termasuk di pertemuan-pertemuan sebelumnya. Mungkin begitulah layaknya sahabat. Hangat dan cenderung irasional. Sebab jika dipaksa masuk akal akan terasa seperti segala macam revisi peraturan di negeri ini, manis di depan, komedinya belakangan.