ZONAUTARA.com – Saham di AS, Eropa, dan Asia terjun bebas, diikuti oleh penurunan harga obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), dolar, dan minyak. Kekacauan melanda pasar keuangan pada Rabu (9/4/2025) setelah tarif impor AS naik signifikan dan mitra dagang utama membalas dengan kenaikan tarif serupa.
Indeks S&P 500 dibuka turun 0,5%, menyusul pelemahan saham di Eropa dan Asia. Gejolak ini juga melanda pasar obligasi pemerintah—fenomena yang tidak biasa karena obligasi AS biasanya dianggap sebagai aset aman saat ketidakpastian ekonomi. Namun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS justru melonjak. Yield obligasi 10-tahun naik ke 4,47%, level tertinggi sejak Februari.
Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap puluhan negara mulai berlaku Rabu dini hari, dengan tarif impor dari China bahkan melebihi 100%. Beijing langsung membalas dengan menaikkan tarif untuk produk AS, termasuk tambahan tarif 50% yang berlaku hari ini, sehingga total tarif ekspor AS ke China mencapai 84%. Sementara itu, Uni Eropa menyetujui tindakan balasan yang akan berlaku mulai 15 April.
Dampak global
- Saham AS: S&P 500 mendekati zona bear market (turun 20% dari puncak terakhir).
- Asia: Saham Taiwan anjlok lebih dari 5%, Jepang turun 3%, dan Korea Selatan nyaris 2%. Hanya Shanghai yang sedikit menguat.
- Eropa: Indeks Stoxx Europe 600 jatuh lebih dari 3%, sementara FTSE 100 di London dan bursa utama Eropa lainnya turun lebih dari 2%.
- Nilai tukar dolar dan harga minyak juga melemah.
Pasar masuki situasi tak terduga
George Saravelos, Kepala Riset Valas Deutsche Bank, menyatakan pasar sedang memasuki “situasi tak terduga” di mana aset AS—saham, dolar, dan obligasi—jatuh bersamaan. Sementara itu, analis Rabobank mencatat situasi aneh: yield obligasi naik padahal pasar memprediksi Fed akan menurunkan suku bunga.
Goldman Sachs memperingatkan risiko memburuknya fungsi pasar akibat gejolak terakhir. BMI Research memperkirakan ekonomi Asia akan paling terdampak oleh kebijakan Trump, dengan potensi revisi penurunan proyeksi pertumbuhan.
Negosiasi masih terbuka
Pejabat AS menyatakan kesediaan bernegosiasi setelah puluhan negara mendekati pemerintah AS untuk kesepakatan dagang. Namun, Gedung Putih menetapkan standar tinggi untuk persyaratan Trump.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan AS tidak akan mundur meski China membalas dengan tarif mereka.
“Mereka surplus, ekspornya ke AS lima kali lipat ekspor kami ke China. Mereka bisa naikkan tarif, tapi apa dampaknya?” ujarnya di Fox Business.
Jepang menjadi ekonomi besar pertama yang berhasil merundingkan tarif dengan pemerintahan Trump, meski saham Tokyo tetap terkoreksi hari ini.