ZONAUTARA.com – Suasana pagi yang cerah di Kota Manado mendadak berubah mencekam ketika badai angin tiba-tiba melanda, Rabu (21/05/2025). Sekitar pukul 06.30 WITA, matahari perlahan muncul di cakrawala, menandai dimulainya aktivitas masyarakat.
Mulai dari warga yang berangkat ke kantor, ke pasar, hingga para nelayan yang mulai memadati perairan laut Manado.Suasana pagi yang cerah di Kota Manado mendadak berubah mencekam ketika badai angin tiba-tiba melanda, Rabu (21/05/2025).
Namun, sekitar pukul 07.20 WITA, angin kencang mulai terasa. Daun-daun berguguran, awan menghitam, dan gelombang laut mulai menggila.
Air laut yang sebelumnya tenang dan biru berubah menjadi kecoklatan. Di kawasan Pantai Sidulang Dua, Kecamatan Tuminting, puluhan nelayan tampak bergegas menyelamatkan perahu mereka.
Ada yang menyeberang ke Jalan Boulevard Dua, sebagian datang menggunakan sepeda motor.
Satu per satu nelayan menarik perahu ke daratan demi menghindari amukan ombak. Ahmad Abidjulu (57), seorang nelayan setempat, membagikan pengalamannya menghadapi badai seperti ini.
“Pastinya langsung lari ke darat. Bukan hanya sekali, tapi sering. Kalau sudah lihat awan hitam, apa pun yang sedang dikerjakan harus segera dihentikan dan kembali ke pantai,” ujar Ahmad sambil mengikat perahunya.
Ahmad mengatakan, berkat pengetahuan turun-temurun tentang tanda-tanda alam, para nelayan mampu mengantisipasi bahaya saat berada di laut.
“Selama ini belum pernah mengalami perahu terbalik saat badai, karena kami sudah tahu apa yang harus dilakukan jika ada tanda-tanda cuaca buruk. Tapi sekarang sudah berbeda. Kalau dulu, angin dari selatan atau barat masih bisa diperkirakan kapan datangnya. Sekarang, badai bisa datang tiba-tiba,” tuturnya.
Menurut Ahmad, dalam kondisi ekstrem seperti ini, para nelayan saling membantu untuk menyelamatkan perahu.
“Kalau cuma badai angin seperti ini, tidak terlalu berbahaya. Tapi kalau sudah banjir dan air laut naik ke jalan, kami harus angkat perahu sampai ke jalan raya. Kalau tidak, perahu bisa hancur dihantam ombak atau kayu-kayu dari Sungai Tondano,” jelasnya.
Ahmad menyebutkan, biaya pembuatan satu unit perahu nelayan seperti yang ia miliki mencapai Rp8 juta hingga Rp9 juta.
Ia juga mengungkapkan rasa syukurnya bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga lulus dan mendapatkan pekerjaan dari hasil menjadi nelayan selama lebih dari satu dekade.
“Kalau badai seperti ini berlangsung seminggu atau lebih, kami para nelayan terpaksa mencari penghasilan di darat. Kerja apa saja, yang penting halal dan bisa menyambung hidup,” katanya.
Menutup percakapan, Ahmad berharap pemerintah tetap memperhatikan nasib para nelayan kecil jika rencana reklamasi di Pantai Sidulang Dua benar-benar dilaksanakan.
“Memang kabarnya di sini akan ada reklamasi seluas sekitar 90 hektare. Kalau itu jadi, kami cuma minta disediakan tempat untuk meletakkan perahu, agar kami bisa tetap melaut,” pungkas Ahmad dengan mata yang tampak berkaca-kaca.