ZONAUTARA.com – Pagi itu, Palu menyambut saya dengan udara segar yang menusuk pelan, mengingatkan pada kesejukan pagi di Kotamobagu, kampung halaman saya di Sulawesi Utara. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di ibu kota Sulawesi Tengah. Sejak awal perjalanan, ada rasa penasaran yang besar untuk melihat langsung jejak-jejak bencana tsunami yang mengguncang Palu pada tahun 2018.
Beberapa hari berada di kota ini, saya memutuskan untuk bangun lebih awal di hari Minggu. Tujuannya sederhana: olahraga pagi sambil menikmati suasana kota. Seorang teman yang asli Palu menyarankan saya untuk joging di wilayah Palu Barat, tepatnya di jembatan baru yang dibangun tak jauh dari lokasi Jembatan Kuning yang dulu menjadi salah satu ikon kota.
Langkah demi langkah di atas jembatan panjang itu membawa saya pada pemandangan yang tidak biasa. Di tengah udara pagi dan aktivitas warga yang mulai ramai, pandangan saya tertumbuk pada Masjid Terapung.
Bangunan itu berdiri tak lagi utuh, namun tetap memancarkan keindahan dan kesan mendalam. Masjid ini dulunya berdiri di atas pantai, tapi kemudian tergeser akibat terjangan tsunami. Kini, ia seperti saksi bisu dari dahsyatnya kekuatan alam dan keteguhan manusia dalam menghadapi musibah.
Di sekitar lokasi, reruntuhan bangunan masih tampak. Beberapa sudah ditinggalkan begitu lama hingga tertutupi semak dan rumput liar. Tak jauh dari tempat saya berolahraga, berdiri sebuah pusat perbelanjaan—sebuah mal yang juga tak bisa saya lupakan. Bukan karena kemegahannya, tapi karena mal itu pernah terekam dalam banyak video amatir saat warga menyelamatkan diri dari amukan tsunami.

Sayangnya, saya tidak sempat memotretnya karena terlalu terfokus pada Masjid Terapung, dan juga karena tubuh sudah mulai lelah setelah berolahraga di jembatan yang terasa lebih panjang dari jalur olahraga biasa saya di Kotamobagu.
Suasana di sekitar jembatan pagi itu sangat hidup. Ada yang memancing, ada yang joging, ada yang ikut senam, bahkan sekelompok ibu-ibu yang asyik membuat konten TikTok. Kehidupan perlahan kembali menyatu di tempat yang dulu sempat porak poranda.
Setelah istirahat sejenak, saya melanjutkan perjalanan menuju Balaroa, salah satu lokasi yang terdampak likuifaksi. Di sana, saya berhenti di sebuah area yang dulunya merupakan permukiman warga, kini berubah menjadi semacam hutan.
Sebuah tugu kecil berdiri di tengah semak, menjadi penanda lokasi situs bencana. Saya sempat mengambil beberapa foto, lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor menyusuri wilayah Balaroa. Rumah-rumah yang runtuh masih terlihat, sebagian sudah ditumbuhi rumput liar.
Perjalanan pagi itu bukan sekadar olahraga atau mencari foto. Itu adalah perjalanan batin, menyaksikan luka lama yang perlahan berubah menjadi harapan. Kota ini pernah roboh, tapi kini mencoba berdiri kembali. Tidak selalu sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa kehidupan terus berjalan.

Saya bersyukur semesta memberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di Palu. Meski singkat, kunjungan ini cukup untuk membuat hati saya tertinggal lebih lama dari rencana. Palu, dengan segala ceritanya, menyimpan pelajaran tentang keteguhan, kehilangan, dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.