ZONAUTARA.com – Pagi itu, Theodora Gansa (82) sedang duduk di atas kasur usai menyelesaikan aktivitas rumah. Di usia lanjut, tidak banyak yang bisa ia lakukan selain memasak dan membersihkan rumah. Di belakangnya terbaring anak perempuannya, Aterice Balau (57), yang sudah mengalami lumpuh sejak berusia 11 tahun. Keduanya tinggal di rumah berukuran kurang dari 60 m², di Desa Kawahang, Kecamatan Siau Barat Utara, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro).
“Sejak ditinggal suami pada 2007 lalu, kami hanya tinggal berdua,” kata Theodora kepada Zonautara.com, di penghujung Agustus 2025.
Theodora hampir tiap bulan rajin datang ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang dilaksanakan Puskesmas Hiung di salah satu rumah warga desa. Ia kerap turun tanpa alat bantu. Meski lokasinya dekat, rumah mereka yang berada di bukit membuatnya kesulitan.
“Jangan sampai tidak sehat atau sakit, nanti tidak ada yang menjaga anak saya,” ungkapnya sambil tersenyum, meski matanya berkaca-kaca.
Di dalam rumah tampak tiga kursi kayu dan beberapa kursi pelantik, tampak juga sebuah lemari tua, serta bagian atas rumah tanpa plafon. Di usia senja, Theodora seharusnya sudah dilayani, tetapi kondisi ekonomi keluarga mereka membuatnya belum bisa menikmati itu. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia dibantu keluarga.
Salah satu anaknya, Winston Jefri Balau yang juga tinggal di Desa Kawahang sudah berkeluarga, dan tinggal di rumah berbeda. “Ada anak saya tapi dia tinggal di rumah berbeda, dia yang membantu setiap hari,” ujarnya.
Bantuan sering datang dari pihak Gereja. Menurut Theodora, warga jemaat Gereja setempat sering membawa makanan, membersihkan rumah, dan beribadah bersama mereka.
Theodora tercatat sebagai penerima bantuan dan masuk kategori keluarga penerima manfaat bersama Aterice dari Kementerian Sosial. Namun, pada 2025 ini, bantuan tersebut belum mereka terima.
“Kami sudah beberapa kali menerima bantuan. Dan sejak tahun 2024 kami menerima bantuan uang. Namun di tahun ini (2025) kami belum menerima. Biasanya dua juta dua ratus ribu rupiah. Satu tahun dua kali terima. Ada juga beras 10 kilogram lebih,” jelasnya.
Kini keduanya hanya bertahan dengan stok beras yang tersisa. Aterice mengaku sangat terpukul karena tidak bisa membantu ibunya. Ia berharap suatu saat bisa sembuh sehingga bisa menggantikan beban ibunya.
“Ayah sudah tidak ada dan ibu berjuang sendiri. Sangat sakit terasa,” kata Aterice sambil menangis dan melipat tangan.
Aterice berharap ada uluran tangan yang datang membantu mereka, sebab mereka tidak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tanggapan Dinas Sosial Sitaro
Zonautara.com mendatangi Dinas Sosial Kabupaten Kepulauan Sitaro. Berdasarkan data pemerintah daerah, Theodora Gansa masuk penerima bantuan sosial kategori desil dua, yang berarti sangat rentan dan harus dibantu. Kategori desil ini dimulai dari desil satu hingga desil enam.
“Kalau sudah enam berarti sudah mandiri,” kata Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial dan Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial Sitaro, Yudi Tamaka, Selasa (2/02025).
Namun, Yudi menyebut, dalam aplikasi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSN) milik Kementerian Sosial, Theodora dan anaknya sudah tidak lagi tercatat sebagai penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau bantuan sembako.
“Tapi masuk penerima bantuan untuk Program Keluarga Harapan. BPJS Kesehatan mereka juga masih aktif. Kalau tahun ini kami cek sampai bulan April ibu Theodora harusnya menerima Rp. 1.400.000. Namun belum ada dana masuk, biasanya akan masuk di Bank BRI dan bisa diambil langsung atau ada perwakilan,” jelasnya.
Terkait perubahan data, Yudi menjelaskan hal itu kewenangan DTSN.

“Tugas daerah hanya mengusulkan perubahan desil. Tetapi ini masih desil dua, namun ada pengurangan program bantuan. Sebenarnya masih harus dibantu. Kami juga kewalahan. Di aplikasi terbaru ada nama penerima dihapus tanpa ada penjelasan. Berbeda dengan dulu,” keluh Yudi.
Dinas Sosial Sitaro juga mengakui teknis pendataan bukan kewenangan mereka, sebab data terintegrasi dengan Badan Pusat Statistik.
“Kadang kami menemukan ada rumah warga yang layak dibantu atau masih sangat kesulitan, namun karena di data memiliki luas tanah besar, dianggap mampu,” ucap Yudi.
Sementara itu, dari Bidang Rehabilitasi Sosial, Frenny Roring menyebut keluarga Theodora sudah menerima bantuan sejak 2020. Bantuan itu berupa alat bantu, sandang, uang tunai, hingga sembako dari pemerintah daerah.
“Memang keluarga tersebut perlu dibantu sehingga rutin hampir setiap ada bantuan akan menjadi penerima,” ujarnya, saat ditemui pada Selasa (2/9//2025).
Fluktuaso data kemiskinan di Sitaro
Kemiskinan masih menjadi salah satu isu penting dalam pembangunan daerah, termasuk di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Data BPS melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat perkembangan garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin, serta persentase penduduk miskin sepanjang 2016 hingga 2024.
Pada 2016, garis kemiskinan berada di angka Rp264.632 per kapita per bulan. Angka ini terus meningkat hingga mencapai Rp388.056 pada 2024. Kenaikan ini sejalan dengan inflasi serta meningkatnya kebutuhan dasar masyarakat.
Jumlah penduduk miskin di Sitaro pada 2016 tercatat 6,96 ribu jiwa, menurun menjadi 5,63 ribu jiwa pada 2024. Penurunan terbesar terjadi pada 2022. Pada tahun itu penduduk miskin di Sitaro menyentuh angka 5,53 ribu jiwa. Namun naik lagi pada 2023.

Persentase penduduk miskin pada 2016 mencapai 10,58 persen, dan turun menjadi 8,32 persen pada 2024. Meski sempat naik di 2023 ke angka 8,76 persen, tren umumnya menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat.
Secara umum, data tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Sitaro. Namun, fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah agar terus memperkuat program pemberdayaan, akses pendidikan, kesehatan, serta lapangan kerja produktif.
Kisah Theodora dan Aterice menjadi potret nyata bagaimana angka statistik kemiskinan tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan. Meski data menunjukkan penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin, masih ada warga yang harus berjuang keras dalam keterbatasan.
Cerita keduanya menjadi pengingat bahwa kebijakan dan bantuan sosial harus tepat sasaran, agar mereka yang paling rentan benar-benar dapat merasakan kehadiran negara di tengah kesulitan hidup.


