ZONAUTARA.com – Bullying masih menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi banyak orang, khususnya di kalangan remaja. Meski sudah banyak kampanye anti-bullying digencarkan, kenyataannya tindakan penindasan, intimidasi, maupun perundungan tetap sering terjadi di sekolah maupun lingkungan sosial lainnya.
Dampak dari perilaku ini tidak hanya sesaat, tetapi bisa memengaruhi kesehatan mental dan perkembangan korban dalam jangka panjang.
Secara umum, bullying dapat dipahami sebagai tindakan atau perilaku yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis.
Pelaku biasanya merasa lebih kuat atau memiliki posisi dominan dibanding korban, sehingga menggunakan kekuatannya untuk merendahkan, mengintimidasi, atau bahkan melukai. Fenomena ini bisa dilakukan secara berkelompok maupun individu.
Sebuah riset dari UNESCO pada tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 32% siswa di seluruh dunia pernah mengalami perundungan di sekolah dalam satu bulan terakhir.
Data ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan bullying sebagai isu global yang tidak bisa dianggap sepele. Korban perundungan yang terus-menerus bisa mengalami tekanan emosional, rasa takut, hingga menurunnya prestasi akademik.
Di Indonesia sendiri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah merilis laporan pada 2022 yang menyebut bahwa perundungan masih menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang paling sering terjadi di sekolah.
Bahkan, laporan itu menegaskan bahwa media sosial kini juga menjadi ruang baru terjadinya bullying atau yang dikenal dengan istilah cyberbullying. Hal ini semakin memperluas jangkauan masalah karena perundungan bisa terjadi kapan saja tanpa batasan ruang dan waktu.
Jika ditelusuri lebih dalam, bullying memiliki beragam bentuk.
Yang pertama adalah bullying fisik, yaitu tindakan yang menyakiti tubuh korban, misalnya memukul, menendang, menjambak, mencubit, atau merusak barang milik korban. Dampaknya bisa berupa luka secara langsung maupun trauma yang menetap di kemudian hari.
Jenis kedua adalah bullying verbal, yakni tindakan menyakiti dengan kata-kata. Contohnya mengejek, menghina, memanggil dengan julukan yang merendahkan, atau mengancam. Bullying jenis ini sering dianggap sepele karena tidak meninggalkan luka fisik, padahal dampak psikologisnya bisa sangat berat, termasuk menurunkan harga diri korban.
Selanjutnya, ada bullying sosial atau relasional. Jenis ini lebih halus dan kadang tidak disadari, namun bisa sangat menyakitkan. Bentuknya seperti mengucilkan, menyebarkan gosip, atau merusak reputasi korban di hadapan orang lain. Bullying relasional ini biasanya bertujuan untuk memutuskan hubungan sosial korban dengan lingkungannya.
Jenis keempat adalah cyberbullying, yang semakin marak seiring perkembangan teknologi. Melalui media sosial, pesan singkat, atau platform daring lainnya, pelaku bisa mengintimidasi, mempermalukan, atau menyebarkan konten negatif tentang korban. Cyberbullying seringkali lebih berbahaya karena meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus dan bisa menyebar sangat cepat.
Berbagai jenis bullying ini menunjukkan bahwa perundungan tidak hanya soal fisik. Ia bisa hadir dalam bentuk kata-kata, sikap, maupun aksi digital. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menyadari bahayanya sejak dini. Sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial memiliki peran penting dalam mencegah serta menangani kasus perundungan.
Lebih dari sekadar masalah individu, bullying adalah tantangan sosial yang harus dihadapi bersama. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai definisi dan jenis-jenisnya, kita dapat lebih sigap dalam mendeteksi, mencegah, dan menghentikan perundungan di sekitar kita. Pada akhirnya, setiap anak dan remaja berhak tumbuh di lingkungan yang aman, sehat, dan penuh dukungan tanpa rasa takut akan menjadi korban bullying.


