Jarum jam menunjukan pukul 13.00. Dengan gagahnya matahari memantulkan cahaya hingga menembus kulit siapapun yang ada di jalanan. Meski terik matahari terasa bak sejengkal di atas kepala, hal itu tak membuat Abdul Botutihe (berusia sekitar 40an tahun) salah satu pengemudi becak motor (bentor) yang menunggu penumpang di depan SMP Negeri 4 Kotamobagu tak mangkal.
Sejak 2021 Abdul memutuskan menjual gerobak sayur miliknya, memilih bentor sebagai sumber pendapatan baru. Bermodal Rp 5 juta, motor Revo miliknya dimodifikasi menjadi bentor di salah satu bengkel di Kotamobagu.
“Dulu saya seorang pedagang sayur keliling, tetapi karena itu belum bisa mencukupi kebutuhan harian, dengan sisa uang yang ada saya modifikasi motor saya menjadi bentor,” ungkap Abdul, saat ditemui pada Rabu (5/11/2025).
Abdul berasal dari Gorontalo. Ia merantau ke Kotamobagu untuk sekedar menyambung hidup. Sewaktu tiba, harga bensin waktu itu masih berkisar Rp 9 ribu. Sekarang sudah mencapai Rp 12 ribu per liter, kenangnya.
Jika sedang ramai, Abdul bisa mengantongi penghasilan hingga Rp 300 ribu per hari. Sebagian besar pengguna jasa bentornya adalah anak sekolah. Ia mematok tarif Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per orang sekali jalan tergantung jarak.
“Kalau anak sekolah ya saya kasih murah. Kasihan juga mereka masih sekolah,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia menambahkan meski penumpangnya sebagian besar adalah anak sekolah, namun hasil yang ia dapatkan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Abdul juga menyoroti kejadian beberapa bulan lalu di depan sekolah MAN 1 Kotamobagu antara sopir grab dan pengemudi bentor yang beradu mulut karena berebut penumpang. Sebagai pengemudi bentor menurutnya hal itu sudah berlebihan.
“Rejeki sudah ada yang atur, tak perlu menghalangi sopir grab. Kita ini sama-sama mencari nafkah, alhamdulillah kalau untuk pendapatan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tambah Abdul.
Meski sudah beberapa tahun menjadi pengemudi bentor, Abdul mengaku belum sepenuhnya memahami regulasi atau aturan resmi terkait keberadaan bentor di Kotamobagu. Ia hanya mengikuti kebiasaan para pengemudi bentor lain yang juga beroperasi di sekitar sekolah atau pasar.
“Soal aturan resmi saya belum tahu juga, biasanya ikut saja sama teman-teman pengemudi bentor lain. Yang penting tidak ganggu lalu lintas,” tuturnya.
Namun Abdul tak bisa memungkiri bahwa zaman semakin canggih. Munculnya transportasi berbasis aplikasi seperti Grab dan Maxim menjadi kekhawatiran tersendiri baginya.
“Sekarang ini sudah banyak ojek online. Saya takutnya nanti bentor seperti kami ini tidak laku lagi. Kalau orang bisa pesan lewat HP, siapa yang mau cari bentor lagi?” ucapnya lirih.
Meski begitu, Abdul tetap berpegang pada keyakinan bahwa selama masih ada penumpang yang membutuhkan, terutama anak sekolah dan warga sekitar, bentor akan tetap laku dan memberi penghasilan.

Pro kontra
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kotamobagu Anas Tungkagi menjelaskan bahwa dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun terakhir, Terminal Serasi tipe C yang dikelola oleh Pemerintah Kota sepi bahkan terlihat mati suri. Meski begitu, terminal tersebut tidak pernah ditutup secara resmi oleh Pemkot.
Kondisi ini terjadi seiring dengan munculnya kendaraan alternatif bentor pada sekitar awal tahun 2000an, yang menyebabkan menurunnya jumlah angkutan kota hingga akhirnya hilang dengan sendirinya.
“Kehadiran bentor sangat diterima masyarakat sejak awal. Banyak penumpang yang rumahnya berada di lorong-lorong sempit yang tidak dapat dijangkau oleh angkutan kota. Dampaknya, bentor menjadi pilihan utama dan menggeser angkutan kota,” jelas Anas.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan berkurangnya angkutan dalam kota, Terminal Serasi tidak lagi difungsikan sebagai tempat aktivitas angkutan umum, meskipun hal tersebut bukan satu-satunya penyebab menurunnya aktivitas terminal.
Hingga saat ini, Dishub Kotamobagu belum memiliki data pasti jumlah bentor yang beroperasi. Namun banyak pemilik bentor bukan warga Kotamobagu, melainkan berasal dari daerah sekitar seperti Kopandakan Dua, Mopait, Moyongkota, Bilalang Tiga, dan Lobong yang sudah masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bolaang Mongondow yang berbatasan dengan Kotamobagu.
“Secara kasat mata memang terlihat ribuan bentor beroperasi di Kotamobagu, namun data pastinya belum kami miliki,” jelasnya.
Anas menambahkan, sejak dirinya menjabat sebagai kepala dinas pada akhir tahun 2023, pihaknya belum memperoleh data yang benar-benar akurat terkait jumlah bentor tersebut. Pernah ada upaya Dishub bersama Satlantas Polres Kotamobagu di bawah pimpinan AKP Bayu, serta pihak Jasa Raharja, untuk mengundang para pengemudi bentor guna pendataan, namun kegiatan tersebut terkendala keterbatasan anggaran.
Terkait perkembangan layanan transportasi berbasis aplikasi digital, Anas juga menyampaikan bahwa Dishub Kotamobagu mendukung kehadiran layanan seperti Maxim dan Grab, karena Kotamobagu merupakan kota jasa yang memerlukan inovasi dan kemajuan di sektor transportasi.
“Secara teknis, kami di Dishub harus membuat terobosan. Masyarakat tentu akan sangat terbantu dengan hadirnya layanan seperti Maxim atau Grab, karena dari sisi keselamatan, sistemnya jauh lebih terjamin,” ujarnya.
Namun demikian, Anas menegaskan bahwa bentor juga tetap dibutuhkan oleh masyarakat, meski secara regulasi tidak dapat difasilitasi untuk beroperasi di dalam terminal.
“Secara aturan, kendaraan bentor belum diakui spesifikasinya oleh Kementerian Perhubungan karena tidak memenuhi standar keselamatan. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat di Bolaang Mongondow Raya masih sangat bergantung pada bentor untuk mobilitas sehari-hari,” pungkasnya.

Mulyadi Ginoga (58), warga Kelurahan Kotobangon, yang telah menekuni profesi sebagai pengemudi bentor sejak tahun 2001 juga berbagi cerita soal penghasilan dari mengemudi bentor. Saat itu, bentor didatangkan dari Gorontalo dan dijual di Kotamobagu. “Waktu itu tarif sekali jalan untuk penumpang masih sekitar seribu rupiah. Belum banyak yang punya bentor karena masih ada bendi,” kenangnya.
Dari hasil mengemudi bentor, Mulyadi mampu membiayai kedua anak perempuannya hingga lulus SMA. “Alhamdulillah cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anak,” ujarnya. Ia juga menuturkan bahwa ibunya berasal dari Betawi, sedangkan ayahnya asli Kotobangon.
Menurutnya, penghasilan dari membawa bentor cukup, asalkan disertai dengan kerja keras dan keuletan. “Tergantung orangnya. Kalau rajin pasti cukup, tapi kalau cuma parkir saja, ya susah. Saya pribadi lebih memilih berkeliling daripada mangkal. ‘Bajalur kata orang,” ujarnya sambil tersenyum.
Mulyadi mengaku setiap hari ia mengeluarkan modal untuk mengisi bahan bakar di SPBU sebesar Rp30 ribu. “Lebih hemat kalau isi di SPBU Pertamina dibanding di depot,” katanya. Dari hasil mengemudi, ia bisa membawa pulang penghasilan bersih sekitar Rp100 ribu per hari.
“Kalau anak sekolah itu suka cari bentor yang ada tape musiknya,” tambahnya sambil tertawa kecil.

Sementara itu, Sriwahyuni Abdullah, seorang guru yang tinggal di Kelurahan Gogagoman, mengaku lebih nyaman menggunakan bentor dibanding ojek online.
“Harga bentor lebih terjangkau, sedangkan grab lebih mahal. Saya pernah coba dari Gogagoman ke sekolah di Anahal, tarifnya bisa lebih dari Rp20 ribu. Kalau bentor hanya sekitar Rp15 ribu, bahkan kadang bisa Rp10 ribu kalau pengemudinya kita kenal,” ungkapnya.
Menurut Sriwahyuni, bentor juga cukup aman digunakan. “Lumayan safety, tergantung pengemudinya juga,” ujarnya. Ia menambahkan, meski era digital memudahkan pemesanan transportasi online, bentor masih lebih praktis untuk kebutuhan sehari-hari. “Kalau ojek online kan harus dipesan dulu lewat aplikasi, kadang terkendala jaringan atau data. Bentor tinggal panggil saja yang lewat,” jelasnya.
Namun keberadaan bentor yang dianggap praktis dan murah itu, disoroti oleh sebagian warga terutama perilaku sejumlah pengemudi bentor yang kerap memuat penumpang melebihi kapasitas.

Bentor sering langgar aturan lalu lintas
Dari pantauan Zonautara.com Rabu,(5/11/2025) di beberapa titik, tak jarang bentor terlihat mengangkut hingga lima orang penumpang sekaligus, termasuk anak-anak. Kondisi ini bukan hanya membuat penumpang berdesakan, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan penumpang dan pengguna jalan lainnya.
“Saya pernah lihat satu bentor isi lima orang. Sudah sempit, Kalau oleng sedikit saja bisa jatuh. Ini membahayakan sekali. Pengemudi bentor itu tidak memikirkan keselamatan anak-anak ini,” kata Sitty warga Mogolaing saat ditemui di lapangan Alun-alun Hotinimbang.
Tarif yang terjangkau dan kemudahan akses membuat moda transportasi ini digemari banyak kalangan. Pengemudi bentor pun mau melayani penumpang meski jarak antar sangat dekat.
“Kalau mau ke pasar atau ke sekolah tinggal panggil bentor, cepat dan tanpa menunggupun banyak sekali yang lalu lalang.” ujar Djubaira Mokoagow warga Kelurahan Pobundayan.
Dari sisi kepastian hukum keberadaan bentor masih abu-abu. Kasat Lantas Polres Kotamobagu, Iptu Luster Simanjuntak, mengungkapkan bahwa keberadaan bentor di wilayah hukum Polres Kotamobagu hingga saat ini masih terus menjadi perhatian pihaknya, khususnya terkait aspek keselamatan dan kelengkapan administrasi kendaraan.
Menurutnya, bentor yang beroperasi sebagai kendaraan pengangkut penumpang harus menaati peraturan lalu lintas serta melengkapi identitas kendaraan berupa SIM dan STNK. Bentor sendiri dikategorikan sebagai kendaraan roda dua yang dimodifikasi menjadi motor penumpang, dan saat ini masuk dalam kategori kendaraan jenis penumpang.
Melalui Unit Kamsel (Keamanan dan Keselamatan), Polres Kotamobagu secara rutin menyampaikan pesan-pesan keselamatan kepada para pengemudi bentor.
“Kami selalu menyampaikan agar saat memuat penumpang tidak lebih dari dua orang, karena potensinya sangat rawan kecelakaan,” ujar Luster Simanjuntak.
Luster mengakui bahwa sebagian besar bentor di Kotamobagu tidak memiliki STNK dan pengemudinya tidak memilik SIM. Dalam lima tahun terakhir, data Polres Kotamobugu mencatat ada empat kasus kecelakaan yang melibatkan bentor.
Luster mengakui, bentor menjadi moda transportasi yang sangat diminati masyarakat Kotamobagu. Namun, tingginya jumlah bentor di jalan membuat lalu lintas semakin semrawut.
“Keberadaan bentor ini jujur membuat kami agak kewalahan karena banyak pengemudinya yang mengabaikan aturan lalu lintas, memarkir sembarangan, serta tidak memiliki identitas kendaraan lengkap,” ungkapnya.

Satlantas Polres Kotamobagu pernah berencana mendorong regulasi terkait kendaraan bentor agar lebih layak dan aman digunakan. Namun, upaya tersebut berpotensi menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
“Kami memang pernah melakukan penindakan, tapi kami juga harus melihat kearifan lokal masyarakat Kotamobagu. Sekitar 90 persen upaya kami lebih difokuskan pada sosialisasi keselamatan, sedangkan penindakan menjadi alternatif terakhir karena ini juga menyangkut urusan ekonomi dan mata pencaharian,” katanya.
Selain spesifikasi bentor belum diatur dalam perundang-undangan, banyak pula unit bentor yang berasal dari luar Kotamobagu, dan membayar pajak di Gorontalo atau Palu.
“Banyak bentor berplat DM dan DN dan dari sisi hukum kendaraan ini tidak sesuai spesifikasi karena posisi penumpang seharusnya berada di samping atau di belakang, bukan di depan. Namun pertimbangannya kembali lagi pada faktor ekonomi dan lapangan pekerjaan,” tambahnya.
Untuk membatasi bentor yang semakin banyak beroperasi, ada upaya penerapan sistem zona batas. Misalnya bentor dari Motoboi hanya bisa sampai Poyowa, dan dari Poyowa tidak bisa masuk ke kota.
“Namun kebijakan itu memicu demo karena terkait masalah ekonomi,” terang Luster.
Sementara regulator, baik Pemerintah Kota Kotamobagu dan Polres Kotamobagu mencari jalan terbaik untuk memastikan regulasi transportasi kendaraan bentor, Abdul dan Mulyadi terus menantang jalanan Kotamobagu mengantar penumpang mereka hingga ke depan pintu rumah. Sebab kendaran roda tiga inilah yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga mereka saat ini.

