ZONAUTARA.com — Setiap akhir pekan, jalanan Desa Bongkudai Baru, Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara (Sulut) akan ramai dengan pengunjung Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Ambang.
Bongkudai Baru sendiri merupakan desa terakhir yang akan dilalui para pengunjung sebelum memasuki kawasan TWA Gunung Ambang.
Entah hujan atau terik, siang atau malam, para pengunjung yang umumnya adalah pendaki itu tetap akan melakukan perjalanan yang telah direncanakan.
Sama seperti Sabtu (15/11/2025) pagi, puluhan pendaki yang didominasi anak muda sedang melakukan registrasi di pos penjagaan yang berlokasi di samping gerbang masuk TWA Gunung Ambang.
“Biasanya hari Sabtu yang paling banyak pengunjung,” ujar Sonny, salah seorang petugas pos penjagaan saat ditemui Zonautara.com.
Dengan kondisi jalan aspal yang belum terhubung ke pos penjagaan, para pendaki harus menempuh perjalanan sekitar satu kilometer dari tempat memarkir kendaraan.
Adapun kendaraan yang diparkir di tempat terbuka bukan tanpa risiko. Beberapa kali ada laporan pengunjung kehilangan helm.
“Ada juga aki motor (hilang),” tambah Sonny yang juga merupakan Masyarakat Mitra Polhut (MMP).
Namun Sonny tidak dapat berbuat banyak. Alasan utamanya karena letak pos dan tempat parkir kendaraan yang berjauhan.
Kejadian di atas mengindikasikan adanya potensi wisata yang belum terkelola dengan optimal sehingga sering kali harus mengorbankan faktor keamanan kendaraan para pengunjung.
Hal itu juga berkaitan dengan jam operasional pos yang hanya sampai sore hari di TWA yang baru ditetapkan delapan tahun lalu.

Potensi wisata di TWA Gunung Ambang
Mulanya kawasan Gunung Ambang merupakan cagar alam (CA) yang secara administratif terletak di dua kabupaten, yakni Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Bolmong Timur.
Status TWA Gunung Ambang baru ditetapkan pada tahun 2017 melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.29/Menlhk/Setjen/PLA.2/1/2017 tanggal 24 Januari 2017, dengan luas kurang lebih 2.606,24 Ha.
Kawasan Gunung Ambang baik sebagai CA maupun TWA berada dalam pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut. Dari luas 2.606,24 Ha, yang masuk dalam wilayah administratif, Bolmong seluas 317,77 ha dan sisanya 2.287,86 ha masuk ke dalam wilayah Boltim.
TWA Gunung Ambang menyimpan sejumlah potensi wisata, termasuk jalur hiking yang menuju beberapa destinasi seperti basecamp, panorama, puncak dan air terjun. Selain itu, di TWA Gunung Ambang juga terdapat beberapa spot untuk pengamatan burung (bird watching).
“Ada beberapa satwa endemik yang bisa ditemui di Gunung Ambang, antara lain anoa, yaki, kuskus, tarsius dan burung hantu,” ujar Kepala Seksi I BKSDA Sulut, Hendrik Rundengan saat dihubungi, Kamis (20/11/2025).
Potensi wisata yang ada di sekitar Gunung Ambang tersebut tentunya akan memberi peluang ekonomi kepada masyarakat setempat melalui berbagai cara, seperti pengembangan desa agrowisata, pengembangan UMKM, dan pemandu wisata.
Sesuai data dari BKSDA Sulut, sepanjang Juli hingga Desember 2025 tercatat 887 orang telah mengunjungi TWA Gunung Ambang yang terdiri dari 429 orang wisatawan nusantara dan 458 orang pelajar.
Jumlah tersebut tidak meliputi seluruh pengunjung sebab petugas jaga hanya berjaga di pos pada pukul 08.00 hingga 16.00.
“Iya, jumlah itu tidak termasuk yang mendaki malam dan pagi sekali,” ujar Sonny menegaskan.
Masyarakat pelaku UMKM di Bongkudai Baru merasakan dampak ekonomi dari pengunjung TWA Gunung Ambang. Frisilia, salah seorang pemilik warung mengungkapkan, meski belum signifikan namun di akhir pekan ada kenaikan omset di unit usaha warung miliknya.
“Iya, berdampak. Yang ramai itu biasanya hari Jumat, Sabtu, dan hari libur lainnya (tanggal merah). Peningkatan (omset) biasanya 30 persen. Tapi kalau libur (panjang), keuntungan bisa lebih banyak,” ucapnya.
Ia berharap TWA Gunung Ambang semakin terkelola dengan baik sehingga mampu mendatangkan lebih banyak wisatawan ke wilayah tersebut.
“Kalau sudah lebih bagus, dan lebih banyak pengunjung maka dampak ekonomi juga akan semakin besar,” ujarnya.

Tantangan pengelolaan wisata
Pelestarian CA dan TWA Gunung Ambang menemui berbagai tantangan. Yang paling banyak teramati adalah perilaku buang sampah sembarangan dan vandalisme yang terus terjadi di kawasan.
“Ada dua masalah yang besar di Ambang, yakni illegal logging dan perburuan satwa liar,” ucap Hendrik, menambahkan tantangan lain dalam pengelolaan kawasan TWA Gunung Ambang.
Hendrik mengatakan, saat pihaknya melakukan patroli di kawasan CA dan TWA, ada beberapa jerat yang ditemukan.
Hal tersebut juga diakui oleh Sangadi (kepala desa) Bongkudai Baru, Jerold Kamuh yang mengatakan, kedua hal di atas masih terus berlangsung sebagai akibat dari pengelolaan yang belum optimal, kurangnya kesadaran dan minimnya pengawasan.
“Pembalakan liar dan perburuan masih menjadi masalah yang perlu perhatian serius dari pihak terkait,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (20/11/2025).
Kurangnya personel juga menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan kawasan. Saat ini hanya ada empat orang yang bertugas mengawasi seluruh wilayah CA dan TWA Gunung Ambang, yang terdiri dari tiga orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan satu orang MMP.
“Untuk mengawasi sekitar 16.000 ha (luas total CA dan TWA Gunung Ambang),” ungkap Hendrik.
Hendrik menyampaikan, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan wilayah yang berbatasan dengan TWA Gunung Ambang merupakan hal yang penting. Untuk itu, pihaknya telah menyampaikan beberapa gagasan ke desa sekitar, seperti pengembangan agrowisata, UMKM, dan pemandu wisata lokal.
Menurutnya, pengelolaan wilayah yang berbatasan langsung dengan TWA Gunung Ambang dapat memberi dampak ekonomi bagi desa. Yang dapat dilakukan oleh desa misalnya pengelolaan lahan parkir, penyediaan fasilitas MCK, dan warung yang menyediakan kebutuhan pengunjung.
“Itu bisa memberi pendapatan tambahan ke desa,” ujarnya.


Ia pun menjelaskan, nantinya pihak BKSDA Sulut akan melakukan pelatihan untuk pemandu wisata lokal agar memenuhi standar. Pemandu wisata lokal nantinya akan dipermudah secara regulasi dan perizinan, termasuk tarif yang dikenakan.
“Jadi kalau ada pemandu wisata dari luar, mereka hanya bisa mengantar tamu sampai di gerbang. Selanjutnya, pemandu lokal yang akan mendampingi,” ucapnya.
Pelibatan masyarakat tersebut bertujuan untuk memperketat pengawasan di kawasan TWA Gunung Ambang. Contoh paling sederhana adalah dalam pengawasan sampah dan vandalisme.
“Pelibatan masyarakat lokal terutama di penjagaan. Pemandu lokal termasuk bertugas mengawasi sampah. Jadi ketika pengunjung masuk maka akan diperiksa apa saja yang dibawa dan sampahnya harus dibawa turun,” ucap Hendrik.
Selain itu, pihaknya juga berencana merekrut beberapa personel yang nantinya akan dijadikan kader lingkungan dalam rangka pengawasan kawasan.
“Kita harus berkolaborasi karena kalau hanya petugas kami, tidak mampu,” ucapnya.

Pelibatan masyarakat
Salah satu contoh pelibatan masyarakat yang dapat diamati dan ditiru adalah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dengan mengembangkan potensi UMKM berbasis wisata alam.
Dilansir dari RRI.co.id, upaya tersebut menjadi bagian dari strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi sekaligus mendukung pariwisata berkelanjutan.
Kepala Balai TN Bantimurung Bulusaraung, Tutut Heri Wibowo menyampaikan, pelibatan masyarakat dalam aktivitas wisata dan konservasi menjadi prioritas utama.
“Kami ingin masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara lestari,” ujarnya dalam wawancara singkat bersama RRI, Rabu (30/7/2025).
Berbagai program telah dijalankan, mulai dari pelatihan kewirausahaan, pengelolaan homestay, hingga pendampingan produksi suvenir lokal seperti kerajinan tangan, produk olahan makanan khas, dan jasa pemandu wisata.
Tidak hanya itu, Balai TN juga berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata, koperasi lokal, serta lembaga swadaya masyarakat dalam mengembangkan jaringan pemasaran dan promosi digital.
Sementara, dalam hal pengelolaan TWA Gunung Ambang, Jerold berpandangan, saat ini dampak ekonomi belum terlalu dirasakan oleh desa sekitar, sehingga dengan pelibatan masyarakat diharapkan mampu membuka peluang ekonomi yang lebih besar.
Bahkan, di desa yang dipimpinnya, Jerold mengatakan, ada beberapa program yang dicanangkan untuk mendukung pelestarian dan pemanfaatan kawasan melalui desa wisata.
Jika desa wisata bisa diwujudkan maka kunjungan wisatawan akan meningkat dan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian alam juga akan meningkat.
“Sebab ke depan diharapkan wisatawan yang datang bukan hanya dari tingkat nasional tetapi juga internasional,” pungkasnya.

