ZONAUTARA.com – Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kota Kotamobagu yang bermarkas di Kelurahan Motoboi Besar, menggelar Jalsah Salanah Nasional yang juga serentak digelar di 23 titik se-Indonesia.
Jalsah Salanah atau pertemuan tahunan JAI berlangsung selama tiga hari, dari Rabu (5/12/2025) sampai Minggu (7/12), kali ini menjadi istimewa karena dirangkaikan dengan perayaan satu abad kehadiran Ahmadiyah di Indonesia.
Di Kotamobagu, ratusan jemaat hadir dari berbagai wilayah, yakni Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku. Sejumlah organisasi lintas iman dan komunitas turut diundang, termasuk Gusdurian Kotamobagu, MLKI, Laroma, Baha’i, AJI Manado, Swara Parangpuan, LBH Manado, Gerakan Perempuan Sulut, Perwati, dan Koalisi Advokasi KKB Sulut.

Persiapan dan dukungan banyak pihak
Ketua Panitia Jalsah Salanah Kotamobagu, Syafrian Topayu, mengatakan, persiapan acara tahun ini berjalan intensif dan hanya membutuhkan waktu dua bulan sejak keputusan dari pusat setelah terpilihnya Amir Nasional yang baru.
“Meski ada sedikit dinamika, semuanya bisa diselesaikan dengan baik sehingga kegiatan berjalan lancar dan sukses. Kami juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sekitar. Ada sekitar 16 tokoh masyarakat yang hadir, termasuk lurah,” ujarnya, Sabtu (6/12/2025).

Menurut Syafrian, isu-isu yang berkembang di luar dapat ditangani sehingga harmonisasi kehidupan sosial tetap terjaga, terutama bagi jemaat Ahmadiyah.
“Harapannya, Jalsah Salanah menjadi milik bersama, bukan hanya milik Ahmadiyah. Jalsah harus memberi manfaat bagi semua orang. Siapa pun boleh hadir karena kami sangat terbuka. Hanya saja masih ada persepsi yang perlu diluruskan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Lajna Imaillah, Rahma Wahyuna Mutu, mengatakan, berlangsungnya acara jalsah tidak lepas dari keterlibatan dan peran perempuan Ahmadi.
“Bukan cuma soal konsumsi tapi juga dalam mengurus izin acara. Akhirnya, setelah melakukan pendekatan kultural, semuanya berjalan dengan baik,” singkatnya.

Suara bersama dari jaringan komunitas untuk toleransi
Menghadiri undangan Jalsah, Tyo Mokoagow dari Gusdurian Kotamobagu menegaskan adanya kedekatan historis antara Ahmadiyah dan Gusdur serta jaringan Gusdurian di Indonesia.
“Sejak dulu, Gusdur dan Gusdurian selalu mengadvokasi kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah,” kata Tyo.
Ia menilai Jalsah dapat menjadi ruang diskusi untuk mempromosikan keberagaman dan toleransi di Sulawesi Utara.
“Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana kita bisa saling menghormati jika tidak saling mengenal lewat diskusi seperti ini? Semoga di Bolaang Mongondow Raya, kita dapat mempraktikkan kebhinekaan yang berbasis pada Mototompiaan, Mototabian bo Mototanoban, kebhinekaan yang saling bakujaga, bakusayang, dan bakuinga,” harapnya.

Tyo juga menegaskan komitmen Gusdurian terhadap keberadaan Ahmadiyah.
“Dulu ketika ada tekanan terhadap Ahmadiyah, Gusdur berkata selama ia hidup, Ahmadiyah tidak akan dibubarkan. Jaringan Gusdurian adalah perpanjangan cita-cita dan harapan Gusdur. Jadi, selama Gusdurian ada, selama itu pula Ahmadiyah tetap hidup di Indonesia, termasuk di bumi Totabuan,” tegasnya.
Terpisah, Pdt. Ruth Ketsia Wangkai dari Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KKB) Sulut, juga turut hadir memberikan dukungan.
Ia menegaskan bahwa JAI merupakan bagian dari jejaring Koalisi Advokasi KKB yang memperjuangkan pemenuhan hak asasi manusia di Sulawesi Utara.
“Yang istimewa, Jalsah tahun ini juga merayakan seratus tahun kehadiran Ahmadiyah di Indonesia. Meski sempat ada dinamika karena rencana awal kegiatan dipusatkan di Jakarta, akhirnya diputuskan dilaksanakan di daerah. Saya pikir ini harus direspons positif. Kehadiran kami di sini adalah bentuk kepedulian atas situasi yang terjadi,” jelasnya.

Ia juga mengapresiasi keterlibatan aparat kepolisian yang menjaga jalannya acara.
“Syukur jemaat Ahmadiyah di Sulut bisa merayakan satu abad kehadiran di Indonesia. Ada pihak kepolisian yang turut mengamankan kegiatan ini, dan acara bisa berjalan tentu dengan izin Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kotamobagu,” kata Pdt. Ruth.
Sementara itu, perwakilan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Iswan Sual, menekankan pentingnya dialog lintas iman.
“Pergaulan lintas iman itu sangat perlu. Kadang ajaran kebenaran kita menjadi lebih jelas setelah kita berinteraksi dengan penganut kepercayaan lain,” katanya.
Iswan juga menyebut adanya keselarasan nilai antara Islam dan ajaran luhur Minahasa.
“Banyak ajaran Islam yang sinkron dengan kepercayaan asli Minahasa, seperti ungkapan Sapa ke’ si kayoba’ang anio’ tana’ta im baya… Aka’d se tu’us tumou wo tumou tou, yang mirip dengan makna rahmatan lil alamin,” ungkapnya.

Pilar penguatan toleransi di daerah
Sebagai catatan, Indonesia memiliki payung hukum yang mengatur jaminan hak beragama dan berkeyakinan, salah satunya tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaannya serta bebas menyatakan pikiran dan keyakinannya.
Prinsip ini menjadi landasan penting bagi keberadaan komunitas seperti JAI, MLKI, dan kelompok-kelompok keagamaan maupun penghayat di daerah.
Sementara itu, hasil riset Wahid Foundation (2023) menunjukkan bahwa interaksi lintas iman, seperti dialog, kunjungan, dan kerja sama antar komunitas, berpengaruh signifikan dalam menurunkan prasangka dan mengurangi potensi intoleransi di tingkat lokal.
Temuan ini sejalan dengan semangat pelaksanaan Jalsah Salanah di Kotamobagu yang menghadirkan banyak komunitas berbeda dalam satu ruang perjumpaan.
Melalui penyelenggaraan Jalsah tahun ini, JAI Kotamobagu bersama berbagai organisasi lintas iman menunjukkan bahwa ruang pertemuan terbuka dapat menjadi fondasi penting untuk memperkuat toleransi dan menjaga harmoni sosial di wilayah Bolaang Mongondow Raya provinsi Sulawesi Utara.
Dengan dukungan komunitas dan regulasi yang menjamin kebebasan berkeyakinan, kegiatan seperti ini menjadi langkah nyata menciptakan kehidupan bersama yang lebih inklusif.
“Rumah saya bahkan sering menjadi tempat untuk ibadah kolom, dan saya tidak apa-apa, semua itu justru menguatkan harmonisasi hidup kita, menjadikan keberagaman sebagai sebuah keistimewaan, seperti bunga yang berwarna-warni, namun karena itulah justru keindahannya terlihat,” ucap Agus Basit dari Baha’i.


