Menjaga Hutan Kota Bonawang, menjaga udara bersih Kotamobagu

Hutan kota ini menjadi contoh kecil dari ketahanan ekologis kota, bahwa ruang hijau tak hanya menyimpan oksigen tapi juga ingatan kolektif dan rasa memiliki.
hutan kota
Pintu masuk Hutan Kota Bonawang, Kotamobagu. (Foto: Zonautara.com / Tri Deyna Cahyani)
hutan kota

zonaX

Menjaga Hutan Kota Bonawang, menjaga udara bersih Kotamobagu

Hutan kota ini menjadi contoh kecil dari ketahanan ekologis kota, bahwa ruang hijau tak hanya menyimpan oksigen tapi juga ingatan kolektif dan rasa memiliki.

ZONAUTARA.com – Di salah satu sudut Kelurahan Mongkonai, Kotamobagu Barat, terhampar sebuah kawasan hijau yang bertahan melawan arus urbanisasi. Hutan Kota Bonawang namanya, dengan luas 4,39 hektar, menjadi paru-paru kota yang tak hanya menyuplai udara bersih, tetapi juga menyimpan sejarah panjang pengabdian manusia serta jejak kehidupan satwa liar yang masih bertahan di tengah padatnya permukiman warga.

Di balik kerindangan pepohonan dan jalur setapak yang membentang, kawasan ini menyimpan berlapis-lapis kisah tentang pengelolaan, harapan, konflik kewenangan, hingga masa depan ruang hijau kota.

Letaknya strategis namun rentan. Hutan Kota Bonawang berada di tengah permukiman Mongkonai Barat, hanya sekitar 15 menit dari pusat kota Kotamobagu. Kawasan ini dihimpit oleh terminal Bonawang di sisi selatan, jalan trans Sulawesi di bagian barat, serta permukiman padat di utara dan timur.

Beberapa gudang juga berjarak sekitar 600 hingga 800 meter dari lokasi ini, dan geliat aktivitas warga sehari-hari membuat kawasan ini seperti kantong hijau yang berjuang bernapas di tengah tekanan urbanisasi. Keberadaannya sangat krusial karena menjadi zona penahan kebisingan sekaligus pengatur suhu mikro di Kotamobagu.

Dalam riset Analisis Pemanfaatan Hutan Kota di Kotamobagu (Paransi, Wuisang, Sangkertadi, 2021), Hutan Kota Bonawang terbukti berperan penting dalam menjaga kualitas lingkungan. Suhu udara di Kotamobagu meningkat tajam dari tahun ke tahun. Pada 2015 suhu terendah tercatat 18 derajat Celsius dan tertinggi 28 derajat, sementara pada 2021 naik menjadi 20,4 hingga 36,4 derajat.




Di sekitar Hutan Kota Bonawang, suhu permukaan tanah relatif lebih stabil, berkisar 29–30 derajat. Vegetasi rapat di kawasan ini membantu menurunkan panas permukaan dan menahan polusi udara dari padatnya lalu lintas sekitar terminal.

Nilai Indeks Kualitas Udara (IKU) di kawasan tersebut berada pada angka 66,67, yang termasuk kategori “cukup” menurut klasifikasi Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini menandakan kemampuan hutan kota ini dalam menjaga kualitas udara di sekitar permukiman.

Sebelum menjadi hutan kota seperti sekarang, wilayah Bonawang bukanlah kawasan rindang. Bagi salah satu warga Mongkonai sekaligus penjaga tempat itu, Ramanda Malateng mereka masih mengingat saat area ini nyaris tanpa pohon dan kerap dilanda banjir akibat hilangnya penyangga alami. 

“Puncaknya terjadi sekitar tahun 2006, ketika banjir besar menerjang dan memicu kesadaran bahwa ruang hijau harus dibangun kembali,”ucapnya.

Namun kisah sesungguhnya bermula jauh sebelum itu. Ramda mengungkapkan pada tahun 1989, seorang Akademisi bernama Alwi Said menjadi salah satu figur awal yang merintis penanaman pohon di kawasan tersebut pada masa pemerintahan Bupati Marlina Moha, yang saat itu masih merupakan bagian dari Kabupaten Bolaang Mongondow.

Bahkan sebelum pemekaran wilayah menjadi Kotamobagu seperti saat ini, ia menyebutkan bahwa bupati sebelumnya juga telah melakukan penanaman pohon di wilayah ini sebelum pemerintahan Bupati Marlina Moha.

Upaya penanaman pohon terus berlanjut dari generasi ke generasi, hingga akhirnya pada masa pemerintahan Djelantik Mokodompit, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan kota yang berperan sebagai kawasan konservasi, edukasi lingkungan, dan ruang publik.

hutan kota
Kolase foto tegakkan pohon di Hutan Kota Bonawang, Kotamobagu. (Foto: Zonautara.com/ Tri Deyna Cahyani)

Di balik tegaknya pohon-pohon yang kini tumbuh besar, terdapat kisah pengabdian sunyi dari warga yang merawat kawasan ini tanpa banyak diketahui publik. Salah satunya adalah keluarga Satya Lambe, yang telah mengabdikan hidupnya pada hutan kota lebih dari dua dekade. Satia Lambe, (70) tahun, menceritakan bahwa suaminya dulu mengurus Hutan Kota Bonawang tanpa digaji.

“Dulu tidak ada gaji. Baru setelah dibangun jalan, suamiku mulai digaji tiga ratus ribu setiap tiga bulan,” tuturnya.

Pengabdiannya berlangsung lebih dari 20 tahun. Setelah suaminya wafat sekitar tahun 2016, Satia tetap terlibat menjaga kebersihan meski secara administrasi nama anaknya yang dicatat sebagai petugas. 

“Saya masih menyapu. Tapi sekarang mata saya baru dioperasi, jadi belum bisa turun lagi,” katanya pelan.

Sementara itu, Harti Imba dan suaminya Ramanda Maleteng merupakan generasi penerus lain dari keluarga penjaga kawasan. Harti mengungkapkan pekerjaan ayahnya yang mulai bertugas sejak 1989. Hingga kini ia telah menjaga hutan kota selama delapan tahun di bawah naungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Kotamobagu.

Meski hari-harinya dihabiskan untuk membersihkan area, memastikan jalur aman, dan memantau satwa, Harti dan Ramanda tidak bisa mengubah apapun di kawasan ini. 

“Kami hanya diberi kepercayaan menjaga. Dalam surat izin tinggal, kami tidak bisa mengubah apa pun,” jelas Ramanda.

hutan kota
Sartia Lambe (70), salah satu penjaga Hutan Kota Bonawang, Kotamobagu. (Foto: Zonautara.com / Tri Deyna Cahyani)

Harti juga menjelaskan ia menerima gaji sekitar dua juta rupiah per bulan, dipotong premi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan tanggung jawab pemeliharaan kawasan seluas hampir lima hektare dengan keanekaragaman flora dan fauna yang beragam.

Meski berada di tengah-tengah permukiman padat, Hutan Kota Bonawang masih memiliki kekayaan fauna yang mengesankan. Dalam pengamatan Ramanda, beberapa satwa masih menjadikan kawasan ini sebagai rumah, antara lain, rusa, babi hutan, burung rangkong, ayam hutan dan berbagai jenis burung yang dapat dikenali dari suaranya. Begitupun monyet yang sesekali muncul di bagian dalam hutan.

Selain itu, Harti menuturkan historis kawasan ini yang pernah dihuni satwa seperti musang, yaki (monyet hitam Sulawesi), dan beberapa jenis satwa kecil lainnya. Namun sekitar tahun 2017, BKSDA Sulut memindahkan yaki dari kawasan tersebut, karena ketiadaan fasilitas penangkaran dan risiko penularan penyakit. Menurut dokter hewan yang kala itu datang bersama pertugas BKSDA Sulut, penyakit pada yaki dapat menular ke manusia.

Kehilangan sejumlah satwa ini meninggalkan dampak besar. Pengunjung yang sebelumnya datang untuk melihat fauna mulai berkurang drastis. “Sejak hewan-hewan itu dipindahkan, pengunjung sudah jarang,” kata Harti.

Namun sebagian satwa masih tetap bertahan di hutan kota. Sebut saja babi hutan, rusa, dan beberapa jenis burung lainnya. Ini karena hutan kota menyediakan kanopi pohon yang rapat, sumber air dan ekosistem mikro yang masih terjaga.

Berdasarkan hasil riset, di kawasan ini terdapat 80 jenis flora dengan total 11.814 tumbuhan dan 24 jenis fauna. Jenis flora dominan adalah nantu dan mahoni. Dari total 11 jenis tumbuhan yang diteliti, karbon dioksida yang dapat diserap mencapai 876.162 kilogram per tahun. Hutan ini juga mampu menghasilkan sekitar 2.143 kilogram oksigen per hari.

Namun, untuk memenuhi kebutuhan oksigen seluruh warga Kotamobagu yang berjumlah lebih dari 100 ribu jiwa, dibutuhkan ruang hijau minimal 61,8 hektare. Artinya kota ini masih kekurangan hutan kota seperti Bonawang.

Ramanda menambahkan bahwa Hutan Kota Bonawang memiliki sekitar 90 jenis pohon, sebuah jumlah yang luar biasa untuk kawasan sekecil ini. Beragam spesies tanaman tahunan dan pohon-pohon keras tumbuh di sini, menjadikannya laboratorium alam terbuka yang sering dimanfaatkan mahasiswa, khususnya dari Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK) untuk kepentingan penelitian.

Mahasiswa maupun Kelompok Pecinta Alam (KPA) harus mengirim surat permohonan kepada DLH Kotamobagu sebelum melakukan kegiatan/observasi. Dan menurut penjaga di sana, intensitas penelitian cukup tinggi setiap tahun.

Menurutnya hutan kota ini menjadi ruang penting untuk pelestarian jenis-jenis pohon lokal yang mulai jarang ditemukan di perkotaan, termasuk pohon nantu yang baru-baru ini hampir ditebang oleh warga dengan alasan membahayakan rumah. Beruntung petugas dari DLH segera menghentikan aksi tersebut.

hutan kota

Polemik seputar status ruang Hutan Kota Bonawang juga menjadi bagian dari dinamika pengelolaannya. Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Kotamobagu 2014–2034, kawasan ini tercatat sebagai kawasan perkebunan dan tanaman tahunan, bukan hutan kota.




Namun dalam proses revisi RTRW terbaru, Kabid Tata Ruang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kotamobagu, Zanti, menyatakan bahwa statusnya sedang diarahkan menjadi rimba kota/hutan kota.

“Di dalam revisi RTRW Kota Kotamobagu yang saat ini masih berproses, statusnya rimba kota atau hutan kota. Tapi di dalam Perda RTRW 2014-2034 yang saat ini masih berlaku peruntukannya dalam pola ruang kawasan perkebunan dan tanaman tahunan,” ungkap Zanti saat dihubungi Zonautara.com, Rab (3/12/2025).

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Refli Mokoginta menegaskan bahwa secara fungsional dan operasional, mereka menjadi penanggung jawab penuh pemeliharaan kawasan, terutama karena Hutan Kota Bonawang menjadi salah satu titik yang dipantau dalam penilaian Adipura, sebuah indikator penting kebersihan dan pengelolaan lingkungan perkotaan.

“Itu dibawah tanggung jawab DLH,”ungkapnya.

Meski kaya biodiversitas dan bersejarah panjang, sebagai ruang terbuka hijau, Hutan Kota Bonawang menghadapi masalah yaitu kurangnya fasilitas. Ketua KPA Maleo Kelvin Rengki, mengusulkan perbaikan fasilitas dasar seperti toilet umum yang layak, akses air bersih, dan area camping ground bagi pecinta alam. Kelvin mengaku beberapa kali berkunjung dan kesulitan untuk kebutuhan dasar seperti buang air. Selain itu, akses jalan menuju hutan kota juga menjadi keluhan utama pengunjung.

Ramanda mengenang masa pemerintahan sebelumnya ketika jalan masih bagus dan ramai dikunjungi. “Tapi sekarang Wali Kota belum pernah berkunjung. Siapa tahu kalau beliau datang, bisa lihat langsung kondisi jalan,” harap Ramanda.

Tanpa jalan yang baik, pengunjung semakin jarang, dan potensi hutan kota sebagai destinasi wisata sulit berkembang. Begitu juga, keberadaan hutan kota di tengah pemukiman warga membawa tantangan tersendiri. Beberapa tahun terakhir, ada kasus warga yang memotong pohon dengan alasan pohon terlalu dekat dengan rumah atau dianggap membahayakan.

Menurut Harti dan Ramanda sudah tiga pohon ditebang sebelumnya, dan yang terbaru adalah pohon nantu’ meski posisi pohon sebenarnya masih jauh dari bangunan. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan lahan akibat perkembangan lingkungan sekitar.

hutan kota
Para penjaga hutan kota di Kotamobagu. (Foto: Zonautara.com / Tri Deyna Cahyani)

Di sisi lain, Fitri Mondo salah satu warga Mongkonai mengungkapkan bahwa warga tetap memanfaatkan hutan kota sebagai ruang untuk mencari kayu kering atau sekadar berkumpul di bawah pohon. Mereka mengaku senang hutan kota masih ada karena memberi kesejukan di tengah cuaca panas.

“Lain kali kami mencari ranting kering untuk kayu bakar,”ungkapnya.

Hutan Kota Bonawang bukan sekadar simbol ketahanan kota di tengah pemukiman dan pembangunan, tetapi juga sebagai penyimpan memori kolektif sejak 1989, laboratorium alam mahasiswa, rumah puluhan jenis satwa, serta bukti ruang hijau masih bisa bertahan ketika dirawat oleh tangan-tangan sederhana seperti Harti dan Ramanda.

Hutan Kota Bonawang menjadi contoh kecil dari ketahanan ekologis kota, bahwa ruang hijau tak hanya menyimpan oksigen tapi juga ingatan kolektif dan rasa memiliki. Sebuah ruang yang bertahan bukan karena kebijakan semata, tapi karena kesetiaan orang-orang yang menjaganya setiap hari.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com