ZONAUTARA.com – Kota sering kali tumbuh tanpa cukup ruang bagi warganya untuk benar-benar terhubung, baik dengan alam, maupun dengan sesama. Bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, atau perempuan kepala keluarga, ruang-ruang produktif yang ramah dan terbuka masih menjadi kemewahan yang langka.
Namun kini, urban farming atau pertanian kota membuka peluang baru untuk menghadirkan ruang inklusif yang bisa diakses siapa saja.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kebun komunitas yang dirancang dengan pendekatan aksesibilitas. Bedeng tanaman dibuat setinggi pinggang agar mudah dijangkau, jalur setapak cukup lebar untuk kursi roda, dan aktivitas berkebun disesuaikan dengan kapasitas fisik masing-masing orang. Prinsip dasarnya sederhana, setiap orang berhak terlibat dalam proses menanam dan memanen, tanpa terkecuali.
Penelitian yang diterbitkan dalam Frontiers in Sustainable Cities (2022) menegaskan bahwa partisipasi dalam kegiatan urban farming dapat memperkuat kohesi sosial dan mengurangi rasa kesepian di lingkungan kota.
Kebun kolektif menciptakan ruang interaksi lintas generasi dan latar belakang sosial, yang pada akhirnya membangun komunitas yang lebih peduli dan saling menopang.
Lebih dari sekadar kegiatan bercocok tanam, urban farming menjadi ruang pemulihan. Aktivitas seperti menyiram, menyemai benih, hingga membuat kompos memberi ritme baru bagi mereka yang kerap merasa terpinggirkan.
Ruang ini bukan hanya soal produksi pangan, tapi juga tentang memulihkan martabat, harga diri, dan rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar.
Upaya menjadikan urban farming sebagai gerakan inklusif memang membutuhkan komitmen kolektif. Perlu desain ruang yang ramah akses, pola kerja yang fleksibel, serta dukungan dari warga dan pemerintah lokal. Namun yang paling penting, semua berawal dari kesadaran bahwa ruang hijau bukan hak istimewa, melainkan kebutuhan dasar semua warga kota.
Dengan melibatkan lebih banyak orang dari beragam latar belakang, urban farming bukan hanya tentang menanam di kota. Ia menjelma menjadi gerakan sosial yang menumbuhkan solidaritas, kesetaraan, dan harapan. Sebab di sela-sela daun dan tanah, ada kehidupan yang tumbuh bersama—secara adil dan setara.


