ZONAUTARA.com – Suara deru kendaraan di atas kepala mereka tak pernah berhenti. Dari pagi hingga malam, getaran mesin dan bunyi klakson bersahut-sahutan seperti musik latar yang tak diundang. Di bawah jembatan beton yang kokoh, terhampar dunia lain dunia yang penuh tumpukan kayu bekas, sampah plastik, karung lusuh, dan potongan pakaian yang tercecer tanpa arah. Inilah wajah Kampung Tongkol, yang terletak di Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Sebuah permukiman kumuh yang berdiri di sela-sela megahnya ibu kota Indonesia.
Meski nampak suram, ada secercah kehidupan yang tak pernah padam. Aldy, bocah berusia 10 tahun, berlarian bersama dua sahabatnya, Alfi dan Daffa. Mereka menendang bola plastik yang sudah kempis, sembari tertawa riang seolah tak peduli dengan debu dan bau menyengat.
“Kalau bolanya pecah, cari lagi saja di tumpukan sampah,” ucap Aldy sambil tersenyum polos dan penuh semangat saat di temui Zonautara, Rabu (20/9/2025).
Keduanya mengaku sering bermain petak umpet di antara tiang beton besar yang menyangga jembatan.
Sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat, lorong sempit dengan dinding tripleks usang itu berubah jadi arena permainan. Bagi mereka, dunia di Kampung Tongkol bukanlah kubangan kesulitan, melainkan tempat di mana persahabatan tumbuh sederhana.
Namun, di balik tawa anak-anak, ada kisah orang dewasa yang penuh harap dan cemas.
Asih, seorang perempuan paruh baya, duduk di depan rumah semi permanen yang dindingnya dari papan lapuk. Matanya menatap jauh, seolah menembus tumpukan kayu dan sampah yang menggunung. Ia adalah salah satu warga yang paling menantikan hadirnya rusun (rumah susun) yang dijanjikan pemerintah diwujudkan pada tahun depan.

“Katanya mau dibangun rusun di dekat sini. Saya hanya bisa berharap, semoga benar-benar jadi,” ucap Asih dengan nada lirih.
Selama puluhan tahun, ia tinggal di kolong jembatan, berpindah dari satu gubuk ke gubuk lain, sambil membesarkan anak-anaknya dalam keterbatasan. Yang ia inginkan saat ini sederhana: sebuah tempat layak untuk berteduh di hari tua, jauh dari bau busuk sampah dan ancaman banjir yang datang setiap musim hujan.
Bagi Asih, rusun yang diidamkan itu bukan sekadar bangunan bertingkat. Ia menyebutnya sebagai rumah harapan, tempat di mana anak cucunya kelak bisa tumbuh tanpa dihantui rasa takut dan rasa malu karena tinggal di kolong jembatan.
Di sudut lain Kampung Tongkol, Fatma sibuk mengurus keluarganya yang besar. Di usianya yang sudah renta, ia masih menjadi tumpuan bagi dua anaknya dengan tujuh cucu.
Rumah kecil yang ditempatinya tak pernah sepi. Suara cucu-cucunya yang berlarian bercampur dengan tangis bayi, menjadikan ruang sempit itu penuh kehidupan.
“Kadang makan cuma seadanya, yang penting anak-anak tidak kelaparan,” kata Fatma sambil mengelus kepala cucu bungsunya.
Meski hidup dalam keterbatasan, Fatma jarang mengeluh. Baginya, kebahagiaan sederhana itu datangg pada saat melihat cucu-cucunya bisa tertawa, meski hanya bermain dengan mainan bekas dari tumpukan sampah. Namun, di balik senyum dan ketegarannya, tersimpan kecemasan besar, bagaimana masa depan anak-anak itu jika hidup terus berjalan di lorong kumuh.

Kampung Tongkol adalah cermin keterpinggiran yang nyata di tengah kota megapolitan. Di satu sisi, deretan gedung pencakar langit berdiri megah, menandai kemajuan zaman. Di sisi lain, kehidupan warga di kolong jembatan ini berjalan dengan cara paling sederhana, bertahan hidup dari sisa-sisa yang dibuang kota.
Di sela-sela kayu lapuk, sampah plastik, dan bau busuk, ada tawa anak-anak seperti Aldy, Alfi, dan Daffa. Ada pula harapan yang menyala di hati orang-orang seperti Asih dan Fatma. Mereka percaya bahwa hidup selalu menyisakan ruang untuk berharap, meski kenyataan sering kali pahit.
Kampung Tongkol mungkin tampak kumuh bagi mata luar. Tetapi bagi penghuninya, tempat ini adalah rumah rumah yang penuh cerita, perjuangan, dan doa. Dan di balik beton yang keras, kehidupan tetap menemukan caranya untuk bertahan.


