Hasil Survei
Isu Keselamatan dan Keamanan Jurnalis
di Sulut

Survei ini merupakan bagian dari Liputan Kolaborasi yang dikerjakan oleh 6 media siber di Sulawesi Utara

Survei ini dilakukan selama minggu pertama dan minggu kedua November 2022. Responden merupakan jurnalis aktif yang berdomisili di Sulawesi Utara (Sulut) dan bekerja di wilayah liputan Sulut. Pemilihan responden dilakukan secara tertarget.

Distribusi survei menggunakan Google Form serta wawancara secara langsung, dan disebarkan sesuai target responden, dengan memperhatikan gender, faktor usia, senioritas, level jabatan, tingkat pendidikan, status keluarga, organisasi profesi.

Distribusi form menjangkau jurnalis di 15 kabupaten/kota yang ada di Sulut. Namun hingga batas waktu yang ditentukan, responden dari Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud tidak mengirimkan jawaban.

Survei menjangkau 110 responden yang merupakan jurnalis aktif di Sulawesi Utara. Jangkauan terbanyak adalah jurnalis laki-laki. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa hanya sedikit perempuan yang menjadi jurnalis aktif di Sulut saat ini. Saat sedang liputan, terlihat yang mendominasi adalah jurnalis laki-laki.
Rata-rata usia responden ada pada rentang 30-50 tahun. Masih ada 4,5% yang berusia di atas 50. Hanya 16,1% responden yang berusia antara 18-29 tahun (muda). Kondisi ini juga mengindikasikan fakta bahwa generasi muda di Sulut tidak terlalu tertarik dengan profesi jurnalis, selaras dengan kenyataan di lapangan, bahwa sangat kurang ditemui jurnalis muda yang beraktivitas dalam liputan.
Survei tidak dapat menjangkau secara luas jurnalis di dua kabuoaten yakni Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Hal ini bisa dimaklumi karena akses internet yang masih terbatas di 2 daerah tersebut. Manado merupakan domisili terbanyak jurnalis di Sulut, selaras dengan ibukota provinsi Sulut itu menjadi pusat pemerintahan, politik dan ekonomi Sulut. Manado juga menjadi daerah paling banyak menyita pemberitaan dan perhatian publik. Bitung dan Talaud tidak terwakili.
Lokasi domisili responden antara perkotaan dan desa berimbang. Hasil ini mencerminkan bahwa kehadiran profesi jurnalis di Sulut dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Gambaran umum kondisi jurnalis di Sulawesi Utara ini, berdasarkan hasil dari survei yang sudah dilakukan terhadap 110 responden jurnalis aktif yang bersedia mengisi form survei.

Wilayah liputan



Dari survei diperoleh data bahwa sebanyak 22 persen jurnalis di Sulut bekerja di lebih dari satu daerah atau di lebih dari satu pos liputan.

Paling banyak jurnalis meliput di Manado. Hal ini relevan dengan kondisi Kota Manado sebagai pusat pemerintahan provinsi dan juga merupakan pusat ekonomi dan bisnis di Sulut. Manado juga menjadi pintu gerbang masuk terutama melalui bandara bagi pendatang dari luar Sulut. Sejauh ini, isu-isu penting pemberitaan dan menjadi perhatian luas terbanyak berasal dari Manado.






Status pernikahan dan tanggungan



Pada umumnya jurnalis di Sulut sudah menikah, dan pada umumnya memiliki tanggungan di dalam rumah lebih dari satu orang. Bahkan ada 15 responden dari survei ini yang mengaku memiliki tanggungan 5 orang, sementara 22 responden memiliki tanggung 4 orang.

Persoalannya adalah, apakah penghasilan dari profesi jurnalis dapat menutupi jumlah tanggungan yang lumayan banyak tersebut?






Pendidikan



Lebih dari 50 persen jurnalis di Sulut telah menyelesaikan pendidikan strata 1. Bahkan ada 0,9% yang menempuh pendidikan hingga S2 dan 1,8% berpendidikan hingga jenjang diploma.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa jurnalis di Sulut rata-rata mempunyai pengetahuan yang baik secara umum. Namun apakah latar belakang pendidikan tinggi tersebut berkorelasi dengan produk jurnalistik yang dihasilkan dan pemahaman yang baik tentang keselamatan dan keamanan liputan? Hal ini tentu perlu ditelusuri lebih lanjut.






Penghasilan



Sebanyak 48,5% jurnalis di Sulut berpenghasilan per bulanb dibawah UMP (UMP Sulut 2022: Rp3,49jt). Terbanyak berpenghasilan antara Rp 3 jt hingga Rp 5 jt per bulan. Hanya 3 responden yang mengaku berpenghasilan di atas Rp 7 juta. Adapun penghasilan yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivita sebagai jurnalis.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan lebih lanjut adalah, apakah penghasilan per bulan dibawah UMP itu bisa mencukupi kebutuhan hidup?






Status pekerjaan



Sebanyak 37,3% jurnalis di Sulut mengaku berstatus sebagai pekerja tetap, sementara yang berstatus sebagai kontributor dan pekerja lepas masing-masing sebesar 15%. Namun yang menarik, dari survei yang dilakukan tersebut, ada 4 responden yang mengaku tidak tahu status pekerjaannya di media.

Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah status pekerjaan sebagai pekerja tetap berkorelasi dengan kontrak kerja?






Lama bekerja



Rata-rata jurnalis di Sulut sudah cukup lama bekerja. Yang bekerja di atas 5 tahun mencapai 65,4% (33,6% diantaranya diatas 10 tahun). Hal ini mengindikasikan dua hal, pertama bahwa jurnalis di Sulut betah menjalani profesinya, dan kedua jurnalis di Sulut telah mempunyai cukup pengalaman.

Pertanyaannya adalah apakah kondisi ini berkorelasi dengan pemahaman terhadap keselamatan dan keamanan saat meliput?






Kondisi disabilitas



Hasil survei mengungkapkan bahwa ada 2 responden yang mengaku sebagai penyandang disabilitas dan berprofesi sebagai jurnalis. Hal ini mengindikasikan bahwa profesi jurnalis di Sulut dapat dilakoni oleh siapapun.






Kebiasaan pindah media



Secara umum jurnalis di Sulut sering berpindah media, bahkan 19,1% menyatakan lebih dari 3 kali berpindah media tempatnya bekerja. Hanya 20 persen yang mengaku tidak pernah berpindah media selama menjadi jurnalis.

Perlu ditelusuri lebih lanjut faktor apa yang membuat jurnalis di Sulut sering berpindah media? Apakah ini berkorelasi dengan lama bekerja sebagai jurnalis?






Lama bekerja di media terakhir



Meski sering berpindah media, namun jurnalis di Sulut bekerja cukup lama di media terakhir. Ada lebih dari setengah yang bekerja antara 1 hingga 5 tahun, bahkan ada 25,5% yang bekerja diatas 5 tahun di media terakhirnya.

Bagaimana hubungan antara jurnalis dan media tempatnya bekerja tekait masalah keselamatan dan keamanan, tergambar pula dalam survei yang dilakukan ini. Berikut beberapa hasilnya.

Jenis media dan bentuk kontak kerja



Jurnalis di Sulut saat ini paling banyak bekerja di media siber. Hal ini seiring dengan semakin berkurangnya perusahaan pers yang menerbitkan media cetak, dan masih kurangnya stasiun televisi serta radio di Sulut.

Fenomena yang menarik, beberapa jurnalis di Sulut mengaku bekerja di media non mainstream dengan memanfaatkan media sosial seperti channel Youtube, Instagram dan Facebook.

Hasil survei memberikan gambaran bahwa jurnalis di Sulut pada umumnya bekerja tanpa mempunyai kontrak kerja (49%), dan ada 7,2% yang pernah punya kontrak kerja.

Pertanyaan yang perlu digali lebih lanjut adalah, apakah lama bekerja di media dan kebiasaan berpindah media punya korelasi dengan kontrak kerja? Bagaimana menjamin keselamatan dan keamanan dari perusahaan media jika tidak ada kontrak kerja?






Badan hukum dan tim legal



Seluruh responden yang disurvei mengaku bahwa media tempatnya bekerja sudah memiliki badan hukum. Ini mengindikasikan hal yang positif, bahwa media di Sulut beroperasi secara legal sesuai UU Pers.

Lebih dari setengah media di Sulut juga sudah menyediakan tim legal.








Serikat pekerja



Hanya 28,2% responden yang bergabung di serikat pekerja pada perusahaan media tempatnya bekerja. Hampir setengah tidak bergabung serikat pekerja sama sekali (47.4%).

Yang perlu jadi sorotan adalah bagaimana jurnalis menyelesaikan masalah terkait ketenagakerjaan jika tidak bergabung dengan serikat pekerja?






SOP meliput di wilayah berisiko



Secara umum jurnalis di Sulut mengaku bahwa media tempatnya bekerja menyediakan SOP atau protokol yang mengatur liputan di wilayah beresiko, dan hanya 14,5% yang tidak punya SOP.






Asuransi dari media



Lebih dari 50% responden mengaku bahwa media tempatnya bekerja menyediakan asuransi terkait kerja jurnalistik. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar media di Sulut peduli dengan proteksi jurnalisnya.

Namun yang perlu dicermati, tidak diketahui jenis asuransi seperti apa yang dimaksud oleh responden.






Ditugaskan di wilayah berisiko



Sebanyak 35,5 persen jurnalis di Sulut tidak pernah meliput di wilayah berisiko, dan hanya 7,3% yang sering bertugas di liputan berisiko.






Pernah menolak liputan berisiko



Jika ditugaskan meliput di wilayah yang berisiko, rata-rata jurnalis di Sulut tidak pernah menolak penugasan tersebut. Hanya satu persen yang selalu menolak.






Pelatihan tentang keselamatan dan keamanan



Rata-rata jurnalis di Sulut belum pernah mengikuti pelatihan tentang keselamatan dan keamanan (51,8%), namun ada 10% jurnalis yang beberapa kali mengikuti pelatihan soal isu ini.






Media menggelar pelatihan



Rata-rata media tempat jurnalis di Sulut bekerja tidak pernah menggelar pelatihan soal keselamatan dan keamanan saat meliput. Namun ada 9,1 persen yang beberapa kali menggelarnya.






Lembaga penyelenggara pelatihan



Responden yang menjawab pernah ikut pelatihan, terbanyak ikut saat organisasi profesi dimana dia bergabung menggelar pelatihan soal keselamatan dan keamanan. Namun banyak pula yang ikut pelatihan di organisasi profesi lainnya dan di lembaga lain seperti PPMN dan LBH Pers.






Bergabung di organisasi jurnalis



Sebanyak 16,4 persen jurnalis di Sulut tidak bergabung dengan organisasi profesi maupun organisasi perusahaan pers apapun. Organisasi profesi jurnalis terbesar di Sulut adalah PWI (47,3%) lalu AJI dan IWO.




Pemantauan redaksi



Hampir seluruh responden mengaku bahwa saat ditugaskan liputan berisiko, redaksi melakukan pemantauan. Ini mengindikasikan kesadaran ruang redaksi atas keselamatan dan keamanan jurnalis yang ditugaskan.






Peralatan liputan



Masih banyak perusahaan media di Sulut yang tidak menyediakan peralatan memadai saat menugaskan jurnalisnya meliput di wilayah berisiko (31,6% tidak sama sekali dan 38,8% kadang-kadang menyediakan)

Hal yang menarik perlu ditelusuri lebih lanjut adalah bagaimana jurnalis melengkapi dirinya dengan peralatan yang memadai jika redaksi tidak menyediakannya?

Responden yang pernah meliput di wilayah berisiko atau pernah meliput isu yang berisiko, ditanyakan beberapa hal tentang aspek keselamatan dan keamanan.

Hasil ini merepresentasikan situasi jurnalis di Sulut yang meliput isu berisiko.

Jenis liputan


Bencana alam merupakan liputan berisiko yang paling sering dikerjakan, menyusul kerusuhan massa, kasus politik dan kecelakaan atau musibah.



Skala risiko


Saat ditanyakan soal skala risiko risiko liputan yang pernah mereka kerjakan, rata-rata responden menganggap bahwa liputan-liputan berisiko punya skala yang tinggi.



Pihak yang diberitahu


Responden ditanya siapa saja yang diberitahukan mereka saat mereka mengerjakan liputan berisiko. Keluarga terdekat adalah orang yang paling pertama diberitahu saat jurnalis di Sulut melakukan liputan berisiko (21,9%). Pihak berikutnya adalah sesama jurnalis dan pimred atau redpel.

Yang menarik, pengurus organisasi jurnalis juga diberitahu.






Seberapa sering memberitahu



Adapun intensitas memberitahu saat liputan berisiko cukup tinggi. Meski beberapa jurnalis tidak memberitahu sama sekali atau jika ingat baru memberitahu.






Persiapan yang dilakukan



Dari opsi pilihan jawaban yang diberikan, rata-rata jurnalis di Sulut mempersiapkan fisik/kesehatan, perangkat digital dan rencana mitigasi serta kesiapan mental sebelum turun meliput liputan berisiko.



Persiapan yang dilakukan juga rutin dilakukan baik persiapan fisik/kesehatan, mental, maupun kesiapan perangkat digital.




Responden yang mengaku pernah meliput di wilayah berisiko atau isu yang sensitif, ditanyakan soal kesiapan aspek fisik yang mereka lakukan. Berikut ini hasil dari survei yang bisa dianggap sebagai representatif dari kondisi jurnalis yang ada di Sulut.

Dari beberapa point pertanyaan soal protokol keselamatan fisik, ternyata masih sedikit jurnalis di Sulut yang mengecek golongan darah atau alergi sebelum melakukan liputan berisiko (persentase paling rendah dalam survey ini).

Hal yang paling sering dilakukan adalah mencari tahu informasi soal lokasi, menyediakan pakaian khusus, profiling narsum, dan menimbang nilai berita.


Namun persiapan fisik meliput isu berisiko itu tidak dilakukan secara rutin. Beberapa jurnalis mengaku hanya kadang-kadang melakukannya bahkan ada yang tidak lagi melakukannya secara rutin.

Responden yang mengaku pernah meliput di wilayah berisiko atau isu yang sensitif, ditanyakan pula soal kesiapan aspek keselamatan digital yang mereka lakukan.

Berikut ini hasil dari survei yang bisa dianggap sebagai representatif dari kondisi jurnalis yang ada di Sulut.

Protokol keamanan digital


Dari aspek keamanan digital, dapat dikatakan bahwa kesadaran mengamankan aset-aset digital sudah selalu dilakukan oleh jurnalis di Sulut yang meliput di wilayah berisiko atau liputan isu sensitif. Tapi masih terdapat pula yang hanya kadang-kadang bahkan tidak pernah melakukannya.


Responden yang mengaku pernah meliput di wilayah berisiko atau isu yang sensitif, ditanyakan juga soal kesiapan aspek keselamatan psikososial yang mereka lakukan.

Berikut ini hasil dari survei yang bisa dianggap sebagai representatif dari kondisi jurnalis yang ada di Sulut.

Protokol keamanan psikososial



Dibanding dengan aspek keamanan fisik dan aspek keamanan digital, aspek keamanan psikososial masih banyak jurnalis di Sulut yang mengabaikan persiapannya saat melakukan liputan berisiko atau isu sensitif.

Survei menanyakan kepada responden 5 hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan liputan berisiko. Dan dari 5 hal tersebut masih cukup banyak jurnalis yang tidak pernah mempersiapkannya sama sekali.

Survei juga menanyakan soal kejadian atau potensi kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut. Bagian ini menjadi penting untuk mengetahui seberapa rentan jurnalis di Sulut terutama yang meliput di wilayah berisiko atau isu sensitif mengalami kejadian kekerasan.

Kejadian kekerasan


Jurnalis di Sulut sering mengalami kekerasan saat menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Lebih dari setengah responden mengaku mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, dan hanya 37,7% yang tidak pernah mengalaminya. Bahkan ada 1,9% yang sering mengalami tindakan kekerasan.


Bentuk kekerasan

Adapun bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh jurnalis di Sulut adalah tindakan pengusiran atau pelarangan liputan. Lalu menyusul intimidasi dan ancaman atau teror.

Dari jawaban responden terlihat bahwa bentuk kekerasan jurnalis di Sulut sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan digital maupun kekerasan yang berkaitan dengan hukum.


Pelaku kekerasan


Adapun pelaku kekerasan yang dingat oleh responden adalah orang yang tidak dikenal (termasuk preman) menjadi pelaku kekerasan terbanyak. Setelah itu ada pejabat, polisi dan ormas.


Kekerasan Seksual


Hanya 6,8 persen responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Namun hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut apakah jurnalis di Sulut paham tentang bentuk kekerasan seksual?




Pelaku kekerasan seksual


Terhadap responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, ditanyakan siapa pelakunya. Dan orang yang tidak dikenal serta pejabat menjadi pelaku kekerasan yang paling sering melakukannya.

Koordinator Liputan: Ronny Adolof Buol (Zonautara.com)

Angoota Tim:

– Bahtin Razak (Gosulut.com)
– Marshal Datundugon (Pantau24.com)
– David Sumilat (Bfox.co.id)
– Fandri Mamonto (Torangpeberita.com)
– Anggie Mamonto (Kilastotabuan.com)

Enemurator lainnya:
– Supriyanto
– Dadang Djabu
– Jufri Kasumbala
– Nux Buhang
– Saiful Tontoli