Felix Rega (65) mengumbar senyumannya, saat menerima kedatangan kami, Senin (13/3/2017). Siang itu ia menghabiskan waktu di rumah kakaknya, Marifa Rega (67).
Selain dia dan Marifa, tiga lagi saudara kandung mereka pernah terjangkiti bakteri Mycobacterium leprae. Penyebab penyakit kusta. Ayah mereka juga mengidap penyakit yang pernah sangat ditakuti ini.
Mereka menempati sebuah lembah yang saat pertama kali mereka datangi memang dikhususkan untuk menampung bekas pasien Rumah Sakit Kusta. Lokasi itu berada di Kelurahan Pandu, Lingkungan II, Kecamatan Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara.
Walau kini Felix dan sekitar 20 Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) yang tersisa telah berbaur dengan masyarakat lainnya, ekspresi traumatik terpancar dari wajahnya saat dia bertutur masa-masa kelam.
“Dulu kami ada 108 orang yang direlokasi kesini saat rumah sakit kusta di Malalayang ditutup. Pemerintah menyediakan tempat tinggal bagi kami di sini, karena kami tidak diterima jika pulang ke kampung,” cerita Felix.
Stigma yang salah telah memicu lepraphobia (ketakutan yang berlebihan terhadap kusta atau keberadaan penderita kusta) di masyarakat. Stigma bahwa kusta adalah penyakit kutukan, akibat perbuatan dosa dan sulit disembuhkan telah membuat para penderita dikucilkan.
“Tahun 1986 kami dipindahkan di lembah ini. Pemerintah bangun rumah sederhana buat kami. Ini dulu masih hutan, tidak ada yang menempati. Tapi orang kampung takut dengan kehadiran kami,” tutur Felix.
Lokasi penampungan OYPMK di Pandu itu diberi nama Lembah Nugraha Hayat. Penempatan di satu tempat itu membuat mereka dilabeli sebagai “orang lokasi” sekedar penanda bahwa Felix dan teman-temannya adalah bekas pasien kusta.
Keberadaan OYPMK di lokasi itu mendapat tentangan warga kampung. Lepraphobia memicu kebringgasan untuk mengusir orang lokasi.
Felix mengenang, suatu hari mereka pernah dikepung oleh orang kampung. Rumah mereka dibakar. Gudang perbekalan yang disediakan oleh pemerintah ikut pula dibakar bersama isinya. Orang kampung menginginkan mereka keluar dari lokasi itu.
“Dinding rumah saya yang terbuat dari tripleks dihantam dengan balok. Jebol. Orang di luar sudah banyak, ada yang bawa senjata tajam. Saya keluar dan menghadapi mereka. Saya bilang, kami juga tidak ingin ada di sini, tapi pemerintah yang bawa kami ke sini. Jika kalian ingin menghanguskan tempat ini, silahkan, tapi ijinkan kami bawa barang-barang milik kami,” kisah Felix dengan ekspresi sedih yang tidak bisa disembunyikannya.
Padahal, 108 OYPMK yang direlokasi ke Pandu itu sudah benar-benar sembuh. Felix sendiri kawin dengan istrinya yang juga merupakan OYPMK. Dari pernikahan itu, dia dikarunia tiga orang anak, dan sudah punya cucu.
“Tidak ada satu pun anak dan cucu saya yang mengidap kusta hingga saat ini. Ya itu, karena kami sudah sembuh dan bakteri itu tidak akan menular jika sudah diobati,” kata Felix dengan mantap.
Lewat beberapa program pendampingan, terutama yang dilakukan oleh Netherlands Leprosy Relief (NLR), sebuah lembaga pengendalian kusta dari Belanda, kini Felix dan sesama OYPMK sudah bisa lebih terbuka dan diterima oleh masyarakat sekitarnya.
“Kalau dulu mereka anggap kami ini ancaman, dikucilkan, tapi sekarang orang kampung malah sudah banyak yang kawin dengan keluarga kami,” tambah Marifa sambil tertawa.
Project Koordinator NLR Indonesia di Sulut, Rein Tampi mengakui bahwa hal yang paling sulit dilakukan dalam pengendalian kusta adalah tantangan menghilangkan stigma yang terlanjur melekat di masyarakat.
“Jangankan masyarakat umum, bahkan banyak petugas medis dan dokter pun masih enggan bersentuhan dengan orang penderita kusta,” kata Rein.
Dari data yang ada di NLR Indonesia, dalam 10 tahun terakhir (hingga 2015), jumlah penderita baru kusta di Manado menunjukan trend penurunan signifikan. Pada tahun 2015 jumlah penderita baru kusta ada pada angka 152 penderita. Angka itu menurun separuhnya pada tahun 2015 yang tinggal 87 penderita.
Walaupun angka new case detection rate (NCDR) di Manado belum mencapai target dibawah 10 per 100.000 penduduk untuk dikategorikan sebagai daerah low burden, namun grafik NCDR dari 2005 terus menunjukkan trend penurunan.
NCDR pada tahun 2005 ada pada angka 36, dan menurun lebih dari separuhnya pada angka 16 pada tahun 2012 hingga 2014, dan pada 2015 ada pada angka 19.
“Provinsi Sulawesi Utara masih masuk dalam daftar 14 provinsi dengan beban kusta tinggi. Pada tahun 2015, Sulut mengoleksi 413 penderita terdaftar dan ada 428 penderita baru yang terdata,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut dr. Debbie Kalalo, MSc.PH.
Salah satu dokter konsultan kusta di Indonesia yang ada di Sulut, dr. Steaven Dandel, MPH mengakui tak gampang untuk keluar dari daftar beban kusta tinggi itu. Padahal obat penyakit ini sudah tersedia gratis di semua puskesmas.
Pelibatan OYPMK seperti Felix dan rekan-rekan lainnya dalam setiap upaya penyuluhan kepada masyarakat, dapat memberi keyakinan bagi keluarga yang punya anggota penderita kusta untuk tidak malu datang melapor untuk segera ditangani.
“Dulu saya malu, tetapi sekarang tidak. Kami sudah seperti orang biasa saja, walau masih banyak juga yang takut mendekat kalau tahu kami OYMPK,” ujar Felix dengan senyuman.
Telusuran lainnya mengenai topik ini bisa dibaca di Melawan Stigma Kusta.
Baca pula liputan mendalam lainnya yang ditulis oleh Ronny A. Buol.