Gelengan pelan wajah dr. Steaven Dandel, MPHÂ mengisyaratkan rasa pesimitis Sulawesi Utara terbebas dari daftar provinsi dengan jumlah penderita kusta tinggi.
Pemerintah menargetkan, tahun 2019, seluruh provinsi di Indonesia mencapai eliminasi kusta. Target elimasi itu dilihat dari pencapaian prevalansi kusta per 10.000 penduduk yang harus dibawah angka 1.
Sulawesi Utara bersama 14 provinsi lainnya, belum bisa mencapai angka dibawah 1. Hingga tahun 2015, prevalansi Sulut berada di angka 1,7 sedangkan new case detection rate (NCDR) ada pada angka 18.
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi dua kelompok yaitu beban kusta tinggi dan beban kusta rendah jika NCDR dibawah 10 per 100.000 penduduk.
“Untuk menurunkan angka prevalansi 0,1 saja dari tahun sebelumnya, butuh upaya yang tidak mudah. Saya rasa mustahil Sulut bisa mengeliminasi kusta pada tahun 2019 sebagaimana target pemerintah,” ujar dr Steavan, Selasa (15/3/2017).
Dari data yang dimiliki oleh Netherlands Leprosy Relief (NLR)selama 10 tahun terakhir hingga 2015, rata-rata penderita baru di Sulut sebanyak 414 penderita. Artinya, bakteri Mycobacterium leprae yang menyebabkan penyakit kusta terus menjangkiti.
Dari olah data, terlihat grafik jumlah penderita baru kusta di Sulut cenderung stabil dan tak pernah turun dibawah angka 300 penderita baru per tahun. Angka NCDR pun hanya menurun tipis dari angka 23 pada tahun 2005 menjadi 18 pada tahun 2015.
“Penderita kusta tersebar di semua kabupaten/kota di Sulut. Butuh upaya lebih untuk menjangkau para penderita karena stigma negatif yang terlanjur melekat pada penyakit itu,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut dr. Debbie Kalalo, MSc.PH.
Saat ini semua Puskesmas telah dilengkapi dengan obat kusta bagi penderita yang ingin menjalani terapi multidrug (MDT). Obat MDT itu disediakan gratis tanpa dipungut biaya apapun.
TERABAIKAN KARENA STIGMA
Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan provinsi, secara rutin dan terus menerus juga mempersiapkan dokter dan tenaga medis serta petugas di Puskesmas untuk menangani para penderita. Harapannya mata rantai penyebaran bakteri kusta bisa diputus.
“Tetapi memang tidak gampang. Stigma negatif telah membuat para penderita seolah terabaikan. Grafik jumlah penderita baru itu lebih mencerminkan fenomena resource daripada fenomena epidemis,” jelas dr Steaven yang merupakan salah satu dokter konsultan kusta di Indonesia.
Project Koordinator NLR Indonesia di Sulut, Rein Tampi yang telah bekerja sejak tahun 1979 dalam upaya pengendalian kusta juga mengakui tidak gampang menghilangkan stigma negatif itu.
Penyakit ini dianggap sebagai kutukan, karena pada penderita yang kronis bisa mengakibatkan cacat fisik di wajah dan kulit yang buruk. Mata tak bisa menutup karena syaraf terganggu, jari tangan atau kaki bengkok, serta luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa.
Kondisi fisik serta stigma negatif itu tak pelak, membuat para penderita dicemooh bahkan dikucilkan dan diasingkan. Keluarga sendiri pun merasa aib jika ada anggota keluarga yang menderita kusta.
Akibatnya banyak penderita kusta yang tak bisa berkembang, secara sosial mereka termarjinalkan dan secara ekonomi terpasung oleh karena ketakutan masyarakat akan penyakit yang mereka derita.
“Saya sudah 37 tahun berkeliling hingga ke daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau mencari para penderita. Berinteraksi dengan mereka. Tapi hingga sekarang saya tetap sehat,” kata Rein yang saat ini sudah berusia 72 tahun.
Derita termarjinalkan itu juga membekas pada Wempie Kaunang (59), Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) –sebutan untuk eks penderita kusta–. Dia masih ingat betul, bagaimana kondisi tangannya yang cacat begitu ditakuti orang.
“Dulu saat mau naik angkot yang menunggu penumpang, sopir akan bilang kalau dia tidak jadi jalan dan penumpang yang sudah ada di dalam angkot turun. Tapi saat saya menjauh, penumpang itu naik ulang dan angkot itu segera pergi,” cerita Wempie.
Padahal Wempie telah sembuh total. Bekas serangan bakteri kusta membekas di jemarinya yang cacat dan kakinya yang kini harus memakai kaki palsu. Dia telah menikah dan dikarunia dua orang anak serta satu cucu. Tidak satupun dari istri dan anak serta cucunya yang tertular kusta. Pun demikian dengan delapan adik-adiknya.
“Kusta tidak mudah menular, seperti yang dibayangkan banyak orang. Apalagi jika penderita telah berobat. Kesulitan penanganan penyakit ini lebih disebabkan karena stigma negatif itu tadi,” jelas dr Steaven yang juga sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Sulut.
Walau kini, pandangan masyarakat mulai berubah seiring dengan berbagai penyuluhan kesehatan soal kusta terus dilakukan, serta interaksi para OYPMK dalam berbagai kegiatan, namun dalam beberapa kasus, perlakukan diskriminatif masih diterima oleh penderita.
TR (27), seorang ibu rumah tangga dengan satu anak harus menerima kenyataan pahit, kala diberhentikan dari tempatnya bekerja di Manado saat dia didiagosa kusta pada Desember 2016. Padahal dia sudah bekerja di swalayan besar di Manado itu selama 5 tahun.
“Dokter perusahaan memeriksa saya, karena wajah saya menunjukkan kelainan. Saat hasil pemeriksaan laboratorium keluar, saya diberhentikan,” keluh TR.
Kini TR mendapat penanganan medis di Puskesmas Bahu, Kecamatan Malalayang, Manado. Pengobatan yang segera bisa mencegah TR dan penderita lainnya tidak mengalami cacat. Beruntung, suami TR bisa menerima dan memahami kondisinya.
“Dia sudah tahu, saya tidak akan menularinya,” ujar TR.
KENALI KUSTA, JANGAN KUCILKAN MEREKA
Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman Mycobacterium leprae sebagai penyebab kusta. Karena disebabkan oleh kuman, kusta tidak turun menurun, bukan karena kutukan atau dosa.
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dan menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Bila tidak ditangani, kusta akan sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, serta anggota gerak dan mata.
Kuman penyebab kusta menular kepada manusia melalui kontak langsung dalam jangka waktu yang lama dengan penderita dengan proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun.
Tanda-tanda seseorang menderita kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ada bagian tubuh tidak berkeringat, muka benjol-benjol dan tegang.
“Bercak pertama saya ada di bokong, didaerah tertutup, jadi saya tidak tahu, sampai mulai rasa kaku dan hilang rasa, lalu wajah mulai kemerah-merahan,” ujar TR saat menceritakan awal dia terkena kusta.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya penyertaan penyakit lain yang dapat menekan sistem imun.
Dari data NLR Indonesia, sejak tahun 1979 hingga tahun 2014, ada sebanyak 14.542 kasus kusta di Sulut yang sudah selesai berobat dan dinyatakan sembuh.
“Dana NLR Indonesia datang dari para donatur di Belanda. Di sini kami bekerjasama dengan pemerintah khususnya Dinas Kesehatan untuk menangani penyakit ini. Walau sokongan dana terus menurun, namun kami berharap, program ini masih akan terus berlanjut,” jelas Rein.
Masalah dana memang menjadi salah satu persoalan utama penanganan kusta. Dukungan dana dari APBN dan APBD sangat kecil. Hal ini mungkin karena penderita kusta yang dianggap kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya.
“Saat ini dalam setahun kami cuma dapat suplai biaya operasional yang sangat kecil. Tidak sampai sejuta per desa per tahun. Dana APBD apalagi, kecil sekali. Padahal dalam setahun, kami harus berkunjung empat kali ke setiap desa yang tercakup dalam program Bina Desaku,” jelas Pelaksana TB/Kusta Dinas Kesehatan Minahasa Utara Youla Mamesah, yang juga merupakan wasor supervisor kusta di Minahasa Utara.
Dengan mengenali gejala-gelaja penyakit kusta, dan segera mengambil tindakan untuk menghubungi petugas kesehatan terdekat di Puskesmas, diharapakan dapat menurunkan jumlah penderita baru.
Menerima penderita kusta dan OYPMK tanpa mengucilkan mereka, dan membuang jauh-jauh stigma negatif kusta akan sangat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penanganan penyakit ini.
Telusuran lainnya mengenai topik ini bisa dibaca di Melawan Stigma Kusta.
Baca pula liputan mendalam lainnya yang ditulis oleh Ronny A. Buol.