MANADO. ZONAUTARA.COM – Selasa (23/5/2017), Pemerintah Filipina memberlakukan status darurat militer pasca aksi bersenjata jaringan kelompok Maute terkait ISIS di Kota Marawi, Filipina Selatan. Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri pun bereaksi cepat mengimbau kewaspadaan semua WNI baik yang berada di Filipina dan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang merupakan tetangga terdekat. Sebahaya apa susungguhnya kawasan perbatasan Indonesia-Filipina?
Berikut catatan Iverdixon Tinungki yang dirangkum dari berbagai sumber.
Sebuah Drone kini mengudara di kawasan perbatasan Indonesia-Filipina. Peralatan canggih yang berfungsi sebagai pengintai itu dioperasikan Sejak Rabu, (31/5/2017) atas bantuan Gubernur Sulut Olly Dondokambey untuk membantu tugas TNI di pulau Miangas, sebagai wilayah perbatasan RI-Filipina pasca serangan di Kota Marawi.
Pangdam XIII/Merdeka Mayjen Ganip Warsito mengatakan pihaknya telah siap mengantisipasi kemungkinan kelompok militan Maute dan ISIS melarikan diri ke wilayah perbatasan. Sementara pemerhati masalah perbatasan Sulawesi, Pitres Sombowadile menyatakan kekhawatirannya atas kondisi kawasan perbatasan yang dinilainya sebagai wilayah yang sangat terbuka, berpori-pori dan rentan menjadi tempat transit untuk masuk ke wilayah Indonesia.
Kawasan perbatasan Indonesia-Filipina dari sejumlah catatan sejak dulu memang dikenal sebagai zona “panas” aktivitas bersenjata dan kejahatan transnasional. Kawasan ini dikenal sebagai daerah yang sering dimanfaatkan sebagai lintasan teroris, aksi penyeludupan barang dan senjata, serta lintas batas ilegal.
Sejak era kerajaan-kerajaan Sangihe di Abad ke 16, pulau-pulau di kawasan Sangihe Talaud sudah menjadi ajang para perompak Lanun, dari Filipina Selatan. Serangan-serangan bajak laut itu begitu menakutkan, karena selain menjarah harta benda, mereka juga membunuh penduduk, memperkosa para wanita.
Sejumlah perang pernah terjadi antara perompak dan pihak kerajaan, bahkan untuk kawasan pulau-pulau terluar di Talaud, penduduk meminta bantuan armada laut Belanda untuk menghadapi serangan dari bajak laut Mindanao. Serangan di Pesisir timur dan barat pulau Karakelang di era penjajahan Belanda tercatat memakan banyak korban di pihak penduduk dan bajak laut. Bahkan dalam serangan itu pemimpin angkatan laut Belanda Laksamana Joly ikut gugur dengan beberapa anggota pasukannya. Laksamana Joly, oleh penduduk, dimakamkan di Pulau Nusa Dalam. Itu sebabnya hingga kini pulau Nusa dalam disebut Pulau Joly.
Dalam operasi “Sintuwu Maroso” (operasi pemulihan keamanan Poso) yang digelar Kodam VII Wirabuana sejak 14 Juli 2005 hingga 14 Januari 2006, sebagaimana dilansir Tabloid Zona Utara edisi Februari 2006, terjaring 219 senjata api organik dan rakitan, 1.327 butir peluru, 12 bom, 5 granat. Senjata dan bahan peledak itu sebagaimana ungkap Mayjen TNI Arief Budi Sampoerna waktu itu, disinyalir berasal dari Filipina. Ia mengatakan, pasokan senjata ke daerah-daerah konflik di Indonesia berasal dari Filipina melalui pulau-pulau kecil di Sangihe Talaud dan dari pintu masuk pulau Miangas dan Marore.
Sementara data yang dilansir detiknews 4 April 2016, dalam menguak jejak teroris Santoso dan kelompok radikal di Moro Filipina juga menarik dicermati. Situs berita itu menulis, “Pimpinan kelompok teroris MIT, Santoso alias Abu Wardah memiliki hubungan dengan kelompok radikal MILF (Moro Islamist Liberation Front) yang berbasis di Moro, Filipina.”
Informasi itu diperoleh dari salah satu tersangka teroris yang sudah tertangkap yakni Iron. Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Rudy Sufahriadi kepada detikcom (3/4/2016), mengatakan senjata yang dipasok ke Santoso itu berasal dari kelompok Anshorut Khilafah, salah satu pecahan kelompok MILF di Filipina.
Iron sendiri diberitakan tertangkap di Manado saat sedang transit hendak menuju ke Filipina untuk mengambil senjata api yang dipesan Santoso, antara lain 2 pucuk M16 Baby, sepucuk senjata sniper, 2 pucuk senjata api Uzi dan sejumlah amunisi senilai total Rp 220 juta.
Iron disebut mendistribusikan pasokan senjata api tersebut dikirim dari Filipina ke base camp Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, lewat jalur laut melalui Kota Manado.
Situs berita itu juga menyebutkan sebelum tertangkap, Iron berhasil menyelundupkan pasokan senjata api kepada Santoso yang berada di hutan di Poso. Senjata api dan sejumlah logistik lainnya, yang pernah ia pasok di antaranya sepucuk M16 baby berikut 4 magasen, 200 butir peluru senjata M16, sepucuk senjata Barret 50 Sniper SN No 241586, 20 butir peluru M50, satu buah granat nanas, 1 buah roket mini Bukttap dengan kode Ava 0069-89, 16 butir amunisi yang ukurannya lebih kecil dari amunisi FN 45.
Persoalan lain yang masuk skala kejahatan transnasional di kawasan perbatasan Indonesia-Filipina dalam kurun 10 tahun terakhir diantaranya aksi pencurian ikan. Dari data yang sempat dirilis Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe, aksi pencurian ikan oleh kapal asing di kawasan laut perbatasan itu diperkirakan mencapai 40 ribu ton pertahun.
Masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Lipang, Matutuang, Kawio juga punya kisah miris akibat aksi bersenjata yang menyerang penduduk dan mata pencaharian mereka seperti rumpon.
“Kami sangat takut bila membayangkan bahaya yang selalu mengincer kami ini,” ungkap Alfredo Sabu, warga Pulau Matutuang.
Sekelumit fakta-fakta di atas setidaknya telah mengungkap betapa terbukanya kawasan perbatasan Indonesia-Filipina baik oleh aktivitas bersenjata dan kejahatan transnasional. ***
Simak liputan tematik kami: Beranda Depan itu Bernama Perbatasan.