MANADO, ZONAUTARA.com – Perayaan pengucapan syukur merupakan tradisi orang Minahasa sejak lama. Denni Pinontoan, pegiat budaya Minahasa mengatakan, tradisi pengucapan syukur sangat berhubungan dengan tarian Maengket.
“Disaat pengucapan syukur, ada pagelaran seni seperti Maengket. Pengucapan syukur memang identik dengan ekspresi bahwa mereka diberkati, sebagai wujud syukur kepada Tuhan, karena itu mereka mewujudkan pemberian yang terbaik bagi Tuhan,” ujar Pinontoan.
Setelah kekristenan masuk ke tanah Minahasa, pengucapan syukur akhirnya dijadikan acara gerejawi. “Ini ucapan syukur untuk Opo Empung yang memberi berkat pada orang Minahasa kemudian diekspresikan dalam perayaan,” katanya.
Dia menceritakan, dulu pengucapan syukur dikenal dengan ritual panen. Informasi dari orang-orang tua dulu, sejak kekristenan masuk tanah Minahsa, tradisi tersebut diambil alih gereja.
“Pengucapan syukur pada 1980-1990 kemudian menjadi inisiatif masyarakat melalui BKSAUA. Pengucapan memrupakan usulan dari masing-masing kampung melalui tokoh agama. Pemerintah tidak intervensi terkait waktu pelaksanaan, apalagi saat itu Minahasa masih satu,” jelasnya.
Dijelaskannya, pengucapan syukur pada awalnya tidak dilakukan per daerah seperti sekarang. “Dulu kalau desa A panen cengkih, mereka langsung melakukan pengucapan syukur. Jadi menyesuaikan dengan panen cengkih,” ujarnya.
Karena sudah mengenal Kristen, pengucapan syukur akhirnya dibuat di gereja. Di beberapa kampung, pengucapan syukur membawa bahan inatura ke gereja seperti jagung, beras, cengkih, dan bahan inatura lainnya.
Hanya saja, ada di salah satu jemaat di Motoling, karena banyak masyarakat yang mencari nafkah dengan membuat captikus, itulah yang dibawah ke gereja.
“Intinya adalah adalah ungkapan syukur, kebetulan di tadisi Kristen ada dalam bentuk persembahan. Jadi adanya kebiasaan open house sekarang, ternyata sudah dimulai sejak lama. Saudara dari luar kota atau kenalan yang dari jauh dating berkunjyng saat pngucapan syukur,” jelasnya.
Reporter : Eva Aruperes