Oleh Amato Assagaf
Yang cerdas dari Manado Cerdas adalah ia terlalu cerdas untuk mencerdaskan. Bagaimana bisa? Pertama, kecuali pada saat kampanye pemilihan walikota Manado yang baru lalu, program ini tidak pernah jelas ada dan tidaknya. Cerdasnya, ia bisa menyelinap pergi begitu saja tanpa terasa sebagai sebuah janji politik yang “sedang” tidak ditepati.
Kedua, jika program ini memang ada maka ia terlalu cerdas untuk bisa terdengar telinga warga kecil di Manado atau sekilas tampak bagi mata mereka. Kemungkinannya, sebagai sebuah program, ia diproses dan dilaksanakan di atas angin. Artinya, ia terlalu jauh dari tanah tempat berpijak orang banyak. Semacam mengingat kembali cerita mengenai intelektual yang disebut sebagai kelompok orang cerdas yang berumah di atas angin.
Persoalannya, pemerintahan Vicky Lumentut babak kedua terlalu senyap bagi minat kita akan kecerdasan pemerintah kota dan selalu lenyap dari hadapan harapan kita akan pembangunan. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah kota Manado selalu bergerak dari ribut-ribut menuju kepelenyapan yang mencengangkan. Ambil sebagai contoh, persoalan dana banjir.
Setelah orang berkampung-kampung dibikin senewen dengan pengurusan data kerusakan akibat banjir yang selalu harus dilaporkan ulang setiap ada pergantian kepala lingkungan, kita tiba-tiba mendengar nyanyi bisu program itu. Tak ada lagi yang membicarakannya. Dan ketika pala’ ke rumah saya, alih-alih memberitahukan soal berapa duit yang akan saya terima, dia justru datang menanyakan faktur pajak.
Maka jelas, Manado Cerdas bukan satu-satunya yang telah hilang dari kerja pemerintahan kota kita saat ini. Dan, kemungkinan besar, bukan pula satu-satunya yang akan hilang. Lalu, pertanyaannya, kenapa begitu? Ada yang bilang bahwa walikota kita, pemerintahannya dan, dengan begitu, seluruh kebijakannnya telah dibisukan oleh gubernur kita.
Ini persoalan di tingkat nasional yang berimbas ke daerah, katanya. Pertarungan antara dua tokoh nasional yang terusung oleh dua partai yang kebetulan tergemakan dalam struktur pemerintahan daerah ini. Gubernur orang PDIP, refleksi pemerintah nasional saat ini yang diwakili Jokowi sebagai presiden. Adapun walikota orang Demokrat, pantulan wajah oposisional yang diwakili SBY sang mantan yang selalu merasa dijadikan korban oleh pemerintah hari ini.
Tapi kecurigaan ini sepertinya terlalu fantastik jika dianggap sebagai keterangan atas terlalu senyap dan selalu lenyapnya kebijakan pemerintahan Vicky babak kedua. Setidaknya, ia bisa difalsifikasi oleh kenyataan bahwa sikap senyap melenyap ini sudah menjadi semacam kebiasaan dalam pemerintahan ahli tata kota ini sejak pada babak pertama. Dan pada babak itu, kita tahu, tidak ada gubernur dari partai berbeda dan tidak ada perseteruan di tingkat nasional.
Kedua, kita tidak bisa menjawab persoalan nyata dengan imajinasi. Tapi nanti dulu, bahkan ilmu fisika yang jauh lebih eksak dibanding politik dikembangkan dengan imajinasi. Kuanta Planck, prinsip ketidakpastian Heisenberg, teori atom Bohr dan kucing Schrodinger adalah bukti kekuatan imajinasi dalam fisika kuantum. Belum lagi jika bicara soal imajinasi puitis Einstein yang merombak sejarah fisika.
Apalagi politik, tempat segala sesuatu berlangsung dalam paradoks kepastian akan ketidakpastian. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana pemahaman atas apa yang terjadi di ladang politik dengan imajinasi yang kering. Maka katakan saja, “kita membutuhkan imajinasi dalam menjawab berbagai persoalan politik.”
Baiklah kita boleh dan bahkan harus berimajinasi jika ingin menembus masuk awan gelap politik. Tapi imajinasi tentang pembisuan walikota Manado oleh gubernur Sulut tetap saja terlalu fantastik bagi kenyataan dari persoalan yang tengah kita diskusikan. Lalu imajinasi politik apa yang mestinya kita mainkan dalam hal ini?
Marilah kita lebih dulu berfantasi tentang ketidakpedulian warga Manado yang telah terkenal itu. Ketidakpedulian mereka yang begitu “liberal” ini juga berlaku bagi apapun yang telah, sedang, dan akan dilakukan pemerintah. Marilah kita bayangkan bahwa apa yang membuat Vicky Lumentut ada di kursinya saat ini sebagai walikota Manado merupakan hasil dari pengetahuannya yang sempurna akan sikap dan sifat warganya dalam hal ini.
Warga Manado tidak akan terlalu peduli jika ada program yang dijanjikan saat kampanye hilang ketika pemerintahan telah berjalan. Mereka juga tidak akan terlalu peduli dengan, misalnya, persoalan dana banjir. Kecuali, tentu saja, yang terdampak dengan kebijakan itu. Itupun nantinya akan menjadi tak lagi peduli saat pelenyapan mencapai titik nadirnya.
Lalu imajinasikan bahwa walikota, wakilnya, dan semua perangkat pemerintahan kota lainnya, yang sangat memahami suasana hati warga mereka, akan bergeser pada kebijakan senyap berikutnya. Dan meski itu bukan cara bagi kita untuk mengenali diri sendiri tapi, dalam kedua babak pemerintahan Vicky Lumentut, hal itu sepertinya telah menjadi bagian dari cara pemerintahan mengidentifikasi relasinya dengan warga.
Meski demikian ada yang sesungguhnya menarik dalam arti positif dari ketidakpedulian itu dan pada akhirnya politik senyap melenyap itu. Pertama, warga sipil yang baik, secara psiko-kultural memang adalah warga yang tidak bergantung pada pemerintah mereka. Jadi, jika ketidakpedulian itu adalah sebuah pernyataan independensi maka saya lebih ingin mensyukurinya daripada menguatirkannya.
Kedua, pemerintah yang baik, selalu dan akan selalu, pemerintah yang tidak terlalu banyak campur tangan dalam urusan warganya. Jika politik senyap melenyap Vicky Lumentut datang dari kesadaran ideo-politis seperti ini, maka saya akan memuji pemerintahan ini sebagai pemerintahan terbaik yang pernah saya miliki dalam sejarah kehidupan saya sebagai warga Manado.
Tapi jika keadaan ini hanyalah semacam konsekuensi sistemik dari suatu model berwarga dan berpemerintahan yang memang telah menjadi seperti apa adanya, itu berarti kita harus menghentikan pembicaraan soal Manado Cerdas dan menggantinya dengan pembicaraan soal Manado Cemas.
Manado, Juni 2017
Amato Assagaf secara rutin memberikan kontribusi tulisan-tulisannya dalam berbagai prespektif untuk ZonaUtara.com. Dia juga menulis artikel susastra.
Baca pula tulisan-tulisan lain dari Amato. Dia dapat dihubungi melalui account Facebooknya.