MANADO, ZONAUTARA.com – Bila disuruh bebas memilih, daripada lelah percuma mengajar di sebuah tempat tanpa gaji, bagi orang lain mungkin akan lebih memilih jadi penjual Nasi Jaha yang punya income. Tapi hal itu tak mungkin dilakukan seorang Dientje Kahumata.
Baginya, dunia pendidikan adalah sebuah ruang pengabdian yang tak terbatas. Sehingga kala mendapati kenyataan bahwa pengabdiannya tak akan menerima uang sepeser pun, langkah Dientje tidak surut. Begitulah awal kisah Dientje ketika tahun 1975 dipercayakan sebagai guru Sekolah Minggu di Gereja GMIM Yarden Dendengan Dalam, Manado. Di masa pengabdiannya itu, Dientje terlatih tidak menerima uang sepeser pun dalam kerja edukatif.
Kecintaannya pada bidang pendidikan, mengajari anak-anak menjadi tahu sesuatu, kian tumbuh subur sejak dari masa itu. Tahun 1978 Dientje mengabdi sebagai guru di SD GMIM XII Manado. Kemampuannya bertahan dalam kondisi sulit diuji. Selama dua tahun mengajar, ia tak menerima gaji sama sekali. Namun keinginan untuk mencerdaskan generasi bangsa tak lekang oleh keadaan.
Perempuan kelahiran tahun 1958 ini akhirnya diangkat jadi guru dengan status Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1980. Sejak itu, Dientje baru bisa bernafas lega dan merasakan hasil jerih payahnya sebagai seorang guru. Dia kemudian terus larut dalam petualang profesi guru yang memang sangat dicintainya.
“Pengalaman sebagai guru merupakan hal yang luar biasa. Untuk menjadi guru yang sejati, suka-duka saya lalui dengan tabah dan tak pantang menyerah. Menjadi seorang guru adalah tugas yang paling mulia,” ungkap Dientje.
Tahun 1981, Dientje pun mengajar di SD GMIM XIX Manado dan tahun 198 pindah ke SDN 53 Ranomuut. Kemudian tahun 1988 Dientje ditugaskan di SDN 102 selama lima tahun hingga akhirnya ditugaskan kembali di SDN 53 Ranomuut sampai sekarang.
Diwawancarai wartawan Zona Utara di tempat kerjanya, Dientje bercerita susahnya keadaan saat masih mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang lokasinya kini ditempati Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Setiap hari dia harus bangun subuh untuk membantu ibunya membuat kue Nasi Jaha dan dibawa ke pemesan sebelum sampai ke sekolah. Ada lima tempat yang harus disinggahinya.
“Ada yang masih beroperasi sampai sekarang. Rumah Kopi Tikala,” ingatnya.
Dari hasil jualan Nasi Jaha itulah Dientje mendapat biaya menyelesaikan pendidikan SPG, modal yang mengantarkannya mencintai dunia pendidikan hingga kini.
Editor : Christo Senduk/Rahadih Gedoan