MANADO, ZONAUTARA.com – Indonesia menjadi satu di antara beberapa negara yang jadi penampung eksodus imigran asal Afganistan. Mereka menggunakan perahu atau kapal lalu pergi mencari suaka ke negara-negara pemberi suaka seperti Australia. Yahya seorang di antaranya.
Siswa Kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Manado itu sekarang menjadi penghuni Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado bersama keluarganya dan para imigran lain.
Kepada wartawan Zona Utara, Selasa (5/11/2017), Yahya menuturkan, pengungsian keluarganya serta ratusan warga Afganistan hingga tiba di Indonesia karena menghindari konflik di Afganistan. Yahya lahir di atas kapal yang yang digunakan para pengungsi kabur dari negara asalnya.
“Saya dilahirkan pada tahun 2000 di atas kapal. Saat itu di sekitaran Laut Maluk, Sumbawa. Kapal tersebut baru akan mencapai Sumbawa,” ujar Yahya yang baru saja menyelesaikan ujian semester di sekolahnya.
Merasa tidak memeroleh kejelasan nasib dan keadilan selama berada di Indonesia, sejak tahun 2000 ayah dan ibu Yahya gencar memprotes lembaga dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua adiknya diberi nama Tahanan PBB dan Tahanan PBB Nomor Dua.
“Orang tua kami berikan nama itu agar dunia tahu, kami lahir tanpa merasakan keadilan,” katanya berapi-api.
Meski begitu, Yahya mengatakan bahwa apa pun yang dialami membuat mereka tetap kuat bertahan hingga kini. Kalau diizinkan oleh Yang Maha Kuasa, Yahya ingin menjadi aktivis kemanusiaan yang menyuarakan hak-hak mereka yang tertindas dan yang terlunta-lunta mencari suaka akibat perang.
“Kalau tidak karena pertolongan Yang Di Atas mungkin sudah lama kami habis. Selama ini kami terus tawakal,” imbuhnya.
Saat disinggung soal kewarganegaraan, Yahya katakan dirinya lebih suka jadi warga negara Indonesia. Hanya saja hingga hari ini dia dan orang tuanya masih terus berjuang soal status mereka.
“Saya pribadi ingin tinggal menetap di Indonesia. Tidak tahu dengan kakak, orang tua, dan adik-adik saya,” ujar Yahya.
Yahya juga menuturkan sedikit tentang etnisnya Hazara, yang kebanyakan sering menjadi korban penindasan di Afganistan. Ayahnya seorang Hazara. Fisik orang Hazara nyaris menyerupai orang Tiongkok. Mata mereka sipit.
“Saya wajah saya begini karena sudah ada arabnya. Sebab ibu saya campuran Arab dan Siriah. Ayah saya Hazara,” pungkasnya.
Afganistan Sebuah Medan Derita Hazara
Afganistan dikenal sebagai salah satu negara yang mengalami konflik dan perang berkepanjangan, terhitung sejak 1979 kala tentara Uni Soviet menyerbu negara ini karena konflik politik. Selepas itu, warga Afganistan hidup dalam tekanan berbagai rezim dan kepentingan. Situasi ini, membuat jutaan warga Afganistan harus menyingkir mencari suaka di negara lain.
Bagi yang beretnis Hazara, Afganistan menjelma jadi medan konflik yang membawa penderitaan. Orang-orang Hazara menjadi bulan-bulanan penindasan di negara tersebut. Hazara sering diperlakukan tidak adil oleh rezim Taliban. Rezim itu merupakan sebuah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung etnis Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001.
Kondisi di Afganistan diperparah dengan adanya kampanye Amerika dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organization (NATO), membasmi terorisme di Afganistan sejak Oktober 2001. Perang di Afganistan menjadi hal tak terelakkan dan memakan korban hingga sekitar 30 ribu warga sipil tewas. Belum rumah-rumah serta bangunan yang hancur serta kota dan pemukiman warga yang porak-poranda akibat perang.
Amerika bersama sekutunya berhasil menumbangkan rezim Taliban, serta membuat Organisasi Besar Teroris Dunia, yakni Al-Qaedah harus bersembunyi hingga ke goa-goa, namun teror terhadap warga sipil tidak juga berakhir.
Editor: Rahadih Gedoan