MANADO, ZONAUTARA.com – Polemik soal bakal calon legislatif (bacaleg)dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari kalangan mantan narapidana koruptor, akhirnya diputus oleh Mahkamah Agung (MA).
MA pada putusannya Kamis (13/9/2018) membatalkan pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g Peraturan KPU (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota, serta pasal 60 huruf j PKPU No 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.
Kedua PKPU tersebut menjadi perdebatan luas saat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan nama-nama bacaleg dan bakal calon anggota DPD, yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU.
“Permohonan para permohon dikabulkan dan Peraturan KPU tersebut telah dibatalkan MA,” kata Juru Bicara MA, Suhadi Jumat (14/9/2018), sebagaimana dikutip dari Hukumonline.
Majelis hakim yang memeriksa permohonan ini terdiri dari tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, Supandi dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018 yang dimohonkan Wa Ode Nurhayati dan KPU sebagai termohon.
Menurut Suhadi, kedua Peraturan KPU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Tak hanya itu, lanjut Suhadi, materi kedua Peraturan KPU tersebut, bertentangan dengan Putusan MK, yang telah memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.
Sebelumnya, permohonan uji materi Peraturan KPU ini diajukan sekitar 12 pemohon. Diantaranya dimohonkan oleh Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Wa Ode Nurhayati, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi, dan Ririn Rosiana.
Salah satu pemohon Wa Ode Nurhayati, yang merupakan mantan terpidana kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah, melalui kuasa hukumnya Herdiyan berdalih Peraturan KPU tersebut dianggap bertentangan dengan UU HAM, UU Pemberantasan Tipikor dan UU Pemilu.
“Bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak bisa dibatasi hanya melalui Peraturan KPU,” kata Herdiyan beberapa waktu lalu.
Bawaslu yang meloloskan bacaleg yang dianulir oleh KPU, dianggap mengabaikan dua PKPU tersebut yang spesifik ada larangan nyaleg bagi mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Namun Bawaslu menganggap melarang warga negara menjadi caleg sekalipun mantan narapidana korupsi merupakan tindakan inkonstitusional yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan UU Pemilu. Bawaslu kemudian berharap agar MA memutuskan judicial review dua PKPU tersebut sebagai jalan tengah untuk mengakhiri perdebatan yang selama ini terjadi.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyambut baik dan menghormati putusan MA ini.
“Ini yang ditunggu-tunggu banyak pihak. Kita harus hormati putusan MA ini, dan KPU harus segera melaksanakan putusan MA,” harap Fritz.
Namun Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan bahwa KPU belum menerima salinan putusan MA tersebut.
“KPU belum menerima salinan putusan resmi dari MA sehingga KPU sampai saat ini masih berpegangan bahwa PKPU itu masih berlaku,” kata Pramono di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018) malam, seperti dinukil dari Kompas.com.
Pramono menyebut, KPU belum akan menentukan langkah selanjutnya selama belum menerima salinan putusan MA.
Benteng Pemilih
Pengamat Politik di Sulut, Ferry Daud Liando berpendapat bahwa masyarakat pemilih perlu diberi advokasi agar jangan memilih caleg yang pernah bermasalah dengan hukum sebelumnya.
“Jika perlu membuat format kertas suara yang berisi kode bagi caleg mantan narapidana,” ujar Liando sebagaimana dikutip dari Koran Metro Online.
Soal Pakta Integritas yang diteken partai politik untuk tidak mengusung caleg yang punya masa lalu kelam sebagai koruptor, menurut Liando harusnya dipatuhi oleh Parpol.
“Di UU nomor 2 tahun 2008 tentang parpol sudah jelas bahwa fungsi parpol itu melakukan seleksi uang sifatnya terbuka dan demokratis. Jika saja semua parpol melakukan ini maka tidak mungkin ada caleg bermasalah yang akan lolos,” kunci Liando.
Sementara itu direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengaku terkejut dan sedih mendengar putusan MA tersebut.
Menurut Titi, putusan MA tak seharusnya menghentikan langkah parpol untuk tetap mencegahh eks napi kasus korupsi menjadi caleg.
“Mestinya putusan MA tidak menghalangi parpol untuk mewujudkan semangat dan juga aspirasi besar (anti-korupsi) yang sebelumnya ada dalam PKPU,” terang Titi.
Parpol memiliki wewenang untuk tidak mencalonkan mantan koruptor, meski telah diloloskan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui sidang ajudikasi.
Hingga Senin (10/9) terdapat 38 mantan narapidana korupsi yang diloloskan Bawaslu sebagai bacaleg.
Editor: Ronny Adolof Buol