ZONAUTARA.com – Tipikal mata mereka memang begitu, cipit. Dengan kulit aduhai putih dan mulusnya, mereka terlihat menyolok. Apalagi sering jalan berombongan, dengan tutur bahasa yang cepat. Dialeknya sih tidak asing, sebab di Sulut, etnis Tionghoa cukup banyak.
Tapi kali ini kita tidak sedang bicara soal budaya dan etnis. Itu soal lain. Ini soal kebanggaan Gubernur Sulut Olly Dondokambay. Olly bilang, wisatawan asal Tiongkok kini menjadi prime mover di Sulut.
Klaimnya jelas, saat harga komoditas-komiditas andalan Sulut terjun bebas, sektor wisata menyumbang pendapatan asli daerah yang siginifikan. Tepuk tangan meriah untuk itu.
Olly bilang, itu karena susah payah pemerintah provinsi membuka penerbangan langsung dari tujuh kota di Tiongkok sejak 2016. Lalu membanjirlah turis Tiongkok ke Sulut. Awalnya 19 ribu, lalu naik 100 persen setahun kemudian, dan sekarang baru September saja sudah ada 100 ribu wisatawan Tiongkok ke Sulut.
Hebat memang. Wisata Sulut bergeliat. Berbagai restaurant yang dulunya sudah kolaps, mendapat energi baru dan kini bangkit lagi dengan plang nama bertuliskan aksara Tionghoa. Menunya pun masakan ala Tionghoa.
Bisnis hotel dan penginapan ketiban rejeki yang sama. Berbagai hotel sering full booking dengan rombongan turis Tiongkok. Coba liat, jika dulu di jalanan Kota Manado jarang sekali melihat bus pariwisata, kini ratusan bus wisata modern lalu lalang. Isinya ya om dan tante bermata cipit itu.
Beberapa tempat khusus juga dibangun hanya khusus untuk melayani kedatangan turis Tiongkok itu. Salah satunya di Kalasey, MM Travel namanya. Salah duanya ya di Jendela Indonesia yang punya lahan parkir luas dengan puluhan bus wisata. Ehem, siapa yang punya itu ya?
Tentu kita harus senang dengan situasi ini. Kalau dulu Taman Wisata Alam Batuputih Tangkoko di Bitung didominasi turis asal Eropa, kini semakin berwarna, om dan tante cipit juga kesana. Begitu juga di Taman Nasional Bunaken.
Semestinya seperti klaim Olly, kita harus berbangga. Sulut menggeliat karena sektor pariwisata. Ekonomi Sulut bertumbuh cepat. Persis seperti keinginan Menteri Pariwisata Arief Yahya yang menargetkan 17 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2018. Sektor pariwisata akan mengganti sektor migas sebagai sumber pendapatan utama negara, begitu harapan Arief Yahya.
Tapi itu klaim Olly mesti diuji di lapangan. Terutama di masyarakat destinasi, mereka juga harus menerima limpahan rejeki ini. Kukis mereka harus juga dibeli wisatawan. Home stay mereka mesti disinggahi, dan sablonan kaos mereka harusnya laku.
Ah, tapi tunggu dulu, ini ada satu keluhan dari warga yang berharap om dan tante cipit itu mampir ke warungnya. Bukan tanpa alasan, Henry Johanis ini adalah penggiat ekowisata di kampungnya.
“Seandainya…..” begitu mimpi Henry. Lho koq masih mimpi?. Sama persis dengan mimpi pemilik warung makan dan pemilik perahu yang disewakan di Bolaang Mongondow Timur untuk ke Tanjung Silar dan Tanjung Woka. Tanjungnya saban minggu dikunjungi ribuan orang. Lha kan semestinya bangga.
“Semua yang datang itu orang torang om,” ujar salah satu pemilik warung. Yang dia maksud adalah wisatawan lokal Sulut atau yang mengaku-ngaku wisatawan. Hehehe.
Mungkin Bolaang Mongondow Timur itu terlalu jauh untuk didatangi atau dimasukan dalam itinerary para wisatawan Tiongkok. Kalau begitu benar sudah kata Bupati Sangihe Jabes Gaghana. “Turis Cina itu ndak ada depe dampak kamari, ndak pernah kesini dorang,” ujar Jabes blak-blakan suatu saat ketika saya tanya.
Waduh, lalu siapa yang mendapat dampak dari melimpahnya kedatangan wisatawan Tiongkok itu? Hmmm, lagi-lagi Henry menulis begini:
Hayoo… ini perlu ditelusuri. Om dan Tante cipit, basinggah kwa kamari pa torang leh.