JURNALIS adalah profesi yang unik. Tak perlu sekolah khusus untuk bisa jadi seorang pewarta. Walaupun banyak jurnalis yang menempuh pendidikan formal dulu sebelum menyandang gelar wartawan. Namun lebih banyak yang jadi wartawan tanpa lulus pendidikan khusus jurnalistik. Ilmunya darimana? ya dari belajar otodidak, atau nekat saja jadi wartawan.
Saya salah satunya. Jangankan kuliah di jurusan jurnalistik, saya bahkan tidak pernah berkesempatan kuliah. Pendidikan formal tertinggi saya hanya SMA. Namun, saya telah berprofesi sebagai jurnalis setidaknya sepuluh tahun terakhir.
Dulu, buku adalah sumber utama saya belajar segala ikhwal jurnalistik. Diskusi bersama wartawan lainnya adalah cara untuk memperdalam mengenai jurnalisme dan praktik-praktiknya. Dalam beberapa tahun terakhir, mengikuti berbagai pelatihan adalah cara lain bagi saya untuk menambah pengetahuan dan kemampuan dalam bidang jurnalistik. Internet yang semakin mudah diakses, kini menjadi sarana alternatif bagi saya untuk terus belajar mengenai profesi ini. Tentu, proses belajar yang paling utama adalah praktik liputan.
Sejak dua hari lalu (Jumat, 26/10/2018), bersama 25 jurnalis yang terundang oleh DW Akademia, saya mengikuti pelatihan bagaimana meliput isu keberagaman. Bekerjasama dengan AJI Indonesia, DW Akademia menggelar pelatihan itu selama tiga hari di Manado, dengan tema utama, keimanan dan media, sebuah dialog antar agama bagi jurnalis Indonesia.
Kami para peserta mendapat materi yang sangat berguna, terutama bagaimana memahami konflik dan sumber pemicunya, lalu memposisikan sikap netral saat meliput tentang sebuah konflik. Tujuannya adalah memahami prinsip jurnalisme damai. Jurnalis harus mencegah dirinya memihak pada kelompok sesuai dengan orientasi ideologinya. Jurnalis dituntut berdiri di tengah-tengah, berimbang dalam laporannya.
Sebab, dalam banyak kasus liputan konflik, jurnalis sadar atau tidak, justru menjadi “provokator”, ikut memanas-manasi situasi. Menyiram bensin pada kelompok yang bertikai lewat tulisannya. Pemilihan frase, kalimat dan terminologi harus benar-benar dipahami dalam semangat peace journalism. Ini tidak mudah.
Sebab, dalam praktiknya kebijakan news room baru menurunkan jurnalis saat ekskalasi konflik sudah hampir mencapai puncaknya. Alasannya sederhana, mengejar perhatian pembaca. Dalam praktik media cyber saat ini, traffic adalah dewanya. Berita harus mampu memancing jutaan klik. Padahal, peace journalism mengajarkan jurnalis harus hadir saat konflik mulai terdeteksi. Liputan tak hanya melihat persoalan di permukaan, tetapi jurnalis dituntut mencari tahu akar persoalannya.
Ini tentu butuh keterampilan dan pengetahuan yang luas. Memahami konflik sampai ke akar-akarnya bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kapasitas seorang jurnalis yang tak hanya sekedar tahu menulis talking news. Disamping itu, jurnalis yang meliput isu konflik juga harus didukung dengan resource yang mumpuni. Dia tak mesti bekerja sendiri. Menciptakan jejaring adalah hal yang perlu.
Pagar utama dalam liputan konflik yang berorientasi pada solusi dan semangat toleransi keberagaman tentu adalah kode etik jurnalis. Di Indonesia Dewan Pers telah menetapkan Kode Etik Jurnalistik Indonesia. AJI juga punya kode etik sendiri bahkan telah merumuskan kode perilaku. Ini adalah kitab sucinya jurnalis bukan saja pada liputan konflik dan keberagaman, tetapi dalam segala tema liputan.
Memahami kode etik adalah sebuah sikap rendah hati dari seorang jurnalis. Dia akan terhindar dari jumawa dan tahu diri bahwa dia bekerja demi kepentingan publik bukan untuk dirinya sendiri atau kelompoknya. Apapun yang dihadapi di lapangan saat liputan, semuanya harus diuji dengan kode etik itu.
Namun ada satu hal yang penting bagi seorang jurnalis saat terjebak dalam dilema, apakah sebuah berita patut ditayangkan atau tidak: hati nurani. Dia bisa bertanya pada nuraninya, apakah berita yang akan ditulisnya berguna bagi publik atau tidak.
Hati nurani akan menjadi benteng terakhir kala semua regulasi, pagar dan etika tidak bisa memberi jalan keluar. Jurnalis patut menguji hati nuraninya. Tentu hati nurani yang murni, yang tidak terdistorsi.
Mencapai titik itu tentu butuh pengalaman spritual, butuh hati yang bersih dalam menilai ketidakberpihakan komunal. Jurnalis memang tidak bisa independen sepenuhnya. Dia harus berpihak. Berpihak pada kebenaran dan kepentingan publik.
Berpihak pada kebenaran hanya bisa dicapai jika jurnalis memahami apa itu humanisme. Dilihat dari sisi doktrin, humanisme adalah doktrin universal yang cakupannya mencapai seluruh etnisitas manusia. Humanisme adalah jalan keluar saat berhadapan dengan sistem-sistem etika tradisional yang bersifat komunal.
Pemahaman terhadap paham humanisme semestinya menjadi landasan bagi jurnalis saat meliput isu keberagaman. Dengan memahami humanisme yang benar pada akhirnya akan menghasilkan reportase yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya kehidupan yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan dan pengabdian terhadap kepentingan sesama umat manusia.
Menjadi jurnalis itu gampang, tetapi menjadi humanis itu yang perlu pembelajaran terus menerus. (*)