Jelang sore. Saya menghabiskan waktu di pojokan rumah kopi, D’locale. Beberapa waktu ini saya suka ke sini. Tak ada kemewahan di sini, malah keriuhan.
Maklum D’locale berada di kawasan Jalan Roda, sebuah area yang mendapat julukan DPRD tingkat 3. Maklum pembicaraan “politik tingkat tinggi” se Sulut berseliweran di sini. Segelas “kopi stengah” akan menemani perbincangan yang tak ada ujungnya.
Tapi saya memesan segelas penuh, kopi susu, sembari ditemani karya Yuval Noah Harari: Sapiens. Tetiba bapak itu menghampiri.
Kemejanya bermotif bunga berwarna biru, kuning dan maron. Dia mengepit tas hitam di ketiaknya. Mengumbar senyum, dan hampir saja saya menolak sebelum dia berbicara. Saya pikir ini penjaja buku-buku rohani.
Urung menolaknya, malah saya bertanya, “jual apa?”. “Oh, bukan, saya tensi darah,” jawabnya dengan senyuman.
Pas, karena beberapa kali mampir di apotik, selalu saja petugas berparas cantik itu bilang alat tensi mereka rusak, padahal panta leher saya sudah sering kesemutan.
Is namanya, sembari dia memperkenalkan diri dan mengeluarkan alat tensi dan stetoskop. Saya memberi kode ke Gita, untuk menyambar kamera. Memotret aktifitas ini. Gita menemani sore saya itu.
“Sudah 53 tahun,” kata Is saat saya penasaran dengan usianya. Dia tampak sehat, penuh energi dan bersemangat.
Is menggunakan alat tensi manual. Katanya, pernah pakai yang digital, tapi banyak pelanggannya lebih percaya kalau stetoskop menempel di telinga dan jarum pengukur detak jantung dan nadi bergerak.
Saya percaya saja pada apa yang dilakukan oleh Is, meski dia bilang, dia bukan lulusan sekolah farmasi. “Belajar sendiri saja membaca alat ini”. Lagi-lagi dia tersenyum hangat.
140/90, itu hasil bacaan Is dari pengukuran tensi darah saya. Hmm, ternyata saya darah tinggi. Pantas saja.
Usai itu, saya belum menyuruhnya pergi. Saya berbincang dengannya, di meja dan kursi yang sederhana di D’locale. dan tercenggang setelahnya.
Is telah melakoni pekerjaannya yang sederhana ini sejak 2003. 15 tahun bukan waktu yang pendek untuk semua kesetiaan pada pekerjaan yang kecil semacam mengukur tensi orang.
Pria ini saban hari berjalan ke pasar-pasar, mendatangi Jalan Roda, menyambangi rumah, ke terminal-terminal, ke pelabuhan, dan mengukur tensi orang.
Upahnya sore itu Rp 5000 untuk sekali tensi. Dan Is mengaku bisa melakukan pengukuran tekanan darah pada 50 orang saban hari.
Saya ternganga. Jika mengambil saja rerata 25 orang saban hari, artinya Is selama 15 tahun telah melakukan pengukuran tensi sebanyak 136 ribu kali.
Saya yang menekuni data driven journalism belakangan ini, dan memandang data adalah harta berharga, spontan menanyakan kalau Is mencatat apa yang dia lakukan.
“Tidak,” jawabnya polos. Raut muka saya berubah seolah memvonis kesalahannya itu.
“Jika bapak mencatat setiap orang yang bapak tensi, tekanan darahnya, detak jantungnya, profesinya, pekerjaannya, kebiasaan dia makan, kebiasaan dia tidur dan sebagainya, bapak mungkin bisa tahu persis profil tekanan darah orang-orang di Kota Manado,” khotbah saya padanya dengan mata yang berbinar-binar.
Is hanya tersenyum kalem, “saya hanya setia pada apa yang saya lakukan, saya senang mengukur darah orang, itu saja sudah cukup.”
Saya yang terdiam, menyeruput kopi yang tersisa di panta gelas. Ampas hitamnya kelihatan. Is pamit, dan saya belajar tentang kesetiaan dari hal yang luar biasa ini. Itu bukan hal kecil.
Terimakasih pak Is.