MANADO, ZONAUTARA.com – Dua penghuni Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) melakukan aksi bakar diri pekan lalu. Keduanya kini dirawat di Rumah Sakit Prof Kandouw Malalayang.
Kedua penghuni asal Afghanistan itu adalah Sajjad (24) dan Mohammad Rahim (59). Selain keduanya ada dua orang perempuan lainnya yang dilarikan ke Rumah Sakit Advent Teling karena melakukan aksi mogok makan.
Kedua perempuan itu adalah Agnile Doune (47) dan Amireh Mostafa (46). Keempat orang ini merupakan bagian dari dua keluarga yang berjumlah 12 jiwa asal Afghanistan.
Mereka telah berada di Rudenim Manado selama sembilan tahun, karena upaya mereka mencari suaka ke Australia menemui kendala saat perahu yang mereka tumpangi alami kecelakaan.
Sebelumnya para pencari suaka ini telah ditampung pihak Imigrasi di Nusa Tenggara Barat di Rudenim Sumbawa. Pada tahun 2011 lalu mereka dipindahkan ke Manado.
Selama ini nasib ke-12 orang asal Afghanistan ini ditangani oleh Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), sebagaimana para pencari suaka lainnya yang berada di Indonesia.
Namun pada tanggal 31 Januari 2019 lalu, UNHCR mengirimkan surat ke Rudenim Manado yang memberitahukan bahwa UNHCR menutup kasus mereka dan angkat tangan terhadap nasib mereka.
Selain UNHCR, International Organization for Migration (IOM), sebuah lembaga nirlaba yang memberi bantuan kebutuhan dan fasilitas kepada mereka juga mengambil kebijakan memutus bantuan.
“Dengan keputusan UNHCR itu, otomatis status mereka menjadi immigratoir, dan dibawah penanganan Rudenim Manado,” ujar Kepala Rudenim Manado Arthur Mawikere, Senin (11/22019) kepada sejumlah wartawan.
Karena berada dibawah penanganan Rudenim Manado, para pencari suaka ini diberlakukan sama seperti pelanggar keimigrasian lainnya yang ditahan di Rudenim Manado.
Kebijakan itu ditentang oleh para immigratoir asal Afghanistan dengan aksi mogok makan dan peristiwa bakar diri. Aksi mogok makan telah mereka lakukan sejak 1 Februari begitu informasi surat dari UNHCR mereka terima.
Sementara aksi bakar diri dilakukan pada Rabu (6/2) saat Rudenim didatangi aparat kepolisian yang dimintai bantuan untuk mengamankan situasi.
Zahra (22), yang ditemui di RS Advent Teling saat sedang menjaga keluarganya yang dirawat, menjelaskan bahwa aksi yang mereka lakukan sebagai upaya memperjuangkan hak status mereka menjadi pengungsi.
“Kami diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Selama ini kami tidak dikurung dalam sel, tetapi mengapa sekarang dikurung. Yang bakar diri itu melakukan aksi bela diri, bukan bagian dari protes,” ungkap Zahra.
Zahra juga menjelaskan bahwa sebenarnya mereka meminta pihak Rudenim Manado tidak memberikan mereka makanan jadi, tetapi dalam bentuk bahan makanan yang akan diolah.
“Karena ada diantara kami yang tidak cocok dengan makanan yang disediakan,” ujar Zahra.
Pihak Rudenim sendiri beralasan, bahwa apa yang dilakukan termasuk pemberian makanan telah sesuai dengan prosedur yang ada di Rudenim.
“Makanan itu disediakan oleh pihak ketiga yang telah melalui proses seleksi. Aturannya memang begitu,” jelas Mawikere.
Terkait kebijakan mengurung para immigratoir ini di sel, menurut Mawikere karena status mereka kini menjadi pelanggar keimigrasian yang tidak mempunyai dokumen.
“Kan statusnya sekarang adalah immigratoir, pelanggar keimigrasian yang sesuai dengan ketentuan mereka harus diberlakukan begitu,” jelas Mawikere.
Tidak bersekolah lagi
Tindakan Rudenim Manado yang membatasi gerak para pencari suaka ini membuat beberapa aktifitas yang selama ini mereka lakukan terhenti. Termasuk aktifitas sekolah mereka.
Salah satu remaja dari keluarga Afghanistan ini yang bernama Tahanan PBB menjelaskan kini dia sudah tidak bisa pergi ke sekolah lagi.
“Saya sudah tidak bisa ke sekolah, padahal ini mau ujian nasional. Sebelum ini saya bisa pergi ke sekolah dengan bebas,” ujar Tahanan PBB saat ditemui di Rudenim Manado pagi tadi.
Selama berada dibawah urusan UNHCR para pencari suaka asal Afghanistan ini memang mendapat beberapa keleluasaan.
Selain Tahanan PBB yang sekolah di SMP Negeri 2 Manado, adiknya Tahanan PBB Dua juga bersekolah di SD Negeri 54 Manado.
Sementara Zahra bisa menyelesaiakan kuliahnya dan meraih gelar sarjana teknik arsitektur di Universitas Sam Ratulangi Manado. Begitupun dengan Sajjad yang meraih sarjana teknik informatika dan Amar, sarjana pertanian agribisnis. Sementara Ali sedang kuliah teknik arsitektur.
“Biaya kuliahnya berasal dari sumbangan orang-orang yang peduli terhadap kami. Meski kami tidak punya identitas diri, tapi kami bisa diberikan kesempatan menyelesaikan pendidikan,” kata Zahra.
Hanya ada dua pilihan
Dengan sikap UNHCR yang angkat tangan dari ke 12 pencari suaka asal Afghanistan ini, kini nasib mereka hanya ada dua pilihan.
“Kembali ke negara mereka secara sukarela atau dideportasi,”ujar Mawikere.
Untuk urusan deportasi pun menurut Mawikere tidak gampang. Pihak Rudenim Manado sendiri sudah menghubungi Kedutaan Afghanistan untuk memulangkan mereka.
“Kita harus menunggu biaya untuk bisa mendeportasi mereka. Itu pun mereka harus melengkapi dokumen-dokumen diri dulu, karena harus urus paspor untuk beli tiket misalnya,” kata Mawikere.
Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pengungsi Tahun 1951. Tetapi memang negara ini terus diminati para pengungsi.
Pun untuk memberi pilihan bagi mereka menjadi warga negara Indonesia bukan persoalan mudah, meski mereka sudah 20 tahun berada di Indonesia.
“Ya memang kami tahu bahwa Indonesia tidak punya kewajiban untuk menanggung hidup kami. Kami bersyukur telah dibantu, tapi mohon jangan perlakukan kami sama dengan pelaku kriminal,” ungkap Zahra.
Selain 12 yang berasal dari Afghanistan, di Rudenim Manado ada dua lagi pencari suaka asal Malaysia dan Somalia. Status mereka juga belum jelas karena pengajuan status sebagai Refugee ditolak UNHCR.
UNHCR sendiri sebenarnya telah beberapa kali berupaya mengurus status 12 orang asal Afganistan ini. Tetapi mereka menuntut kompensasi atas 20 tahun nasib mereka yang terkatung-katung.
“Kami mau PBB memperhatikan itu, memberi kami kompensasi yang adil selama 20 tahun nasib kami yang tidak jelas itu. UNHCR datang dan bilang, kami mau diuruskan, asalkan lupakan yang 20 tahun itu, jelas kami tidak mau,” kata Zahra.
Penolakan UNHCR atas status yang pernah mereka ajukan menurut Zahra merupakan sebuah ketidakadilan. UNHCR beranggapan bahwa daerah asal orang tua Zahra bukan merupakan bagian dari konflik di Afghanistan.
“Disana ada pasukan PBB, apakah itu bukan merupakan bukti bahwa kami keluar dari Afghanistan karena terjadinya konflik?,” ujar Zahra.
Ikuti liputan soal tema ini dalam topik: Para Pencari Suaka
Editor: Ronny Adolof Buol