LAJU kenderaan mobil kami melambat saat memasuki Belang, sebuah daerah pelabuhan di Minahasa Tenggara. Maklum kelokan jalan menuntut konsentrasi.
Di sisi kanan jalan tersaji pemandangan indah teluk dan ujung tanjung. Beberapa kapal penangkap ikan membuang sauh di situ. Tenang menunggu waktu kembali menantang lautan. Belang terkenal dengan produksi cakalang fufu. Nelayan di sana, pergi melaut dan beberapa hari kemudian membawa tangkapan cakalang serta tuna.
Kami baru saja kembali dari Ratatotok kala itu, sebuah kawasan yang selalu menarik perhatian. Redaktur Pelaksana zonautara.com Rahadih Gedoan mendeskripsikan Ratatotok dengan kalimat kelakar yang mengena, “ini adalah kampung yang berkatnya sama besar dengan masalahnya”.
Dia tak salah, persis penyair Jamal Rahman Iroth yang tinggal di kaki bukit Torotakon menarasikan: dari pinggir pante lakban kami larungkan seluruh duka // kelak pasir-pasir di sini sekemilau permata // agar ayah tak perlu lagi menjala air mata, ketika // seragam sekolah kami sobek dan ujung sepatu menganga.
Penggalan narasi itu ditulis Jamal untuk sahabatnya Cak Pudin yang memilih menjadi warga Ratatotok Timur. Pudin jualah yang menemani Tim Zonautara.com menjejak di Ratatotok Timur. Aktivis sosial ini tak lahir di sana. Mohamad Saifudin -nama lengkapnya- bertransformasi dari seorang pedagang di Pasar Bersehati Manado menjadi pejuang ekowisata di Ratatotok. Dia asli Bojonegoro, Jawa Timur.
Cintalah yang membawa Pudin berdiam di Teluk yang dibentengi pulau naga dan putus-putus. Cinta Pudin tak sekedar Cindra Pongoliu yang memikat hatinya lalu menjadi istrinya, tapi juga ada bakau, bukit harapan, pantai lakban, ikan puti, batu rempel, dan segala hal yang harus diurusnya. “Saya hanya ingin, warga di sini sadar kampung mereka punya potensi yang luar biasa,” kata Pudin.
Ratatok memang tak bisa dipisah dengan Buyat. Jejak sejarah eksplorasi penambangan emas telah ada sejak 1900an. Setidaknya kolonial Belanda pernah memasang 60 mesin penumbuk emas di wilayah ini. Sebuah catatan menginformasikan Belanda kala itu sempat mengangkut setidaknya 5.000 kilogram emas dari perut bumi Ratatotok.
Itu dulu. Lalu mesin-mesin modern juga hadir di sini, mengeksploitasi kekayaan mineral perut bumi Ratatotok. Limbahnya ke teluk Buyat, dan lalu gugatan warga telah memaksa perusahaan penambangan emas multi nasional angkat kaki dari sana.
Lagi-lagi narasi Jamal mengekspresikan sejarah itu pada bait puisinya Dengarlah Denyut Teluk Ini: darimu aku belajar memecah batu // batuan beku justru takluk pada sedimen air mata // yang menampung fosil-fosil kekecewaan // dari jutaan tahun silam.
Dalam perjalanan kali ini kami memang tak menemui air mata, sebab bekas wilayah tambang itu telah disulap menjadi hutan. Jika pejalan yang pertama kali datang ke kawasan hutan itu, dia tak akan mengira jika itu dulunya adalah kawasan tambang yang sangat luas. Yang mungkin satu-satunya bukti bahwa di sana pernah ada penambangan skala besar, adalah lubang utama yang telah menjadi danau. Butuh perjuangan untuk sampai di titik pengamatan Vein Hein untuk melihat danau itu.
Tapi jangan kira Ratatotok tak berdenyut lagi dengan eksploitasi emas. Sebab di sepanjang jalan menuju hutan yang kini disiapkan jadi Kebun Raya itu, terhampar dengan sangat gamblang mesin-mesin tromol yang tak henti menggiling material mengandung emas.
Tak cukup waktu bagi kami untuk mengeksplorasi semua cerita di Ratatotok. Perjalanan dua hari ke sana adalah sebuah awal bagi upaya jatuh cinta pada Sulawesi Utara. Sebuah kawasan dengan segudang potensi yang tak akan pernah habis dijelajahi.
Setumpuk materi hasil reportase berseliweran di otak saya. Merunut apa yang semestinya didahulukan untuk disajikan ke pembaca. Sambil menikmati pemandangan indah di jalanan menuju Belang, saya nyaris berteriak meminta Reporter Garry Kaligis yang ada di belakang setir menepikan mobil.
Sejurus kemudian saya sudah mengarahkan lensa tele pada dua sosok manusia yang berjalan mendekat. Fisik mereka begitu kontras. Dan saat saya menghentikan bidikan camera, dua sosok manusia itu ternyata adalah sepasang kekasih.
Dengan keramahan yang menggebu, sang istri memperkenalkan diri, “Yul Saranda”. Tingginya mungkin hanya semeter persis. Keterkejutan saya berikutnya saat Yul menyebut usianya, “so enampuluh tahun (sudah berusia enampuluh tahun)”.
Mereka baru saja usai dari kebun pisang yang menjadi topangan hidup mereka. Suaminya yang bertelanjang dada itu adalah Mamun Simbala, 43 tahun. Jalan kaki adalah rutinitas keseharian mereka merayakan hidup yang penuh cinta. Rumah mereka di kampung Borgo, Belang. Kebun pisang adalah cinta yang mereka harus rawat saban hari, sebab dari sanalah mereka menghidupi anak-anak mereka yang telah dewasa.
“Saya dulu adalah tibo-tibo (penjual ikan keliling), dari Talaud lalu ke sini, dan bertemu jodoh. Hidup itu harus terus disyukuri, apapun itu, kita tetap harus berbahagia,” kata Yul dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Dan sore itu kami dipenuhi dengan kebahagiaan, penuh cinta untuk merayakan setiap episode kehidupan. Ratatotok hanyalah setitik pijakan bagi sederet perjalanan berikutnya. Sebab kehidupan harus terus dirayakan, demi sumbangan pada peradaban.
Foto feature adalah pasangan suami istri Mamun Simbala dan Yul Saranda.