MANADO, ZONAUTARA.com – Berbagai kasus terkait seks yang melibatkan anak-anak di bawah umur di Kota Manado semakin tinggi. Data Kepolisian Resor Manado menyebutkan ada ratusan laporan yang diterima terkait kasus persetubuhan sejak 2018 hingga awal Juni 2019, yang melibatkan anak.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.id pada tahun 2018, Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Manado menerima laporan 77 kasus persetubuhan yang melibatkan anak di Manado pada tahun 2018.
Sementara hingga Juni sudah ada 31 kasus serupa yang dilaporkan sepanjang tahun 2019.
Kepala Satreskrim Polres Manado Ajun Komisaris Thommy Aruan mengatakan bahwa jumlah laporan itu cukup tinggi, mengingat Kota Manadio merupakan kota sedang.
Kota Manado memiliki penduduk sekitar 500 ribuan. Jika dibandingkan dengan kota Tangerang Selatan misalnya, yang memiliki 1,3 juta penduduk, pada tahun 2018 hanya ada 13 kasus persetubuhan terhadap anak.
Menanggapi hal itu, aktivis perempuan dan anak, Jull Takaliuang mengatakan jika angka laporan itu memposisikan anak sebagai korban, maka tren itu sama dengan data yang ada di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulut.
“Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak terus meningkat. Tapi, kami memang belum memilah data kekerasan seksual anak sebagai pelaku,” kata Jull, Sabtu (15/6/2019).
Jull meyakini masih banyak kasus yang belum sampai ke tangan polisi dan tidak dilaporkan. Hal itu disebabkan berbagai alasan, diantaranya pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.
“Kadang proses penegakan hukum kasus-kasus seperti ini, semakin ke pelosok semakin tidak menjamin rasa keadilan baik bagi korban maupun keluarganya,” tambah Jull.
Jull berpendapat jika tingginya angka kasus persetubuhan yang melibatkan anak sebagai pelaku, baik dengan alasan berpacaran maupun tindak pidana cabul atau pemerkosaan, maka itu patut menjadi keprihatin bersama.
“Pemerintah harus berada di garis depan memberi perhatian serius soal masalah ini. Program-program harus jelas dan terukur. Selain itu harus juga melibatkan semua stakeholder, terutama lembaga/institusi yang berkaitan dengan pembentukan karakter anak,” jelas Jull.
Bebasnya anak menggunakan media sosial tanpa sensor menurut Jull ikut memberi kontribusi pemicu berbagai kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.
“Pendidikan seks perlu dilaksanakan di sekolah-sekolah. Tentu materinya harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan serta usia anak,” ujar Jull.
Dalam beberapa kasus, menurut Jull, anak-anak yang terlibat berasal dari keluarga yang brokenhome, kehilangan arah, kehilangan kasih sayang dan perhatian orang tua.
Oleh karena itu, menurut Jull pelibatan keluarga juga menjadi sangat penting.
Ajun Komisaris Thommy Aruan menjelaskan bahwa pergaulan bebas dan konsumsi minuman keras dapat meningkatkan risiko terjadinya hubungan seksual di kalangan anak.
“Mau tidak mau, Satreskrim harus terus berpatroli merazia minuman keras, penggrebekan rumah-rumah indekos, dan hotel-hotel melati. Kami juga terus mengawasi anak-anak yang nongkrong di malam hari,” kataThommy.
Sementara itu, dari penelusuran Zonautara.com, praktik prostitusi yang melibatkan anak-anak di Manado semakin marak. Praktik prostitusi itu dilakukan dengan memanfaatkan kemudahan akses ke media sosial yang tanpa sensor.
Beberapa aplikasi chating digunakan bagi pelaku prostitusi menawarkan jasa mereka, termasuk anak-anak dibawah umur.
Editor: Ronny Adolof Buol