Persoalan sampah di Kota Manado terus menjadi pembahasan. Pemerintah Kota dengan berbagai terobosan terus mengupayakan sistem penanganan sampah yang lebih baik dari berbagai aspek. Sementara berbagai kelompok masyarakat ikut pula ambil bagian dalam persoalan dasar hidup manusia ini. Manado telah berkembang sangat pesat sebagai kota modern, dengan produksi sampah harian yang juga terus meningkat.
Kami menurunkan Laporan Khusus yang menyorot sebagian persoalan sampah di ibukota Sulawesi Utara ini.
Sain Kansil (39), terlihat cekatan mengumpulkan serakan sampah plastik disepanjang lima ratus meter pantai Karangria, Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara, Selasa 07 Juli 2019. Warga Kelurahaan Tuminting itu, mengumpulkan segala jenis sampah hasil buangan warga di dua sungai yang bermuara di pantai Karangria.
Saban Jumat pagi dan Minggu sore, Ia membersihkan sampah di pesisir pantai Karangria dengan sejumlah nelayan yang menjadikan pantai itu sebagai lokasi tambatan perahu. Sesekali Sain mengajak masyarakat Tuminting untuk ikut membantu, terutama saat musim gelombang tinggi.
“Kadang kala saya mengajak anak muda, kalau musim gelombang tinggi pasti banyak sampah yang menumpuk,” kata Sain saat bercerita dengan zonautara.com beberapa waktu lalu.
Tujuh bulan sebelumnya, di tempat berbeda Elisabet Yormie dan dua rekannya dari Yayasan Cinta Kota Indonesia juga ikut memunguti dan mengumpulkan sampah di wilayah pesisir Kota Manado, Sulawesi Utara. Namun Ia dan dua rekannya itu tidak melakukan gotong royong bersih-bersih pantai seperti Sain Kansil. Elisabet saat itu sedang melakukan pemetaan dan riset terkait sampah plastik di Kota Manado. Ia dan rekannya itu mengumpulkan semua jenis sampah untuk diteliti.
Hasilnya, dalam sepekan Elisabet berhasil menemukan 1431 jenis sampah plastik bekas kemasan dengan 134 merek berbeda. Dari jumlah itu sampah plastik merek makanan dan minuman seperti produk kemasan air mineral dan makanan cepat saji paling banyak ditemukan, yaitu 44 jenis merek. Sementara sampah plastik merek produk kebutuhan rumah tangga dan pembungkus popok bayi berjumlah 38 jenis, serta 17 jenis sampah plastik lainya adalah produk pembungkus rokok.
Penyumbang sampah terbanyak di Kota Manado berasal dari kelompok pemukiman warga 65,68 persen, pasar tradisional 8,12 persen, pusat perniagaan 5,65 persen, dan sampah kawasan 2,4 persen.
Menurut Elisabet, dari hasil pemetaan sementara hampir semua wilayah pesisir di Kota Manado rawan terjadi tumpukan sampah plastik. Bahkan beberapa lokasi yang memiliki muara sungai seperti pelabuhan Manado, Sindulang, Kawasan Megamall, hingga pesisir Malalayang masuk dalam kategori berresiko tinggi ancaman sampah plastik.
“Tapi sebenarnya semua wilayah Kota Manado memiliki resiko terhadap ancaman sampah. Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi masyarakat Manado yang tergolong tinggi dan merata semua wilayah menjadi faktor kenapa sampah terus menjadi masalah,” kata Elisabet.
Persoalan sampah di sepanjang pesisir Kota Manado masih menjadi masalah serius yang tidak pernah tuntas hingga saat ini. Amatan zonautara.com di beberapa lokasi pesisir pantai Kota Manado, sampah masih ditemukan berserakan dan menumpuk. Banyak masyarakat bahkan tertangkap membuang sampah tidak pada waktunya dan sembarangan.Tak sedikit pula pengendara motor atau mobil yang asal membuang sampah di pinggir jalan.
Pada sejumlah lokasi strategis seperti, pesisir pantai Sindulang dan Kawasan Megamas serta beberapa ruas jalan seperti wilayah Malalayang dan jalur ring road Manado-Bitung, sampah sampai dibiarkan meluber hingga pembatas jalan. Di pinggiran Sungai Bahu Malalayang, Manado, tepatnya di bawah jembatan perbatasan Bahu Malalayang sampah plastik seperti botol minuman air mineral bahkan dibiarkan menumpuk.
Data Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga tahun 2018, Kota Manado tercatat memproduksi sampah hingga 409 ton perhari atau 12 ribu ton perbulan atau meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 390 ton perhari.
Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado bahkan mencatat volume sampah di Kota Manado telah mencapai 828.812 meter kubik, atau terus mengalami peningkatan secara signifikan sejak 2012. Dari jumlah itu, komposisi sampah banyak didominasi sampah sisa makanan mencapai 59,21 persen sampah plastik 20.03 persen serta sampah kertas 6,70 persen dan tekstil 5,90 persen.
Untuk sampah plastik sendiri, pampers, diapers, serta sterofoam merupakan yang terbesar yaitu mencapai 10.50 persen, sementara plastik kantong kresek 8,60 persen, plastik jenis 7.30 persen, dan botol plastik kemasan minuman mineral 4 persen. Dan hanya 7 persen sampah plastik di Kota Manado yang didaur ulang dan 12 persen dibakar, sisanya, 81 persen berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.
Menurut Audy J Kalumata, Kepala Bidang Persampahan dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado, perilaku masyarakat yang belum mau mengurangi sampah plastik seperti sedotan, botol mineral, dan tas belanja minimarket menjadi faktor meningkatnya volume sampah di Kota Manado setiap tahunnya. Banyaknya masyarakat yang belum peduli membuang semua sampah pada tempatnya dan membawanya hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga menjadi pemicu sampah sulit diatasi.
”Masyarakat harus bisa memberdayakan bank sampah di beberapa tempat. Itu penting karena ada mesin pencacah organik yang bisa berguna untuk mengurangi volume sampah,” kata Audy pada zonautara di ruang kerja, Jumat 21 Juni 2019.
Meski enggan membeber data volume sampah di Kota Manado yang dibutuhkan sebagai bahan pemberitaan, Audy mengatakan penanganan sampah di Kota Manado saat ini sudah dilakukan dengan sistim berbasis kecamatan dengan didukung tenaga harian lepas, anggaran, dan fasilitas. Masyarakat juga diberikan pendidikan tentang penanganan sampah terutama sampah plastik.
“Sampai saat ini masih terus berjalan masyarakat bahkan telah diimbau untuk tidak membuang sampah plastik di aliran sungai dan pesisir pantai,” ujar Audy.
Berdasarkan hasil pemantauan sampah tahun 2018, diperkirakan 80 persen sampah yang ada di pesisir Kota Manado berasal dari daratan yang dibuang warga pada aliran sungai terutama di pesisir pantai bagian selatan yang memiliki muara sungai. Dari jumlah tersebut, 60 persen merupakan sampah yang sulit terurai seperti plastik, kaleng aluminium, popok bayi (diapers) dan botol plastik.
Loisa Novany, mahasiswa studi perencanaan Universitas Sam Ratulangi Manado dalam penelitiannya menemukan, tingginya sampah yang sulit terurai di Kota Manado disebabkan lantaran sebagian besar masyarakat atau sebanyak 73,17 persen masih senang menggunakan bahan wadah jenis kantong plastik untuk menampung sampah rumah tangga.
Tak hanya itu, banyak masyarakat yang langsung membuang sampah di selokan, dan membiarkannya menggendap di sekitaran sungai dan pantai. Dari segi volume dan karakteristik sampah, volume timbulan sampah per rumah tangga perhari di permukiman mencapai 8,16 liter atau 1,63 liter per orang perhari.
Kesadaran warga kurang
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Utara, Theo Runtuwene mengatakan setidaknya ada empat masalah yang menyebabkan persoalan sampah di Kota Manado belum juga tuntas seperti belum memadainya sarana prasarana pengelolaan sampah, dan teknologi pengelolaan persampahan yang masih sederhana serta lahan lahan TPA yang tak lagi memadai.
Ada juga masalah pola angkut yang tidak disesuaikan dengan pola hidup masyarakat Manado sehingga mendorong produksi sampah terus meningkat.
“Penanggulangan sampah di Kota Manado itu harus dilakukan bersama. Pemerintah Kota Manado harus memperhatikan pula sampah kiriman dari DAS Tondano,” kata Theo saat dihubungi Senin 29 Juli 2019.
Menurut Theo, pengelolaan persampahan yang tidak sesuai dengan karakteristik lingkungan permukiman dinilai hanya akan menambah kompleks persoalan persampahan di Kota Manado. Pemerintah Kota Manado harus mengagas tiap lokasi permukiman memiliki sarana persampahan khususnya dilingkungan permukiman perbukitan yang kondisi lingkungannya sulit untuk dilalui alat pengumpul sampah. Tak hanya itu pengelolaan persampahan juga harus menitikberatkan peran masyarakat.
“Jika itu dilakukan kami yakin persoalan sampah pelan-pelan bisa diselesaikan. Membaca karakteristik lingkungan permukiman juga penting dalam menentukan pengelolaan sampah secara seragam oleh pemerintah,” ujar Theo.
Masyarakat diminta memilah
Wali Kota Manado Vicky Lumentut berharap masyarakat dapat memilah secara mandiri, dengan memisahkan sampah organik dan anorganik sebelum membuangnya. Sampah sisa makanan sedapat mungkin dibuang dalam dekomposer atau dibawa ke bank sampah terdekat untuk diolah menjadi kompos. Untuk sampah plastik dapat dikumpulkan dan dibuang pada tempat yang disediakan.
Pemerintah Kota Manado bahkan sudah mengeluarkan peraturan soal pemilahan sampah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Aturan itu tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwali) nomor 33 tahun 2018 tentang Pengurangan dan Penanganan Sampah Berbasis Kecamatan.
“Manado sudah ada aturan untuk pengelolahan sampah secara mandiri, Saya bahkan telah meminta seluruh jajaran perangkat daerah, kecamatan dan kelurahan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat,” ujar Lumentut.
Dalam Peraturan Wali Kota Manado soal Pengurangan dan Penanganan Sampah Berbasis Kecamatan itu mengatur pengelolaan sampah rumah tangga dilakukan secara berjenjang dari tingkat rumah tangga hingga ke kecamatan. Masyarakat dilarang membuang sampah pada aliran-aliran sungai, dan pesisir pantai pantai dan dianjurkan memilah sampah sesuai jenisnya seperti kertas, plastik, kaca, alumunium.
Menurut Vicky, setidaknya ada empat tingkatan yang dilakukan Pemerintah Kota Manado dalam pengurangan dan penanganan sampah seperti pertama pengelolaan sampah akan dilakukan terlebih dahulu pada tingkat rumah tangga, lalu tingkat lingkungan, tingkat kelurahan hingga tingkat kecamatan. Tujuannya tak lain adalah agar penanganan dan pengelolaan sampah dilakukan secara tepat dan efektif.
“Jika ini konsisten dilakukan maka dinilai bisa berdampak pula pada upaya mengurangi residu sampah yang dibawa ke TPA. Target kami tahun 2020 ini persoalan sampah di Kota Manado bisa teratasi,” ujar Vicky.
Di Kota Manado sendiri sudah ada dua TPS 3R (tempat pengelolaan sampah reuse reduce recycle). Salah satunya ada di Kelurahan Malendeng Kecamatan Tikala, yang dikelola oleh KSM Manguni Malendeng.
Di TPS 3R, sampah dari rumah tangga yang sudah dipilah diolah kembali sesuai dengan jenisnya. KSM Manguni Malendeng yang pengurusnya terdiri dari 3 kepala lingkungan sudah mengoperasikan fasilitas yang dibangun oleh Kementerian PUPR pada 2018 itu.
“Fasilitas ini dirancang menangani sampah untuk tiga lingkungan, sekitar 500 kelapa keluarga. Walau sudah berjalan, kami masih menemui beberapa kesulitan, seperti peralatan yang belum memadai, dana operasional yang belum ada serta kesadaran warga untuk memilah sampah dari awal,” ujar Bendahara KSM Manguni Malendeng, John Toru Mukuan, sewaktu didatangi Zonautara.com di lokasi TPS 3R.
John yang juga merupakan Kepala Lingkungan 3 Kelurahan Malendeng menghibahkan tanahnya untuk didirikan bangunan TPS 3R.
“Saya rela tanah saya digunakan untuk fasilitas ini, yang penting sampah di lingkungan sini tertangani. Tapi butuh usaha keras untuk meyakinkan warga bahwa TPS 3R bukan sebagai tempat sampah, tetapi sebagai tempat pengelolaan sampah,” harap John.
Ketua KSM Manguni Malendeng Rifandi Badasi menjelaskan, andai saja TPS 3R diberdayakan secara maksimal, maka volume sampah ke TPA akan berkurang secara signifikan. Sayangnya, usulan dana operasional TPS 3R sebesar Rp 65 juta setahun, hingga saat ini belum direalisasikan oleh DLH Manado.
Lieke Kembuan dari DLH Manado saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa usulan dana operasional untuk TPS 3R Malendeng itu sedang menunggu perubahan anggaran.
Lieke juga memaparkan bahwa saat ini pihaknya sedang membenahi TPA Sumompo dari sistem open dumping menjadi control lanfil.
“Kami juga menggiatkan bank sampah, kita sudah punya sebanyak 29 unit bank sampah, yang aktif ada 12 unit,” jelas Lieke.
Perlu penanganan semua pihak
Anggota Dewan Kota Manado Mona Clore yang merupakan Ketua Panitia Khusus revisi Perda Perda nomor 7 soal pengelolaan persampahan meminta semua pihak memberikan perhatian.
“Perlu banyak pembenahan dan memperkatat aturan. Semua pihak harus terlibat, tidak hanya pemerintah, masyarakat juga,” ujar Mona.
Soal keterlibatan masyarakat, inisiator Sekolah Kuala, Denny Taroreh setuju dengan itu. Menurut Denny, perilaku warga terhadap sampah butuh kampanye dan sosialisasi berkelanjutan. Aksi bersih-bersih yang selalu dilakukan oleh pemerintah dan berbagai komunitas pengaruhnya kecil sekali terhadap kesadaran warga.
“Itu tidak lebih dari sekadar gagah-gahan. Harus dilakukan kampanye terus-menerus dan penegakan hukum,” ujar Denny saat ditemui di Rumah Singgah Manado beberapa waktu lalu.
Denny berpendapat, Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado harus menyediakan porsi anggaran yang cukup untuk kampanye merubah perilaku masyarakat terhadap sampah. Dia memberi contoh, jika mengubah saja penyebutan sampah rumah tangga menjadi kata “bekas” sudah bisa membawa dampak terhadap perilaku.
“Orang pada umumnya menganggap sampah itu menjijikkan, padahal jika dikelola dengan benar, sampah bisa menghasilkan uang,” katanya.
Denny bersama aktifis lingkungan lainnya melakukan gerakan pendidikan lingkungan lewat kampanye #malobuangsampahsembarang. Mereka juga sering menggelar pelatihan penanganan sampah melalui Sekolah Kuala.
Sementara itu dua anggota Dewan Kota Manado lainnya, Anita De Blouwe dan Markho Tampi meminta DLH segera memberi perhatian terhadap TPA.
“Masih banyak ditemui tumpukan sampah. Kondisi TPA juga sudah memprihatinkan, segera carikan solusinya. Semua pihak harus bahu membahu bekerja agar persalan sampah di Manado bisa ditangani dengan serius,” ujar Markho.
Di Kecamatan Mapanget, penanganan sampah dari rumah tangga sudah sampai ditahap memilah dan hanya membawa residu ke TPA. Camat Mapanget Rein Heydemans menjelaskan bahwa di kecamatan yang dipimpinnya sudah ada program khusus soal sampah.
“Kami punya bank sampah, di sana semua sampah dipilah dan hanya residu saja yang dibawa ke TPA. Kami sudah punya 200 nasabah. Tahun kemarin kami punya program tukar sampah dengan sembako,” jelas Rein.
Pada 2020, pihaknya menargetkan pengoperasian fasilitas TST (tempat sampah terpadu), dengan harapan semakin sedikit volume sampah yang dibawa ke TPA.
Tim Peliput:
Rahadih Gedoan
Tessalonika Senduk
Suhandri Lariwu (Fotografer)
Leriando Kambey (Kontributor)
Editor:
Ronny Adolof Buol