JAYAWIJAYA, ZONAUTARA.com – Hari keempat di Jayawijaya kami (Ronny Buol, Fine Wolajan, dan Suhandri Lariwu) memilih pergi ke kampung-kampung. Tak mudah ke sana karena terbatasnya transportasi. Pilihannya adalah carter kendaraan dengan harga yang cukup mahal atau naik kendaraan umum dengan suasana yang aduhai. Beberapa turis ada yang memilih jalan kaki.
Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami memilih ke Jiwika, Distrik Kurulu. Dari Wamena kami naik angkot (di sini disebut taxi) yang pintunya tinggal diikat tali agar tak copot. Sopirnya yang orang Probolinggo, Jawa Timur, mengantar kami terminal Jibima.
Tiba di terminal itu, saya memotret angkot tadi. Pas memotret tetiba seorang bapa brewokan langsung menghampiri dan minta uang. Alasannya saya memotret anaknya yang berdiri di depan angkot. Sempat berbantahan, tapi saya memilih memberinya Rp 5 ribu.
Kami lalu ke Jiwika dengan angkot sopirnya orang Papua. Sepanjang jalan Fine Wolajan tak henti merekam sajian alam yang luar biasa indah. Kami turun di pertigaan kampung wisata Jiwika, disambut mama bertelanjang dada.
Lalu kami masuk ke sirimo (kompleks honai satu rumpun keluarga). Di sini kami bermaksud memotret mumi Jiwika yang berusia lebih dari 300 tahun. Namun niat kami urung saat perwakilan sirimo meminta jasa Rp 1,5 juta agar mumi bisa dikeluarkan.
Kami lalu ke Obia, kampung sebelahnya. Di sini banyak sirimo, termasuk satu sirimo yang di dalamnya terdapat beberapa honai (rumah tradisional orang Papua) yang dibangun khusus untuk pejalan yang menginap dengan harga Rp 200 ribu per malam. Kami disambut warga Obia yang bernama Aser, yang telat bangun dan ditinggal orang sekampung pergi ke Festival Budaya Lembah Baliem di Wamena.
Usai memotret di Obia, kami mau ke pasir putih di Pikey. Keluar ke jalan umum dan menunggu angkot dari arah Wosi. Setelah sekitar 30 menit menunggu sebuah angkot datang. Penuh dengan penumpang, tapi kami tetap juga diminta naik. Pun setelah jalan sopirnya yang orang Papua, tetap memaksa penumpang lain naik.
Alhasil, angkot yang idealnya hanya memuat 10 orang, kini disesaki 25 penumpang. Suhandri Lariwu dan Fine masih sempat membuat vlog sebelum per ban belakang patah dan memaksa kami semua turun!
Lucunya saat penumpang paksa sopirnya buka pintu (pintu angkotnya hanya bisa dibuka oleh sopirnya), si sopir nyelonong pergi begitu saja naik mobil lain dan meninggalkan kami semua. Kami bertiga tertawa saja.
Sekitar 45 menit kemudian, sebuah mobil double cabin lewat, dan berbelas kasihan memberi kami tumpangan kembali ke terminal. Kami memilih tak lagi ke pasir putih. Mobil double cabin itu dipacu dengan kecepatan yang bikin jantung harus dipeneti.
Kami duduk di bagian cabin belakang yang terbuka. Untungnya pemandangan yang sangat indah membuat kami begitu bersemangat. Papua sungguh indah.
Laporan: Ronny Buol
Editor: Rahadih Gedoan