ZONAUTARA.com – Ada 5 keluhan yang sering kali disampaikan investor, baik domestik maupun internasional. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong pada rapat terbatas yang membahas masalah Perbaikan Ekosistem Investasi, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/09/2019) sore.
Yang pertama, menurut Thomas, soal regulasi. Ia menilai, peraturan-peraturan yang abu-abu, tidak jelas, tumpang-tindih kewenangan, atau suka berubah-berubah mendadak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian juga perizinan yang bertele-tele.
“Pendaftaran dijadikan izin, syarat dijadikan izin, rekomen teks dijadikan izin, semuanya dijadikan izin. Inikan sangat-sangat menghambat proses-proses dunia usaha,” terangnya.
Kedua adalah isu-isu perpajakan. Kata Thom, bicara jujur, meskipun sudah banyak perbaikan tetap cukup banyak keluhan dari investor dari sisi pemberlakuan atau perlakuan pajak kepada investor.
Ketiga, urusan lahan di lapangan. Menurut Kepala BKPM itu, di daerah jelas banyak sekali sengketa lahan, kesulitan untuk membebaskan lahan tapi juga izin-izin terkait izin bangunan. Sertifikat layak fungsi yang bisa butuh waktu berbulan-bulan mengurusnya dengan membutuhkan biaya yang juga tidak kecil.
Keempat, lanjut Kepala BKPM, urusan yang berkaitan dengan tenaga kerja. Menurut Kepala BKPM itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan dari 2003 itu sudah tidak berfungsi dengan baik.
“Ini Undang-Undang sudah 16 tahun. Dunia sudah sangat-sangat berubah dan diperlukan penyesuaian-penyesuaian undang-undang ketenagakerjaan supaya lebih fleksibel, lebih modern, lebih mencerminkan realita ketenagakerjaan di abad 21,” tutur Thomas.
Dan terakhir, menurut Kepala BKPM, kesulitan-kesulitan yang dihadapi di sektor BUMN.
“Dengan penuh hormat harus kami akui juga banyak sekali keluhan dari dunia usaha swasta mengenai dominasi BUMN dan hubungan antara sektor swasta dengan sektor BUMN yang kurang kondusif,” kata Thomas.
Menurutnya, Presiden telah memberikan waktu satu bulan untuk jajaran kementerian/lembaga memfinalkan formulasi-formulasi solusi-solusi. Jadi, mau tidak mau harus ada pemangkasan besar-besaran aturan-aturan, syarat-syarat, kewajiban-kewajiban, izin-izin karena itu yang jadi beban buat kita semua.
“Itu semua memakan waktu, memakan tenaga yang tidak produktif dan akan semakin sibuknya kita semua mengurus izin, terus mengecek izin. Mohon maaf, sering kali izin juga dijadikan gimmick atau objek transaksional, ya kan, untuk pungli atau oleh aparat penegak hukum bisa dijadikan subjek pemerasan. Dan ini semua kegiatan-kegiatan yang tidak produktif,” ungkap Thom, sapaan akrab.
Menurut Kepala BKPM itu, dirinya sudah mendapat izin oleh Presiden untuk menegur atau marah kepada para menteri yang membuat terlampau banyak peraturan yang tidak produktif itu.
“Jadi saya kira dalam beberapa minggu ini saya akan angkat suara, angkat bicara mengenai hal-hal yang sebetulnya sangat konyol. Aturan-aturan, syarat-syarat yang sangat memberatkan kita semua,” ujarnya.
Perang dagang antara China dan Amerika Serikat memberikan peluang yang jarang-jarang terjadi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Namun, kenyataannya berkompetisi dengan Vietnam saja dalam menggaet investasi, Indonesia masih kalah.
Thomas mengajak semua pihak tetap optimistis, karena peluang dalam menggaet investasi masih sangat-sangat besar. Hal ini menunjuk persepsi internasional kepada Indonesia yang saat ini sedang bagus-bagusnya.
“Buktinya rupiah lagi menguat, rupiah lagi menguat terus, nih. Harga obligasi pemerintah lagi naik terus. Jadi ini menunjukkan kalangan investor internasional sangat-sangat mengapresiasi Indonesia yang terus konsisten berorientasi pada orde reformasi ekonomi, dengan prudential sangat rasional dan bertanggung jawab dalam mengelola makro dan kebijakan ekonomi,” kata Thom.
Menurut Kepala BKPM, jika juga ada ancaman sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia pekan lalu, bahwa dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ada ancaman bagi negara-negara berkembang, yaitu capital outflow, yang kalau investor-investor menarik investasinya dalam jumlah yang besar.
“Ini tentunya jadi bisa membahayakan kurs dan juga cadangan devisa bank-bank sentral negara berkembang, termasuk Indonesia. Solusi yang paling elegan, yang paling efektif, yang paling jelas, kita harus membenahi diri untuk lebih efektif untuk bisa lebih menang di kontestasi regional, untuk bisa menarik investasi di pabrik-pabrik, di sektor riil yang juga kemudian menciptakan lapangan kerja, yang menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru,” ujarnya.
Editor:
Rahadih Gedoan