ZONAUTARA.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sarat dengan konflik kepentingan. ICW meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses pembahasan itu.
Dugaan konflik kepentingan itu, karena banyaknya anggota DPR yang terjerat KPK. Dalam rentang waktu 2003-2018 ada 885 orang yang telah diproses hukum karena terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, ada 60% atau 539 orang berasal dari kalangan politikus.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan ada 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Para tersangka itu datang dari berbagai partai politik. Golkar delapan orang, Partai Hanura dua orang, PDIP, PAN, dan Partai Demokrat masing-masing tiga orang, serta PKB, PPP, PKS, dan Partai Nasdem masing-masing satu orang.
Saat ini masih berjalan perkara korupsi e-KTP yang menjerat beberapa Anggota DPR dalam penyidikan KPK. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum terhadap mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, disebut puluhan politisi DPR yang diduga turut menerima aliran dana dari proyek yang telah merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
“Atas narasi di atas, maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan,” ujar Kurnia kepada CNNIndonesia.com, Minggu (15/9).
Menurut dia, waktu pembahasanpun tidak tepat lantaran masa bakti DPR bulan ini akan berakhir. Selain itu, substansi perubahan yang diajukan juga menyisakan banyak perdebatan.
“Untuk itu, ICW meminta agar seluruh masyarakat Indonesia mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi,” pinta dia.
Sebelumnya, DPR RI secara tiba-tiba memutuskan untuk membahas RUU KPK yang tertunda sejak tahun 2017. Pada rapat paripurna Kamis (5/9), sepuluh fraksi di DPR pun menyetujui RUU KPK sebagai inisiatif DPR. Mereka langsung mengirimkan surat sekaligus draf RUU KPK kepada Presiden Jokowi.
Jokowi kemudian merespons dengan menerbitkan surat presiden (surpres) untuk memulai pembahasan RUU KPK pada Rabu (11/9). Jokowi mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin mewakili pemerintah menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi RUU KPK yang diinisiasi DPR.
Jokowi menyatakan bahwa pihaknya menyetujui beberapa poin dalam draf RUU KPK yang disusun oleh DPR. Poin-poin itu adalah soal pembentukan dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui perubahan status pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK, menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Editor: Ronny Adolof Buol