Jaman Bergerak

Rahadih Gedoan
Penulis Rahadih Gedoan
Aksi mahasiswa dari Universitas Indonesia, UKI, Universitas Triksakti, dan lainnya menolak revisi UU KPK dan pengesahan RUU KUHP di DPR RI, Senin (23/9/2019). [Suara.com/Novian Ardiansyah]



Semalam saya menulis tentang krisis. Untuk saya, apa yang terjadi selama beberapa minggu terakhir ini sudah memperlihatkan situasi yang kritis. Banyak orang mungkin tidak setuju.

Saya melihat bahwa tidak ada sense of crisis dari para elit Indonesia. Untuk mereka, semuanya adalah hal yang biasa. Another day of business as usual.

Hari ini saya mendengar 19 orang dibantai di wilayah Papua. 16 orang meninggal di Wamena. 3 orang di Jayapura. Protes di Wamena kabarnya dipicu oleh ucapan rasis seorang guru. Sementara di Jayapura, polisi dan militer menembaki mahasiswa Universitas Cendrawasih dan mahasiswa-mahasiswa eksodus (istilah untuk mahasiswa yang pulang dari berbagai universitas di Indonesia).

19 orang dibantai! Tidak ada orang menganggap ini sebagai persoalan. Mesin-mesin kekerasan terus menerus dimainkan di Papua. Disana, nyawa manusia memang tidak ada artinya.

Sementara bara di hutan-hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan masih membara. Siapapun tahu bahwa ini adalah kerjaan korporasi-korporasi yang hendak menanami lahan itu dengan sawit. Elit politik dan ekonomi Indonesia memang sedang mabuk sawit. Tidak ada sedikitpun kepedulian mereka terhadap ruang hidup rakyat kecil yang terampas karena keserahakan itu.

Dibalik dua krisis besar itu, ada juga krisis yang membuat sedikit optimis. Ini terjadi di front masyarakat sipil. Hari ini mahasiswa dan berbagai elemen gerakan rakyat turun ke jalan. Mereka memrotes DPR dan pemerintah atas berbagai macam krisis yang tidak tertangani ini. Namun yang menjadi perhatian utama mereka adalah krisis yang dipicu oleh para elit khususnya korupsi dan RUU KUHP.

Sekalipun berusaha digembosi dengan menyebarkan ketakutan dan larangan, demonstrasi di berbagai kota berjalan dengan damai. Para demonstran keluar dalam jumlah besar. Ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ada perlawanan terhadap kelancungan yang dilakukan oleh para elit di DPR dan di pemerintahan.

Banyak orang berusaha mengecilkan demo yang terjadi di banyak kota. Mereka mengingatkan bahwa demo ini akan disusupi partai dan kekuatan yang anti terhadap presiden Jokowi. Mereka menunjuk pada PKS dan HTI. Ada poster beredar bahwa demo-demo ini akan ditunggangi entah oleh siapa.

Bagaimana bisa? Demonstrasi-demonstrasi ini mengusung isu yang sama sekali tidak bisa didukung oleh PKS atau HTI. Secara ideologis PKS atau HTI tentu akan mendukung RUU KUHP, misalnya. Banyak dari pasal-pasal yang kontroversial itu didukung oleh sekutu-sekutu kekuatan politik ini. Masuk akalkah bila PKS berdemonstrasi menentang RUU KUHP yang sesungguhnya mereka idam-idamkan itu?

Yang juga ada dalam agenda adalah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Bagaimana mungkin kalangan PKS dan sejenisnya itu akan mau ikut mendukung pengesahan RUU ini?

Kalaupun toh para Islamis ini ingin bergabung karena mereka juga memiliki keprihatinan terhadap isu-isu korupsi, apa salahnya? Toh mereka warga negara juga bukan? Mengapa kita harus mendemonisasi sesama warga negara?

Namun toh ada orang yang menelan mentah-mentah propaganda bahwa demo ini disusupi agenda Islamis. Mereka yang sinis berusaha mempeyoratifkan #GejayanMemanggil menjadi #GejayanMenggigil. Kita tahu, sinisme adalah pertanda rasa frustasi dan ketidakrelaan menerima kenyataan yang ada.

Belum lagi kaum minoritas seperti golongan Katolik yang menelan bulat-bulat ketakutan-ketakutan yang disodorkan kepada mereka, yakni bahwa demonstrasi ini butuh martir! Pikiran kenthir ini diterima begitu saja oleh klerus, intelektual, dan aktivis Katolik.

Hingga malam ini, saya tidak melihat ada satupun korban #GejayanMemanggil ini. Yang justru saya lihat adalah sebuah toko buah menutup tokonya dan melempari para demonstran dengan buah yang seharusnya mereka jual. Ini dilakukan dengan gembira tentu saja!

Banyak orang tidak menyadari bahwa ketakutan sesungguhnya adalah sebuah strategi politik. Fearmongering atau penyebaran ketakutan adalah cara paling efektif untuk membuat orang takluk. Sementara itu, ketakutan sendiri adalah buah dari pesimisme melihat dunia. Ketakutan adalah kegagalan melihat Terang. Itulah yang ingin ditanamkan terus menerus oleh politisi-politisi dan para gedibalnya.

Lalu apa makna demonstrasi serentak yang marak di berbagai kota dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti ini?

Tidak banyak orang menyadari bahwa gerakan dan demonstrasi ini adalah gerakan dan demonstrasi yang terbesar yang pernah ada sejak Demo Besar 212 menjelang pemilih gubernur DKI Jakarta 2016.

Demo-demo ini mungkin kalah dari segi jumlah. Bisa dimaklumi. Tidak ada oligarkh lokal dan nasional yang berpartisipasi mengangkut massa dari daerah-daerah. Demo-demo ini terjadi spontan. Mobilisasi hanyalah seruan. Tanpa organisasi yang rapi yang melibatkan dukungan dari kekuatan uang dan kuasa di negeri ini.

Namun sekallipun sporadis ia terjadi dalam cakupan yang teramat luas. Dia terjadi di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Saya kira makin hari akan makin banyak kota dan makin banyak elemen mahasiswa dan gerakan rakyat yang akan turun ke jalan.

Yang menarik adalah bahwa isu yang diusung dalam demo-demo ini adalah isu yang sangat sipil. Demo-demo ini tidak mengusung isu identitas. Para demonstran keluar dengan isu-isu yang yang sangat penting untuk hidup bersama sebagai bangsa. Korupsi, kebebasan pribadi, hak atas tanah, upah yang adil untuk buruh, dan semacam itu adalah isu-isu yang menjadikan bangsa ini sebagai bangsa. Indonesia menjadi Indonesia yang sesungguhnya.

Selama beberapa tahun terakhir ini jalan-jalan kita hanya dipenuhi dengan demo-demo yang mengusung isu penegakan khilafah, syariat Islam, anti-LGBT, anti-Syiah, dan yang sejenis itu. Inilah untuk pertama kalinya sebuah aksi besar yang mengusung persoalan-persoalan riil bangsa ini.

Saya kira juga para demonstran tidak lagi terikat pada pembelahan ideologis Pilpres. Tidak ada lagi 01 atau 02. Tidak ada lagi Cebong atau Kampret. Pembelahan pilpres yang secara sosial amat merugikan itu terasa sangat ketinggalan jaman.

Mereka yang turun ke jalan kebanyakan adalah mereka yang lahir pada akhir tahun 1990an. Artinya mereka masih bayi saat Reformasi. Atau masih balita. Bahkan mungkin belum lahir. Anak-anak muda inilah yang akan menjadi penggerak bangsa ini di masa depan. Merekalah yang akan mengisi kepemimpinan di negara ini.

Anak-anak muda ini tidak terjebak pada sinisme. Mereka juga tidak terjebak pada rasa takut kaum dekaden. Mereka juga tidak berkalkulasi untuk mengamankan posisi politik mereka. Karakter mereka tidak jauh berbeda dengan karakter ‘pemoeda’ yang memerdekakan Indonesia.

Apa yang diusung mereka adalah patriotik dan nasionalis dalam makna yang sesungguh-sunguhnya. Anda tidak akan bisa menjadi nasionalis jika kesetiaan Anda hanya pada dukung mendukung satu politisi.

Jika Anda mencintai negeri ini dengan hati, bergabunglah! Lawanlah elit-elit bromocorah yang rakus itu. Bantulah anak-anak muda ini membuka pintu penjara lebar-lebar untuk mereka, memiskinkan mereka, menjadikan mereka manusia nista!

Bantulah anak-anak muda ini memberi kebebasan untuk Indonesia. Sebab negeri ini hanya akan bisa tetap eksis bila ada kebebasan. Bantulah mereka untuk tidak menjadi munafik karena dipaksa-paksa untuk menjadi moralis.

Bantulah mereka menjadikan Indonesia ini lebih baik, bermartabat, dan menghormati serta mencintai setiap individu yang hidup di dalamnya.

Penulis: Made Supriatma



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Penulis Rahadih Gedoan
Follow:
Jurnalis, Instruktur Akting, Pelatih Teater, Sastrawan, Ketua Dewan Kesenian Kota Manado.
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com