ZONAUTARA.COM – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi sorotan. Yang disoal adalah Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) yang menjadikan ganja sebagai tanaman obat di bawah binaan Direktorat Jenderal Holtikultura Kementan.
Ganja, bersama tanaman lain seperti brotowali, lempuyang, sambiloto, dan kratom ada dalam daftar 66 jenis tanaman yang dianggap obat sehingga perlu menjadi binaan Kementerian Pertanian.
Banyak yang mendukung, tetapi banyak pula yang memprotes. Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang termasuk pihak yang mempertanyakan keputusan Limpo itu.
“Belum ada ketentuan (hukum) di Indonesia yang melegalkan ganja atau tanaman ganja sebagai obat,” kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Krisno Siregar dikutip dari detikcom, Sabtu kemarin.
Krisno mengatakan Polri taat pada aturan hukum yang berlaku soal ganja, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dia juga berpendapat keputusan menteri itu bertentangan dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Polri sebagai salah satu instansi penegak hukum yang diamanatkan sebagai penyidik Tipidnarkotika tentunya taat kepada ketentuan tersebut. Kepmentan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujar Krisno.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jelas Krisno, ganja dan hasil turunannya hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan. Krisno menuturkan ganja dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan.
Baca pula: Dulu ganja bukan barang terlarang
“Karena ganja dan hasil turunannya termasuk dalam golongan I, yang hanya diperkenankan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan. Bukan untuk kepentingan kesehatan,” tegas Krisno.
Batal
Usai disorot, Limpo kemudian membatalkan keputusannya soal ganja sebagai tanaman obat binaan itu.
“Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait (BNN, Kemenkes, LIPI),” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha seperti dilansir situs Kementan, Sabtu (29/8/2020) kemarin.
Kementan lalu menerangkan ganja adalah jenis tanaman psikotropika yang selama ini masuk dalam kelompok tanaman obat sejak 2006. Hal itu berdasarkan Kepmentan 511/2006.
Kala itu pembinaan yang dilakukan adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu.
“Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan/atau ilmu pengetahuan, dan secara legal oleh UU Narkotika,” jelas Tommy.
Tommy mengatakan pada prinsipnya Kementan mengizinkan usaha budi daya pada tanaman sebagaimana dimaksud pada Kepmentan 104/2020. Kendati dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
“Komitmen Mentan dalam hal ini di antaranya memastikan pegawai Kementan bebas narkoba serta secara aktif melakukan edukasi bersama BNN (Badan Narkotika Nasional) terkait pengalihan ke pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, pada daerah-daerah yang selama ini menjadi wilayah penanaman ganja secara ilegal,” terang Tommy.
BNN ingatkan Limpo
Senada dengan Polri, BNN mengingatkan dalam Undang-Undang Narkotika, ganja dilarang ditanam. BNN menilai Kepmen tersebut harus segera dianulir.
“Yang jelas itu bertentangan dengan UU di atasnya, yaitu UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Karena ganja masuk golongan narkotika yang mana akar, batang, bunga, daun, minyak, dan turunannya dilarang untuk ditanam, diperdagangkan, digunakan kepentingan rekreasional dan medis. Artinya, keputusan Mentan tersebut, khusus menyangkut ganja, harus dianulir. Kita tunggu saja apa tindakan dari Mentan,” tutur Karo Humas BNN Brigjen Sulistyo Pudjo sebelum Limpo mencabut keputusannya.
Pudjo lalu menerangkan selama ini Kementan satu pemikiran dengan BNN dalam hal menyikapi persoalan ganja. Bahkan antara BNN dan Kementan memiliki kerja sama program penanaman ulang ladang ganja yang dimusnahkan, untuk kemudian ditanami bibit-bibit tanaman legal, seperti jagung, kopi, dan sejenisnya.
“Pada Senin (23/8) lalu, tiga orang dari Ditjen Hortikultura, Kebun, dan Tanaman Keras rapat di BNN. Mereka hadir dan siap support replanting ladang ganja dan kratom dengan program dan bibit tanaman produktif. BNN positive thinking dan Kepmentan tidak bisa bertentangan dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” terang dia.
66 jenis tanaman obat
Kepmentan tersebut semula dipublikasikan di laman resmi Kementan. Kementerian Pertanian memasukkan ganja (Cannabis sativa) sebagai salah satu komoditas tanaman obat.
Ketetapan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sejak 3 Februari.
“Komoditas binaan dan produk turunannya dibina oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,” bunyi Kepmentan yang diunggah di laman resminya, Sabtu (29/8/2020).
Berdasarkan Kepmen tersebut, ganja termasuk dalam jenis tanaman obat di bawah binaan Direktorat Jenderal Holtikultura Kementan. Total ada 66 jenis tanaman obat lain termasuk di antaranya brotowali, lempuyang, sambiloto, dan kratom.
Lampiran tersebut juga memuat jenis tanaman dan hewan ternak yang masuk komoditas binaan Kementerian Pertanian.
Untuk jenis buah-buahan sebanyak 60 jenis, sayuran 42 jenis, dan terbanyak tanaman hias berjumlah 361 jenis.