Ini adalah bagian keenam dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Mereka bersekolah di Long Isun, kampung di tepi sungai
Ati Bachtiar begitu asyik merekam semua moment yang dihadirkan Tipung Ping (66) dan suaminya Amai Ding (72) di pondok mereka di ladang Meraseh. Ati adalah fotografer wanita yang nekat menghadapi berbagai rintangan untuk sampai di kampung Long Isun, salah satu kampung tempat bermukimnya sub suku Dayak Bahau Busang.
Sebelumnya dia telah melakukan riset selama 2 tahun guna mewujudkan keinginannya mendokumentasikan keberadaan perempuan telinga panjang, demi sebuah buku yang kini telah terbit dengan judul “Telinga Panjang, Mengungkap Yang Tersembunyi”.
Percakapan mereka siang itu di pondok terhenti saat Jaang, cucu Tipung Ping dan Amai Ding terbangun. Jaang beralih ke pangkuan neneknya. Sementara dia memperhatikan kakeknya menyiapkan sirih untuk dikunyah, jemarinya yang kecil itu bermain di hisang yang mengantung di cuping kuping Tipung Ping yang memanjang melewati bahu.
Tipung Ping punya 23 pasang hisang yang hingga kini tergantung di lubang cupingnya. Beberapa minggu setelah Tipung lahir cuping kupingnya dilubangi dengan bilah bambu. Ranting kayu kecil dimasukan dalam lubang cuping itu agar tidak menutup. Seiring bertambah usia, ranting kayu itu akan diganti dengan ukuran yang lebih besar, agar lubang cuping ikut membesar.
Saat mendekati remaja, anting dari tembaga yang berbentuk bulat digantung di lubang cuping itu. Dalam bahasa Dayak Bahau anting itu disebut hisang. Saban tahun, hisang ditambahkan dengan maksud menambah berat beban di lubang cuping. Kuping Tipung pun tertarik memanjang.
Di Dayak Kenyah Umaaq Bakung, proses yang hampir mirip juga dilakukan pada perempuan dari golongan bangsawan. Setelah dilubangi, kedua lubang cuping itu diikat dengan benang dan dihubungkan satu sama lain dengan cara ditarik agar lubang membesar. Belaung (sebutan hisang untuk Dayak Kenyah) digantung saat bayi bertambah usia.
Tipung Ping yang tinggal di Datah Suling Long Isun tidak sendiri. Dia berkarib sangat dekat dengan Yeq Lawing (67). Kedua sahabat ini kemana-mana selalu berdua, kecuali kalau ke ladang, karena lokasinya yang berbeda. Yeq Lawing punya 40an pasang hisang.
“Saya dipasangkan hisang sejak umur 3 tahun, dan sampai sekarang tetap pakai,” cerita Yeq Lawing.
Di Long Isun sendiri selain mereka berdua ada pula Hong Son (80), Mebang Jenau (90), dan Telen Isun (70). Dua yang disebutkan terakhir sudah tidak mengenakan hisang, walau cuping kuping mereka masih berlubang panjang.
Ati Bachtiar sendiri dalam bukunya tersebut menyajikan setidaknya 43 perempuan Dayak yang berkuping panjang. Para pewaris tradisi leluhur ini ditemuinya di berbagai tempat dari Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Barat hingga Mahakam Ulu.
Tak ada angka yang pasti jumlah terakhir perempuan Dayak yang masih mempertahankan tradisi kuping panjang ini. Beberapa perkiraan menyebutkan di seantero Kalimantan para perempuan kuping panjang tidak sampai angka 100. Walaupun Suku Dayak punya ratusan sub suku, namun tidak semuanya punya tradisi memanjangkan kuping.
Tercatat tradisi warisan para leluhur ini hanya bisa dijumpai di sub suku Dayak Bahau, Aoheng, Penihing, Kenyah, Penan, Kelabit, Sa’Ban, Kayaan, Taman dan Punan. Rata-rata usia mereka di atas 60 tahun. Beberapa diantara perempuan kuping panjang di Mahakam Ulu bahkan mendekati usia 100 tahun.
Dulu, tradisi memanjangkan kuping bukan hanya dilakukan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki. Di Dayak Kayaan, kuping yang panjang bagi laki-laki menunjukkan status kebangsawanan. Namun, beberapa inai (sapaan bagi perempuan tua) di Bahau, cuping kuping panjang juga menyimbolkan kecantikan pemiliknya.
Cuping yang dipanjangkan juga menjadi identitas usia. Sebab, ada tuturan yang menyebutkan bahwa kala dulu, hisang ditambahkan pemiliknya seiring bertambah usia. Dan itu merupakan sebuah ujian, karena semakin lama semakin berat.
Perempuan yang berkuping panjang dianggap sebagai perempuan yang memiliki kesabaran tinggi dan sanggup melewati penderitaan yang panjang. Sebab, hampir semua yang kupingnya dibuat panjang, selalu disertai dengan rajah (tato) baik di tangan maupun di kaki.
Doq Lun, (70), punya 30 pasang hisang yang terbuat dari tembaga. Sementara Paing Buaq (85) juga punya 20 pasang hisang. Keduanya merupakan sub suku Dayak Long Glaat yang tinggal di Long Pahangai. Baik Doq maupun Paing mengekspresikan kebanggaan mereka yang tetap berhisang di usia tua. Bagi kedua inai yang sudah pernah ke Eropa ini, kuping panjang, hisang dan tato adalah bagian jati diri mereka sebagai orang Dayak.
“Ini adalah warisan leluhur kami. Kami tak mau potong, walau ada yang menganjurkan untuk dipotong. Kalau mau dipotong, tato ini juga harus dihilangkan,” tegas Paing.
Apa yang diungkapkan oleh Paing adalah sebuah keprihatinan. Sebab di beberapa tempat, banyak perempuan Dayak yang dulunya berkuping panjang, kini kuping mereka telah normal. Banyak yang telah memotongnya.
Salah satunya adalah Imuq, (74), inai di Long Isun. Dulu cuping kupingnya berhisang, tetapi karena waktu itu ada anjuran untuk dipotong, dia mengikuti anjuran tersebut. Padahal Imuq, tidak hanya berkuping panjang, bahkan payudaranya pun dipakaikan gelang dan kulit tangan serta kakinya bertato.
Keprihatinan yang sama dialamatkan ke generasi Dayak saat ini. Nyaris tak ada lagi yang ingin memanjangkan cuping kuping mereka. Selama perjalanan saya di pedalaman Mahakam Ulu, tak ada perempuan muda yang ditemui kupingnya panjang. Bahkan pada anak dan cucu dari para inai yang saat ini masih berkuping panjang.
Berbagai alasan diutarakan genarasi kini yang tidak lagi memilih berkuping panjang. Alasan yang paling utama adalah rasa malu. Mungkin peradaban modern yang merangsek hingga ke pedalaman, menjadi penyebab utama generasi Dayak masa kini memilih tidak meneruskan tradisi unik ini.
“Itulah sebabnya, saya ingin mendokumentasikan keberadaan Telinga Panjang dalam sebuah buku, sebelum salah satu kekayaan Nusantara yang unik ini, benar-benar punah,” ujar Ati Bachtiar memberi alasan bagi project bukunya.
Memang di Pampang, kampung budaya di Samarinda, bisa ditemui beberapa perempuan muda serta beberapa laki-laki memanjangkan kuping mereka. Tetapi di Pampang yang sudah menjadi destinasi utama dan menarik restribusi setiap pejalan yang ingin memotret, motivasi penerus tradisi ini patut ditelusuri. Sebab, di pedalaman yang semestinya tradisi itu mengakar, justru generasi mereka sekarang tak lagi menginginkannya.
Dari pernikahannya dengan Amai Ding, Tipung Ping dikarunia 7 orang anak dan 9 cucu. Tidak ada satu pun dari turunannya itu yang berniat memanjangkan telinga.
Sambil mengunyah sirih, Tipung Ping mengungkapkan kegundahannya, siapa yang akan meneruskan simbol keagungan identitas mereka sebagai orang Dayak itu. Sama halnya dengan Yeq Lawing, wajahnya menyiratkan kepasrahan saat mengalimatkan alasan anak-anaknya tidak lagi mau memanjangkan telinga.
“Sudah ketinggalan jaman mereka bilang, malu. Ya sedih, karena tidak ada generasi penerusnya,” ujar Yeq Lawing.
Akankah warisan budaya yang agung di Nusantara ini akan berlalu dan menemui takdir pupusnya?
Bersambung ….
Baca pula:
Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan
Bagian 5: Mereka Bersekolah Di Long Isun, Kampung Di Tepi Sungai