Oleh: Reza D. Tohis
Moderasi beragama telah menjadi trend dalam dinamika kehidupan beragama. Salah satu pemicunya adalah adanya sikap dari kelompok-kelompok agama tertentu yang cenderung pada kekerasan. Berikut respons dari berbagai kalangan, termasuk kalangan akademik, terhadap sikap tersebut. Dari situ moderasi beragama menjadi wacana pengetahuan yang berkembang, khususnya di Indonesia.
Sebagai sebuah pengetahuan, moderasi beragama perlu dibaca dengan kerangka filsafat ilmu. Pembacaan ini sangat diperlukan, terutama bagi kalangan akademik, agar supaya posisi konsep moderasi beragama bisa terpahami dengan jelas. Kemudian, filsafat ilmu bisa memberikan kontribusinya dalam konsep tersebut. Kontribusi filsafat ilmu itulah yang akan ditunjukan dalam tulisan ini dengan judul Filsafat Ilmu dan Moderasi Beragama.
Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu (The Philosophy of Science) adalah penyelidikan filosofis terhadap ilmu pengetahuan_atau pengetahuan ilmiah.(1) Penyelidikan filosofis berarti pemikiran reflektif. Sehingganya filsafat ilmu juga bisa dipahami sebagai pemikiran reflektif mengenai landasan setiap ilmu pengetahuan, serta hubungannya dengan segala segi kehidupan manusia.(2)
Berdasarkan definisi tersebut bisa ditegaskan bahwa ruang lingkup kajian filsafat ilmu meliputi ilmu alam, ilmu sosial, ilmu humaniora, ilmu agama, dan ilmu serta pengetahuan lainnya yang mungkin ada_sejauh pengetahuan itu berlandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dalam konteks ini, sebagaimana sudah disebutkan di atas, kajian filsafat ilmu lebih difokuskan pada aspek-aspek fundamen yang memungkinkan keberadaan ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam The Philosophy of Science, Jerome R. Raverts menunjukan bahwa aspek-aspek tersebut, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.(3)
Ontologi adalah teori tentang ada (being), yakni tetantang ke-ber-ada-an segala sesuatu baik yang bersifat fisik maupun metafisik. Kemudian epistemologi adalah teori tentang pengetahuan (knowledge), yakni kajian tentang sumber, metode, dan validasi pengetahuan. Selanjutnya aksiologi adalah teori tentang nilai (value), yakni kajian tentang benar-salahnya (logika) baik-tidak baiknya (etika), atau indah-tidak indahnya (estetika) hasil dari ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan manusia.(4) Dari sini bisa dimengerti bahwa ketiga aspek filsafat ilmu ini saling berhubungan satu sama lainnya meskipun terdapat kajian yang lebih fokus pada salah satu dari ketiganya, yang bisa digambarkan seperti berikut ini:
Gambar tersebut menunjukan bahwa hubungan antar aspek filsafat ilmu berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap pertama (1-2), ontologi melandasi epistemologi, berikut epistemologi melandasi aksiologi. Dengan kata lain being memungkinkan keberadaan knowledge, kemudian knowledge memungkinkan keberadaan value. Dengan begini bisa dipahami bahwa kaitan antar aspek-aspek filsafat ilmu bersifat syaratual. Hanya jika ada ontologi maka ada epistemologi, selanjutnya hanya bila ada epistemologi maka ada aksiologi.
Ketika syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi baru kemudian hubungan pada tahap kedua (A-B) bisa diterpahami yakni antara aksiologi dan ontologi, berikut ontologi dan aksiologi (melalui epistemologi) bisa terpahami. Proses hubungannya adalah aksiologi akan menentukan kembali landasan ontologinya, kemudian dari situlah langkah-langkah untuk pengembangan terhadap epistemologi berikut aksiologi bisa terbaca dan dilaksanakan. Persis pada tahap kedua inilah filsafat ilmu langsung berhubungan, bahkan berkontribusi, dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Secara keseluruhan posisinya bisa digambarkan seperti berikut ini:
Berdasarkan eksplanasi di atas menjadi jelas bahwa filsafat ilmu memiliki polanya sendiri, atau cara kerjanya sendiri. Dengan cara kerjanya itulah, filsafat ilmu berkontribusi dalam segala segi kehidupan manusia, termasuk dalam moderasi beragama.
Defnisi dan Prinsip Dasar Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah sikap beragama yang seimbang antara pengalaman agama sendiri (exclusive) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inclusive).(5) Definisi ini didasarkan pada arti kata moderasi dari bahasa latin, moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan).(6) Dalam bahasa Arab moderasi disebut dengan kata wasath atau wasathiyah yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).(7)
Di samping didasarkan pada arti kata tersebut, moderasi beragama juga didasarkan pada ajaran masing-masing agama yang terdapat di dalam kiab sucinya. Dalam konteks Indonesia, kuhususnya dalam ajaran Islam, meoderasi beragama berpijak pada nilai keadilan antar manusia. Nilai ini didasarkan pada ajaran mengenai penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berarti mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan. Dengan begitu manusia, mestinya, tidak menghamba kepada yang lain dan diperhambakan oleh yang lain.(8) Dasar dari ajaran ini tercerminkan dalam salah satu firman Allah yakni:
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, yang maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak sesuatu yang setara dengan Dia” (Qs. Al-Ikhlas, 1-4).
Ajaran tersebut kemudian terkristalisasi dalam ajaran wasathiyah Islam yang memiliki tiga makna yakni tengah-tengah, adil, dan yang terbaik. Ketiganya berkait-kelindan dan membentuk arti fundamen dari whasatiyah itu sendiri, yaitu sesuatu yang baik dan berada di antara dua kutub ekstrem lawan utama moderasi beragama.(9) Ajaran ini dilandaskan, salah satunya, pada ayat:
“Dan demikian pula kami telah menjadikanmu ‘umat pertengahan’agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Qs. Al-Baqarah, 143).
Juga pada hadis Nabi: “Sebaik-baiknya urusan adalah jalan tengah”.(10)
Dengan demikian bisa ditegaskan bahwa ajaran wasathiyah merupakan paradigma utama umat Islam Indonesia dalam ber-moderasi agama. Itulah sebabnya dalam berbagai kajian, whasatiyah Islam sering disebut sebagai the middle way of Islam. Dengan begitu, Islam berfungsi memediasi dan sebagai penyeimbang.(11) Dari sini, sudah bisa dilihat sekaligus bisa ditegaskan bahwa prinsip utama dalam moderasi beragama adalah keadilan dan keseimbangan.(12)
Prinsip keadilan dan keseimbangan tidak hanya terdapat dalam ajaran Islam, melainkan dalam ajaran agama-agama lain di Indonesia. Mislanya ajaran agama Kristen yang dalam kitab sucinya tercerminkan melalui kisah Yesus sebagai juru damai. Begitu juga dalam tradisi Hindu yang tercerminkan dalam ajaran Susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan harmonis antar sesama manusia. Dalam tradisi Buddha tercerminkan dalam ajaran Metta, yakni berpegang teguh pada cinta kasih tanpa pilih kasih yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan (toleransi, solidaritas, kesetaraan dan anti kekerasan). Sedangkan dalam tradisi Khonghucu tercerminkan dalam filosofi Yin-Yang, yakni sikap tengah dan keseimbangan.(13)
Melalui penjelasan tersebut, maka menjadi jelas bahwa moderasi beragama sudah terkandung dalam setiap ajaran agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian moderasi beragama menjadi keharusan dalam keberlangsungan kehidupan, khususnya kehidupan beragama, masyarakat Indonesia yang dikenal multikultural.
Kontribusi Filsafat Ilmu dalam Moderasi Beragama
Berdasarkan penjelasan di atas, kontribusi filsafat ilmu dalam moderasi beragama sudah bisa diformulasikan. Kontribusi pertamanya adalah identifikasi posisi ontologi, epsitemologi, dan aksiologi dari konsep moderasi beragama. Caranya, pertama-tama, mendudukan kedua konsep tersebut pada posisi yang sebanding. Hal ini dilakuakan melalui pertayaan bahwa atas dasar apa filsafat ilmu bisa dihubungkan dengan moderasi beragama? Jawabanya adalah, sejauh moderasi beragama merupakan sebuah pengetahuan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, maka filsafat ilmu bisa dihubungkan dengan pengetahuan tersebut. Jawaban ini, konsisten dengan definisi filsafat ilmu dan prinsip metodologis.
Dari situ, kemudian, identifikasi atas aspek-aspek filsafat ilmu dalam moderasi beragama bisa dilakukan. Temuannya adalah, bahwa ontologi moderasi beragama terdiri dari dua komponen yakni fisik berupa realitas multikultural (khususnya di Indonesia) dan metafisik berupa keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hubungan antara kedua kompenen ini bisa terpahami lebih jelas bila menggunakan pendekatan ontologi realisme kritis.
Sementara epistemologi moderasi beragama terdiri dari tiga komponen yakni, komponen sumber pengetahuan berupa teks keagamaan sekaligus konteks realitasnya. Komponen motode perolehannya berupa motode abduksi induksi sekaligus deduksi, yang juga merupakan kategori logika. Komponen validasinya berupa korespondensi satu-satu. Sedangkan aksiologi moderasi beragama hanya terdiri dari satu komponen yaitu etika atau sikap berupa adil dan berimbang.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa hubungan ketiga aspek filsafat ilmu tersebut bersifat syaratual. Sehingganya syarat tersebut juga berlaku bagi moderasi beragama. Bentuknya menjadi seperti ini, bahwa hanya dengan kekuasaan adanya Tuhan Yang Maha Esa maka realitas multikulturalisme menjadi ada. Dengan adanya multikulturalisme maka ajaran-ajaran mengenai mengenai keadilan dan keseimbangan menjadi ada di dalam kitab suci agama-agama yang kemudian menjadi sumber ajaran bagi setiap agama. Dengan demikian, berdasarkan ajaran tersebut, maka lahirlah sikap adil dan berimbang yang menjadi prinsip utama moderasi beragama.
Ketika syarat tersebut terpenuhi maka sikap moderasi beragama (pada level aksiologisnya), bisa menentukan pola praktik beragama masyarakat multikultural (pada level ontologisnya), misalnya melalui regulasi negara dan juga lembaga-lembaga terkait. Dari situ pula konsep moderasi beragama bisa dikembangakan lagi (pada level epistemologi berikut aksiologinya) sesuai dengan dinamika kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Inilah kontribusi pertama filsafat ilmu dalam moderasi beragama. Penalaran ini juga menguatakan argumentasi tentang pilar beragama yakni moderasi dalam gerakan (ontologi), moderasi dalam pemikiran (epistemologi), dan moderasi tradisi dan praktik (aksiologi).
Kontribusi pertama tersebut, melahirkan kontribusi kedua yaitu, dengan teridentifikasinya aspek-aspek filsafat ilmu dalam konsep moderasi beragama, maka moderasi beragama berpotensi memiliki status keilmuannya. Atas dasar itu pula bisa dirumuskan sebuah Filsafat Ilmu Moderasi Beragama. Inilah kontribusi ketiga filsafat ilmu dalam moderasi beragama.
Penutup
Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan bahwa filsafat ilmu dan moderasi beagama memiliki hubungan yang bersifat laten. Dari hubungan itu, filsafat ilmu memiliki kontribusi terhadap moderasi beragama yaitu, mengidentifikasi posisi ontologi, epistemologi, dan aksiologi moderasi beragama, kemudian memberikan pontensi status keilmuan bagi moderasi beragama, dan kemungkinan untuk merumuskan filsafat ilmu moderasi beragama.
(1) Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2003), 44.
(2) The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2010), 61.
(3) Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford: Oxford University Press, 1982).
(4) Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008).
(5) Kementrian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: BALITBANG & Diklat KEMENAG RI, 2019), 18.
(6) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 15.
(7) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 16.
(8) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 23.
(9) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 24-25.
(10) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 27.
(11) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 26.
(12) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 19-22.
(13) Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 29-37.
DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Simon. The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University Press.2008.
Gie, Liang The. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. 2010.
Kementrian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: BALITBANG & Diklat KEMENAG RI. 2019.
Ravertz, R. Jerome. The Philosophy of Science. Oxford: Oxford University Press. 1982.
Tim Dosen Filsafat UGM. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. 2003.