Manado, ZONAUTARA.com – Pandemi Covid-19 mengubah sejumlah kebiasaan. Pemerintah kemudian membuat berbagai kebijakan sebagai upaya menekan penyebaran virus ini. Salah satunya adalah proses perkuliahan secara dalam jaringan (daring), menggantikan kuliah tatap muka.
Seberapa efektifkah kuliah daring ini menurut para mahasiswa?
Olmi, mahasiswi Program Studi Tekhnik Lingkungan, Universitas Teknologi Sulawesi Utara (UTSU) Manado mempunyai cerita terkait ini.
Dia menuturkan, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan perjalanan, hingga pemberlakukan pembelajaran daring, dia memutuskan untuk tidak pulang kampung. Hal itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan.
“Ketika pulang, saya tidak tahu kapan bisa balik. Dan juga pasti ketika saya di kampung saya tidak akan bisa mengikuti kuliah daring dengan baik dikarenakan jaringan yang tidak bagus,” jelas Olmi.
Olmi mengatakan, sampai saat ini bantuan berupa paket kuota belajar dari kampus belum ada, namun bantuan-bantuan yang lain untuk mahasiswa yang terdampak Covid-19 seperti sembako sudah dibagikan. Terutama kepada mahasiswa yang tidak pulang ke kampung.
“Saya sudah menerima bantuan berupa sembako, namun sampai sekarang paket kuota belajar belum ada. Kemarin sempat dimintai data untuk diberikan kuota belajar, namun sampai saat ini kuota tersebut belum diterima,” ungkap Olmi yang berasal dari Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.
Mahasiswa semester V ini mengatakan, pembelajaran daring ini ada kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya bisa mengurangi biaya transportasi, dan juga waktu kuliah jadi lebih singkat. Sedangkan kekurangannya adalah cepat habis kuota, dan ada materi-materi yang belum dipahami.
“Ketika ada materi yang tidak dipahami dan ditanyakan lewat chat kepada dosen masih kurang efektif, karena cara penjelasan dan membalas chat cukup lama,” ujarnya.
Kuliah daring, mau tidak mau harus dijalani
Pengalaman kuliah daring juga disampaikan Mineshia Lesawengen, mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Unsrat Manado. Menurutnya, situasi yang memaksa keluarnya kebijakan kuliah daring, dan itu harus dijalani.
“Siapa pun tidak menginginkan adanya pandemi saat ini, jadi mau tidak mau kita jalani dengan enjoy saja,” ujar Neshia, sapaan akrabnya, Kamis (8/10/2020).
Namun dalam proses belajar daring, akses internet menjadi kendala utama. Apalagi tidak semua mahasiswa berada di kota yang memiliki jaringan yang memadai.
“Ada beberapa teman saya yang berada di pedesaan, mereka harus mencari tempat untuk mendapatkan jaringan,” beber Neshia, sapaan akrabnya.
Beruntung di masa pandemi ini, mereka mendapat bantuan pulsa data internet dari pihak kampus. Baru-baru ini, Kemendikbud RI memberikan kuota 53 GB untuk mendukung proses belajar daring.
“Kalau bicara efektivitas selama belajar daring ini, sekarang masih dalam masa transisi, dan masih ada proses penyesuaian baik dari tenaga pendidik maupun mahasiswa,” tuturnya.
Neshia mengatakan, kuliah daring ternyata belum efektif karena kondisi di setiap daerah masih belum maksimal dan itu yang menjadi kendala utamanya.
“Dan masih ada juga tenaga pendidik yang belum menguasai teknologi dan sistem- sistem di website yang masih belum dipahami,” katanya.
Dia juga bersyukur, di masa pandemi Covid-19 ini pihak kampus juga memberikan keringanan dalam pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Yaitu dengan mendapatkan potongan atau diberikan angsuran dalam membayar biaya kuliah. Dia berharap, pandemi ini akan segera berakhir, walaupun tidak tahu kapan.
“Tetapi setidaknya dari pemerintah maupun pihak lainnya kiranya bisa mendapatkan vaksin, sehingga kita bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala,” tandas Neshia.
Penulis: Ardiansyah Mustafa/Mikhael Labaro