Tondano, ZONAUTARA.com – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Minahasa dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano mengadakan diskusi, Jumat (26/2/2021), di Asrama Bogani, Minahasa, Sulut.
Diskusi tersebut mengangkat tema “Pancasila Dalam Perspektif Gereja Katolik”, yang menghadirkan Pengurus Pusat (PP) Presidium Hubungan Perguruan Tinggi (PHPT) PMKRI, Damianus G Ohoiwutun.
Dalam paparannya, Ohoiwutun menerangkan pandangan gereja Katolik terkait Pancasila. Pada sila pertama, mengungkapkan kesadaran dan cita-cita para pendiri republik bahwa orang-orang Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang percaya kepada Yang Ilahi.
“Sebagai orang beriman, kita pantas bersyukur bahwa para pendiri republik kita bersikap demikian. Yang Ilahi itu nyatanya memang ada. Ia maha berkuasa dan maha murah,” kata Ohoiwutun.
Pada sila kedua dalam Pancasila menjelaskan bahwa setiap orang di seluruh dunia memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia dan memiliki kewajiban untuk memperlakukan orang-orang lain sebagai manusia pula. Gereja Katolik berkeyakinan bahwa setiap orang adalah citra Allah, yang memiliki martabat yang sedemikian luhur, sehingga ia tidak pernah boleh diperlakukan secara inhuman (tidak manusiawi).
“Tentu saja, gereja Katolik sebaiknya juga mendukung usaha-usaha berbagai kelompok masyarakat yang ingin menyempurnakan rumusan-rumusan tentang hak-hak asasi manusia maupun penyesuaian berbagai perundangan-undangan internasional dengan hak-hak asasi,” papar Gerenz sapaan akrabnya ini.
Untuk sila ketiga Pancasila, yakni persatuan atau kebangsaan, mengungkapkan kesadaran dan cita-cita para pendiri Republik Indonesia bahwa orang-orang yang lahir atau menetap di Nusantara ini perlu dan layak menjadi satu bangsa saja, meskipun mereka berasal dari suku yang berbeda-beda.
“Gereja Katolik Indonesia pantas bersyukur bahwa para pendiri republik Indonesia menyadari pentingnya kesatuan seluruh masyarakat yang tinggal di Nusantara ini dan mencita-citakan kesatuan yang sejati dan lestari,” sebut Gerenz.
Ia menjelaskan lanjut, dalam makna sila keempat kerakyatan bahwa kedaulatan untuk mengatur bangsa Indonesia ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa. Pemerintah adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya. Karena itu, merasa prihatin, bahwa para penguasa di Indonesia sering kali lebih minta dilayani dari pada melayani rakyat. Bahkan, para wakil rakyat sendiri pun sering kali memperdaya rakyat, bukan memberdayakan rakyat.
“Gereja katolik pantas bersyukur atas adanya kesadaran dan cita-cita luhur tersebut. Melalui dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja, pimpinan gereja Katolik selalu menegaskan bahwa keluarga ada lebih dahulu dari pada masyarakat dan masyarakat ada lebih dahulu dari pada negara dan pemerintah,” ujar mantan Ketua Presidium PMKRI Cabang Tual periode 2016-2018 ini.
Untuk kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa bangsa yang hidup di Nusantara ini hanya dapat sejahtera bila ditegakkan keadilan sosial, keadilan yang menyangkut kepentingan publik. Sebagai umat beriman, gereja Katolik layak bersyukur bahwa para pendiri republik Indonesia menyadari pentingnya keadilan sosial bagi seluruh bangsa dan bercita-cita untuk mencapainya.
Dalam masyarakat, apalagi yang menghimpun sangat banyak orang, diperlukan adanya keadilan antara individu dan individu, antara individu dan masyarakat, antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat yang lain, antara negara dan warga negara, antara pemerintah dan rakyat.
“Salah satu aspek penting dari keadilan sosial adalah “keadilan distributif”. Artinya, keadilan dalam pembagian. Negara dan pemerintah Indonesia wajib membagi secara adil hal-hal pokok yang perlu untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Gerenz.
Terkait diskusi ini, Ketua PMII Minahasa, Opsar Damodalag mengatakan, Pancasila merupakan bagian dari aktivitas keseharian dalam bersosial, budaya, agama dan keberagaman.
“Dari diskusi yang sudah diadakan terkait pandangan gereja Katolik terhadap Pancasila merupakan satu sumber kita mengetahui sejauh mana gereja Katolik mengartikan Pancasila yang merupakan dasar Negara,” ujarnya.
Menurut Damodalag, diskusi ini menarik bagi PMII Minahasa yang sering belajar soal analisa salah satunya Pancasila dari pandangan lain.
“Semoga ini merupakan langkah awal pembicaraan lagi tentang identitas nasional kita,” pungkasnya.
Senada dengan Damodalag, Ketua PMKRI Tondano Richard Fangohoi menyambut baik diskusi yang sederhana tetapi memiliki nilai ini.
“Saya pikir, lumrah Pancasila seharusnya perlu diketahui warga negara, terlebih diulas dari perspektif gereja Katolik bagi teman-teman yang lain,” katanya.
Fangohoi menambahkan, hal tersebut juga merupakan komitmen PMKRI untuk menjaga dan merawat nilai-nilai Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara.
“Ini awal yang baik bagi kami agar makna Pancasila dapat diimplementasikan di lingkungan masyarakat dan dunia kampus, serta menjadi pemersatu dalam perbedaan” tutupnya.
Diskusi ini semakin mengalir ketika para anggota PMII maupun PMKRI menanyakan lebih lanjut mengenai pandangan gereja Katolik mengenai Pancasila belakangan ini. Diketahui, diskusi ini dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. (*)