ZONAUTARA.com – Penghormatan yang tinggi diberikan oleh TNI Angkatan Laut (TNI-AL) atas gugurnya 53 prajurit TNI dalam insiden tenggelamnya KRI Nanggala-402.
Mulai pagi ini, jajaran TNI AL akan mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghormati gugurnya 53 prajurit mereka. Pengibaran bendera setengah tiang itu akan dilakukan selama seminggu.
KRI Nanggala-402 mengalami insiden tenggelam, setelah sebelumnya hilang kontak saat latihan penembakan torpedo di perairan Bali pada Rabu (21/4/2021) pekan lalu.
Setelah dilakukan upaya pencarian, hasil foto dari bawah air memperlihatkan badan kapal selam KRI Nanggala-402 terbelah tiga.
Banyak kisah yang menyertai sejarah perjalanan salah satu kapal selam yang dimiliki oleh Indonesia tersebut.
Disadur dari artikel yang ada di Detik.com, setidaknya KRI Nanggala-402 terlibat dalam dua misi penting pertahanan Indonesia.
Kapal selam KRI Nanggala 402Â yang bergabung ke TNI-AL sejak 1981 telah menjalankan banyak misi untuk menjaga kedaulatan NKRI. Kapal itu pernah menjalankan misi intelijen di Timor Timur untuk melacak pergerakan pasukan Interfet (International Force for East Timor), Agustus – Oktober 1999. Juga dikirim ke perbatasan Filipina untuk melacak jaringan penyelundupan senjata dalam konflik di Ambon dan Poso, 1998-2000.
Laksamana Muda (Purn) Frans Wuwung yang pernah menjadi Direktur Intelijen Angkatan Laut menyebut kehadiran Nanggala 402 bersama KRI Cakra 401 di perairan Timor Timur kala itu membuat Australia mengurungkan niatnya untuk bertindak macam-macam terhadap RI. Pasca jajak pendapat, Australia memimpin pasukan Interfet di bawah bendera PBB.
“Äda banyak kekuatan waktu itu yang mau masuk selain Australia. Tapi kemudian mereka ragu karena ada Nanggala di sana. Itu namanya efek deteren,” kata Frans Wuwung kepada tim Blak-blakan detikcom, Sabtu (24/4/2021).
Kepada The Telegraph edisi 23 Juni 2001, David Dickens, Direktur Pusat Studi Strategis di Universitas Victoria, Wellington – Selandia Baru, pernah mengungkapkan lebih gamblang soal rencana aksi Australia terhadap Indonesia. Tapi rencana itu urung dilakukan karena gangguan dua kapal selam Indonesia. Manuver keduanya membuat ciut sebab bisa muncul di sekitar kapal-kapal Interfet di Perairan Timor lalu menghilang tanpa jejak.
“Suatu waktu tiba-tiba kapal selam itu menghilang dari pantauan yang menyebabkan pesawat pemburu serta kapal perang Interfet kelimpungan melacaknya,” kata Dicken mengutip perkataan Admiral Peter McHaffie, Kepala Staf AL Selandia Baru.
Khusus operasi intelijen ke perbatasan Filipina, kata Frans Wuwung, dilakukan untuk mengkonfirmasi informasi yang menyebutkan ada pasokan senjata dari Jenderal (Fidel) Ramos dalam konflik di Ambon dan Poso.
“Yang paling seru itu, ini banyak orang tidak tahu, kita pernah melaksanakan kegiatan intelijen ke perbatasan Filipina. Saya kebetulan ada di situ. Itu kan kita dapat informasi dalam konflik Ambon dan Poso ada pasokan senjata dari Jenderal (Fidel) Ramos,” kata Frans Wuwung yang pernah menjadi Kepala Kamar Mesin Nanggala 402.
Dari sejumlah pemberitaan yang dihimpun detikcom, ribuan senjata api dan amunisi dari Filipina itu digunakan oleh kedua kelompok yang bertikai. Semua senjata masuk melalui berbagai jalur tikus di perbatasan Filipina dan Sulawesi Utara. Meski sebagian telah dimusnahkan pasca Perjanjian Damai Malino I dan II, kelompok-kelompok terorisme yang muncul kemudian diduga kuat menggunakan sisa-sisa senjata dalam konflik tersebut.
Saat berpangkat Mayor, Frans Wuwung menjadi salah satu perwira yang dikirim ke Jerman Barat untuk mengikuti pendidikan kapal salam. Di sana dia terlibat langsung dalam proses uji coba Cakra dan Nanggala sebelum berlayar menuju Surabaya. Salah satunya adalah menguji kekuatan stuktur rangka bodi kedua kapal selam itu hingga 30 atmosfer absolut. Artinya, kedua kapal selam itu mampu menyelam hingga kedalaman maksimal 300 meter. “Kalau lebih dari itu akan terjadi destruction depth,” kata Frans Wuwung.
Dari galangan kapal Howaldswerke Deutsche Werf di Kiel, Cakra dan Nanggala berlayar selama dua bulan menuju Surabaya. Letkol Antonius Sugiarto memimpin pelayaran Cakra dan tiba pada 4 Juli 1981. Nanggala yang dipimpin Letkol Arman Aksa tiba tiga bulan kemudian.
Kenapa Indonesia membeli kapal selam buatan Jerman Barat? Benarkah itu dilakukan atas rekomendasi BJ Habibie? Simak selengkapnya Blak-blakan Laksda (Purn) Frans Wuwung, “Misi Nanggala Ciutkan Australia” di detikcom, Senin (26/4/2021)