Mereka harus sembuh: mencari celah menangani penderita TBC di Kotamobagu

Sejumlah persoalan dihadapi petugas kesehatan dalam menangani penderita TBC, meski begitu mereka tak urung bekerja.

Mereka harus sembuh: mencari celah menangani penderita TBC di Kotamobagu

Sejumlah persoalan dihadapi petugas kesehatan dalam menangani penderita TBC, meski begitu mereka tak urung bekerja.
Highlights
  • “Kita harus akui fasilitas kita belum memadai. Meski demikian berbagai upaya inisiatif kita terus lakukan, salah satunya melalui program women to women"

Matahari belum terik, udara pagi masih terasa sejuk. Orang-orang berbaris mengantre di loket. Dari balik kaca terlihat petugas berseragam putih serius membagi kartu. Tak jauh, ada lorong penghubung antara bangunan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu. Dari lorong tersebut, seorang perempuan perlahan menuju ruang khusus penanganan layanan tuberkulosis-kusta (TK).

Perempuan berinisial M itu sejak Januari rutin mendatangi ruangan TK Puskesmas Motoboi Kecil berkonsultasi perkembangan kondisi kesehatannya. M adalah pasien positif tuberkulosis (TBC) dengan status MDR (multidrug-resisten). Selain menderita TBC, M yang berusia 23 tahun, juga sedang hamil. Dia harus mengikuti dua penanganan pengobatan sekaligus, penyakit dalam, dan obgyn (obstetri dan ginekologi).

Kepada Zonautara.com, M mengaku tidak paham tentang TBC atau TB, yang merupakan penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberculosis yang juga bisa menyerang tulang, usus dan  kelenjar. TB bisa ditularkan melalui percikan ludah saat penderita berbicara, batuk atau bersin (droplet). Penyakit ini lebih rentan jika kekebalan tubuh rendah, misalnya penderita HIV.

Sementara seseorang dengan status TBC MDR seperti M adalah penderita jenis TBC yang kebal terhadap paling tidak, obat anti TBC lini pertama, yaitu Isoniazid dan Rifampisin. Hal itu bisa dipicu karena beberapa faktor antara lain, pemberian obat yang salah (baik jenis dan dosis), penderita TBC tidak menyelesaikan pengobatan dengan tuntas, atau kualitas obat yang buruk.

Kejar target eliminasi melalui pendekatan Women to Women

Saat ini TBC menduduki urutan kedua sebagai penyakit menular yang menyebabkan masalah kesehatan terbesar sesudah HIV. Dari data world health organization (WHO) menyebut, pada 2019 ada sebanyak 10 juta orang yang tercatat sebagai penderita TBC.  Dari jumlah tersebut, sebanyak 845.000 penderita atau sebesar 8,5 persen terdata di Indonesia, termasuk di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut).

Jumlah ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi dunia kesehatan secara global, apalagi sejak akhir 2019, dunia dibebani dengan persoalan Covid-19. Kini perhatian dunia terpusat pada penanganan pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama setahun. Padahal, Indonesia sudah menargetkan akan mengeliminasi TBC pada 2030 sesuai target dari WHO. Target itu tentu perlu dikaji lagi dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung.

Di Kotamobagu, jumlah kasus TBC terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2018 jumlah penderita TBC sebanyak 332 orang. Jumlah ini kian meningkat, tahun 2019 penderita TBC bertambah menjadi 342 orang. Namun pada tahun 2020, angka penderita yang tercatat menurun menjadi 247 orang. Tetapi turunnya angka penderita itu lebih disebabkan karena petugas kesehatan lebih fokus menangani kasus Covid-19.

 

Meski demikian, berbagai upaya strategis terus didorong oleh Dinkes Kotamobagu agar proses eliminasi TBC pada tahun 2030 bisa dicapai. Salah satunya berinovasi dengan Program Women to Women yang responsif gender.  Sebab pada tataran prespektif gender, seringkali kelompok perempuan, minoritas dan kelompok rentan mendapatkan hambatan dalam mengakses layanan kesehatan yang disebabkan oleh berbagi faktor, sebagaimana yang dialami M pada saat penjaringannya sebagai penderita TBC.

Sempat menolak pengobatan

M pertama kali terjaring positif TBC pada November 2020, tetapi gagal berobat karena menolak dan tidak ingin pendampingan petugas. Dia kembali terjaring pada Januari 2021 saat sedang memeriksa kehamilannya di bidan kelurahan. Pemerintah kelurahan tempatnya tinggal dilibatkan agar M paham pentingnya berobat.

Berat badannya merosot tajam, batuk yang diderita telah berminggu-minggu lamanya. Sementara dia sedang hamil.

“Belajar dari penjaringan M sebelumnya, Puskesmas langsung melakukan tindakan jemput bola. Bersama pemerintah kelurahan, petugas kami mendatanginya lalu melakukan pendekatan,” kata Kepala Puskesmas Motoboi Kecil, Linda Mokodongan, Rabu (7/4/2021).

Pendekatan itu membuahkan hasil setelah M diyakinkan bahwa suami dan orangtuanya akan ikut mendampingi pengobatannya.

“Kami menjelaskan tentang bahaya penularan dan risikonya yang tidak hanya berpengaruh terhadap M atau orang sekitar, tetapi juga pada janin yang dikandung,” jelas Linda.

Kepada petugas Puskesmas, M mengutarakan kekhawatirannya. Tak hanya batuk yang membuat dirinya tak nyaman, M juga khawatir dengan biaya pengobatan, pun dengan sikap warga sekitar yang akan mengucilkannya jika tahu dia mengidap TBC. Selama ini, M tidak tahu jika pengobatan untuk penderita TBC gratis. Sehingga saban terganggu dengan batuknya, M memilih mengonsumsi obat warung. Kadang kalau sudah tidak tahan, M mengunjungi mantri terdekat.

“Beberapa kali batuk saya sempat mereda. Tapi  kambuh lagi. Saya kemudian diberitahu jika batuk yang susah sembuh bisa jadi karena obat KB. Lalu saya berhenti minum obat KB, dan yang terjadi bukan batuk saya sembuh justru saya positif hamil,” kata M saat ditemui di rumahnya Kamis, (22/04/2021).

M semakin khawatir karena berat badannya drop hingga 29 kilogram sementara dia sedang hamil. Anaknya yang berumur 6 tahun baru masuk sekolah, sementara suaminya hanya buruh bangunan harian.

Pemerintah Kelurahan juga sempat menjanjikan bantuan biaya pengobatan bagi M, terutama biaya transportasi saat berobat ke Manado. M sempat diopname di rumah sakit di Manado yang berjarak sekitar 200 KM dari tempat tinggalnya.

M masuk dalam kelompok rentan sebagai keluarga miskin dan beberapa keluarganya memiliki riwayat TBC.  M merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kakak perempuannya MS (25), lebih dulu dinyatakan positif TB, dan baru kelar menjalani pengobatan. Kakeknya juga sempat mengidap penyakit serupa sebelum meninggal. Begitu pula dengan sang ibu, US (50) yang sekarang mengurusi M. US tak kelar menjalani masa pengobatan selama 6 bulan, Pada bulan kelima, US sempat dianjurkan berganti obat dengan metode suntik, tapi karena merasa fisiknya tidak mampu, US memilih untuk tidak melanjutkan proses pengobatannya.

Proses pemetaan kondisi keluarga rentan seperti keluarga M sebagai langkah awal deteksi penderita TBC sepertinya masih kurang maksimal. Sekretaris Kelurahan tempat M tinggal mengakui, tidak tahu menahu riwayat penyakit yang telah diderita keluarga M selama ini. Bahkan, baru mengetahui jika M positif TBC dari petugas kesehatan.

“Intinya kami hanya sebatas memfasilitasi Dinkes. Soal beberapa anggota keluarganya yang juga pernah sakit serupa kami tidak tahu,” kata Sekertaris Kelurahan, Kamis, (22/04/2020).

Puskesmas Motoboi Kecil

Kendala penanganan

Bersikap terbuka tidak lantas membuat masalah penanganan M berjalan dengan mudah. Meski obat TBC Sepenuhnya ditanggung pemerintah, belum adanya poli TB di Rumah Sakit Daerah (RSUD) Kotamobagu menjadi persoalan lain. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, pasien TBC yang terdeteksi harus ke Manado. Ini membebankan penderita apalagi dari kelompok rentan.

Di pihak Dinkes sendiri, persoalan anggaran menjadi faktor yang krusial dalam penanganan eliminasi TB.  Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kotamobagu, Lindawati Hasan mengakui hal ini. Selain itu persoalan logistik seperti obat dan yang non obat (screening, catrige uji coba, dan lain-lain), dua tahun terakhir ini masih terbilang minim.

“Kita harus akui fasilitas kita belum memadai. Meski demikian berbagai upaya inisiatif kita terus lakukan, salah satunya melalui program women to women itu, kata Lindawati, Senin (5/4/2021).

Program Women to Women menitikberatkan pendekatan melalui perempuan, baik dari sisi kader maupun pada keluarga pasien.

“Semua kader TB di Kotamobagu itu perempuan. Kita beri pelatihan agar pendekatan dilakukan juga melalui perempuan yang ada di keluarga penderita. Kita berharap bisa melakukan pendekatan heart to heart. Perempuan lebih didengar,” jelas Lindawati.

Meski program ini baru sebatas inisiasi Dinkes Kotamobagu, namun diakui cukup berhasil.

“Kami lakukan pendekatan baik melalui ibu, istri ataupun anak perempuan pasien. Mereka diberi pemahaman soal pentingnya pengobatan, cara mencegah penularan, TBC itu bisa sembuh, dengan harapan mereka memberikan motivasi terhadap anggota keluarga yang sakit agar mau berobat,” jelas Penanggungjawab Program Turbekolosis-Kusta Puskesmas Motoboi Kecil, Ayunita Mokoagow.

Dengan pendekatan itu petugas kesehatan bisa memantau M selama 24 jam, karena yang paling tahu kondisi di rumah M adalah anggota keluarganya, terutama ibunya, meski M punya suami.

“Syukurlah ada ibu, pokoknya segala apa yang saya perlukan atau yang harus saya lakukan ada ibu yang menemani. Suami memang juga menyemangati, tapi tidak bisa menemani terus karena dia harus kerja,” terang M.

Dinkes Kotamobagu telah berencana mengusulkan program Women to Women menjadi program tetap Pemerintah Kota, namun sayang masih terkendala dengan penanganan Covid-19.

Kepala Budang Kesmas dan P2P Dinkes Kotamobagu, Lindawati Hasan. (Foto: Zonautara.com/Neno Karlina)

Membantu keluar dari stigma

Kendala lain dalam penanganan pasien TBC diungkap oleh pihak Puskesmas Motoboi Kecil. Menurut mereka, selain tingkat pemahaman yang rendah dari masyarakat, persoalan biaya juga masih merupakan faktor terbesar enggannya penderita berobat, apalagi beberapa tahap pengobatan itu harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang ada di Manado.

M membenarkan itu, meski sudah dibantu lewat dana dari kelurahan, namun saat  berada di Manado, ibunya kesulitan biaya pemondokan selama dia diopname.

“Syukurlah sekarang, obat tidak perlu lagi diambil di Manado,” ungkap M.

Ayunita menjelaskan untuk meringankan M, pihak Puskesmas yang berinisiatif mengambil obat di Manado. Jadi M tak perlu keluar ongkos transportasi ke Manado yang lumayan besar.

“Kami berupaya sebisa mungkin membantu, sebab bagaimana pun M berada di wilayah kami. Terkadang saya dan Kepala Puskesmas harus memutar otak dan berinisiatif, agar semua pasien kami sembuh. Selain memang karena sudah tugas kami, anggaplah sebagai kerja-kerja kemanusiaan. Mereka harus sembuh,” ujar Ayunita.

Ayunita menjelaskan kendala lain adalah stigma, meski selama pandemi, stigma terhadap penderita TBC berkurang, karena banyak penderita yang sudah secara terbuka mau berobat.

Menurut Ayunita, stigma tak hanya datang dari luar, tak jarang stigma justru muncul dari dalam diri penderita. Hal ini membuat mereka cenderung tertutup, minder dan terganggunya kondisi psisikolagi.

“Mereka telah menstigma diri mereka sendiri, sehingga memang tidak bisa hanya berharap kesembuhan dari obat, butuh penguatan, pendampingan dan kerjasama banyak pihak,” kata Ayunita.

Stigma negatif sebagai penderita TBC dirasakan juga oleh salah seorang mahasiswi universitas swasta di Makasar. Saat ditemui di Puskesmas Motoboi Kecil, penyintas perempuan ini mengakui tidak mudah bagi seorang penderita TBC bisa bersikap terbuka.

Warga Kecamatan Kotamobagu Selatan ini menceritakan, saat pertama kali terjaring di Makasar, dirinya mengalami stres. Ia harus pulang ke Kotamobagu (karena pandemi) dan melanjutkan pengobatan di Puskesmas Motoboi Kecil.

“Alhamdulilah sudah sembuh. Dari sejak awal sakit yang tahu hanya petugas TB Puskesmas, dan kedua orangtua saya. Orangtua saya sengaja tidak memberitahukan kepada keluarga lainnya, agar saya fokus pada pengobatan,” ujarnya.

Menurutnya tanpa stigma pun, secara mental penderita sudah mengalami tekanan yang besar. Belum lagi, harus menjalani proses pengobatan yang memakan waktu tidak pendek dan harus berhadapan dengan efek obat TB yang beragam.

Selain itu, dirinya mengakui jika peran ibu sangat besar dalam proses penyembuhannya.

”Tanpa kuasa Allah SWT, bantuan petugas TB, dan orangtua, terutama ibu, mungkin saya tidak bisa sembuh dan berani berbagi kisah seperti ini. Jika di Puskesmas ada petugas yang intens mengontrol saya, maka di rumah ada ibu yang menjadi perawat. Tidak hanya terhadap saya, tetapi semua anggota keluarga agar tidak terjangkit, tanpa diketahui orang lain,” pungkasnya.

Disclaimer: Demi menjaga kerahasian data dan kenyamaan penderita TB, nama dan alamat beberapa narasumber tidak kami sebutkan secara detail.


Neno Karlina Paputungan

Neno merupakan jurnalis perempuan yang tinggal di Kotamobagu. Bergabung dengan Zonautara.com sejak Maret 2020, setelah sebelumnya menjadi kontributor lepas. Laporan ini merupakan kali kelima fellowship liputan yang dikerjakan Neno. Sebelumnya dia juga mengerjakan liputan soal Susah Susah Gampang Dapat Bantuan

Neno Karlina


Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article