ZONAUTARA.com – Sudah dua tahun ini Gusnar Kobandaha (37) dapat menyenangkan putrinya Nazwa menonton film favoritnya melalui siaran televisi. Rumah mereka kini dilengkapi peralatan elektronik, karena PLN telah memasok jaringan listrik ke desa mereka, Mengkang, sebuah desa di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
PLN membangun jaringan listrik ke salah satu desa terpencil di Bolmong ini sejak 2019. Dulunya Mengkang tidak teraliri listrik dari PLN. Mereka menggantungkan pasokan listrik dari turbin pembangkit mikrohidro atau pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan kincir.
Adalah Marsidi Kadengkang, kepala desa Mengkang waktu itu yang mencetuskan ide memanfaatkan debit aliran sungai yang melintasi desa. Mengkang yang berjarak sekitar 75 kilometer dari ibukota kabupaten itu terletak nyaris di tengah hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Sebuah sungai membelah desa Mengkang, energi dari alirannya dimanfaatkan memutar kincir pada instalasi sederhana yang dibangun Marsidi dengan warga desanya.
Inisiatif Marsidi yang dimulai pada tahun 2005 itu mampu memasok listrik terhadap 60 rumah tangga yang masing-masing mendapat jatah 150 watt dan penerangan jalan. Warga Mengkang yang mendapat aliran listrik dari energi terbarukan ini cukup membayar Rp10.000 per bulan.
Atas inisiatifnya menerangi desa dari energi terbarukan itu, Marsidi berulang kali mendapat penghargaan dari berbagai lembaga. Salah satunya dari Canadian International Development Agency (CIDA) pada 2012. Dia juga diganjar Penghargaan Kalpataru pada 2019.
Tapi sayang, kisah sukses Marsidi yang mengaliri desanya dengan listrik dari air tak lagi berlanjut. Kini warga desa Mengkang telah bergantung listrik dari pasokan PLN. Meski membawa banyak keuntungan dibanding pembangkit mikrohidro yang dibangun Marsidi, namun listrik dari PLN berbiaya mahal.
PLN mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar Mengkang bisa dialiari listrik. Manejer Bagian Keuangan, SDM dan Administrasi PT PLN (Persero) UP3 Kotamobagu, Muhammad Naufal mengakui bahwa rata-rata pelanggan di Mengkang adalah pengguna listrik bersubsidi.
“Kalau bicara untung rugi, ya jelas rugi,” ujar Muhammad akhir pekan lalu.
Padahal jika pembangkit listrik dari kincir air yang telah dirintis oleh Marsidi itu mendapat topangan Pemerintah Kabupaten Bolmong, mungkin PLN tak perlu mengeluh soal untung rugi di Mengkang. Meski masih bisa berfungsi, namun pembangkit listrik yang dibangun Marsidi sudah tidak produktif, kalah jika dibanding aliran listrik dari PLN.
Kepala Bidang ESDM Dinas Perdagangan dan ESDM Bolmong, Manan Tungkagi secara terang-terangan mengakui tidak akan melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh Marsidi di Mengkang. Dia beralasan kewenangan soal energi baru terbarukan (EBT) sudah ditarik pemerintah pusat.
“Jadi daerah tidak akan merencanakan EBT, meski potensinya ada. Tidak ada juga landasan regulasi yang mengatur,” jelas Manan pekan lalu.
Menurut Manan, pihaknya hanya bisa berharap ada pihak swasta yang berinvestasi di sektor EBT di Bolmong.
Miliki potensi
Mengkang bukan satu-satunya desa di Bolmong yang memiliki potensi EBT. Kabupaten terluas di Sulut ini (2.871,65KM2 – BPS Sulut 2020) punya sumber-sumber EBT di beberapa tempat. Wilayah Bolmong yang menjadi lumbung padi bagi masyarakat Sulut, bahkan punya dua bendungan berukuran sangat besar.
Kepala Bidang Perencanaan Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan BAPPEDA Bolmong, Sucipto Mokoginta mengatakan bahwa selain EBT dari air, Bolmong juga memiliki potensi EBT dari panas bumi, tenaga surya dan tenaga angin.
Bahkan sebenarnya pemanfaatan EBT dari air sudah ada yang jalan, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) Lobong berkapasitas 1,8 MW dan PLTM Mobuya yang berkapasitas 3 MW.
“Ada pula yang belum diusahakan yakni di Desa Totabuan, Desa Pomoman dan Desa Apado,” jelas Sucipto.
Baik BAPPEDA Bolmong maupun Dinas ESDM Bolmong tak dapat menyebut angka pasti berapa sebenarnya potensi EBT yang dimiliki daerah ini. Namun dari hitungan berdasarkan dokumen RTRW Bolmong, setidaknya ada potensi listrik EBT sebesar 40,88 MW yang bisa dihasilkan dari PLTM dan PLTA.
Dari 40.88 MW itu baru 4,8 MW yang sudah diproduksi dari PLTM Lobong dan PLTM Mobuya. Kapasitas terpasang EBT ini baru bisa memenuhi 10 persen dari beban puncak yang ditanggung PLN di wilayah Bolmong dan Kotamobagu.
Menurut Sucipto tidak berkembangnya EBT di Bolmong karena kurangnya investor yang benar-benar serius menggarap potensi ini. Selain itu banyak lokasi yang punya potensi EBT ada di dalam kawasan konservasi, yang akan membutuhkan proses panjang saat pengurusan ijin.
Alasan soal regulasi pengembangan EBT yang sudah ditarik ke pusat dan kurangnya minat investor itu dapat dimaklumi, tetapi semestinya Pemkab Bolmong harus pula memberi perhatian terhadap potensi EBT lain selain air untuk pembangkit listrik.
Energi panas bumi yang dimiliki oleh Bolmong sejatinya dapat dikembangkan untuk kesejahteraan warga sekitar. Tak melulu harus sumber tenaga air untuk pembangkit listrik. Sebut saja energi panas bumi yang berada di Desa Pusian dan Desa Tambun, Kecamatan Dumoga.
Biodiversity Conservation Officer WCS Indonesia Programme- Sulut, Alfons Patandung, pada kesempatan berbeda menjelaskan, bahwa panas bumi di dua desa itu telah memberi manfaat pada ekowisata.
“Di Pusian dan Tambun lewat program konservasi yang dimiliki Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan bekerjasama bersama kami, kini menjadi rumah bagi burung endemik Sulawesi terancam punah Maleo sengkawor,” ujar Alfons.
Kehadiran burung unik yang hanya akan meletakkan telurnya di lokasi yang ada sumber panas bumi telah menjadikan dua lokasi itu sebagai destinasi wisata konservasi.
Selain itu, panas bumi di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan yang telah dimanfaatkan warga desa menjadi wisata air panas dan agroindustri pengering hasil bumi, semestinya menjadi contoh yang baik bagi Pemkab Bolmong untuk mengembangan jenis EBT selain air.
Ketiadaan anggaran juga menjadi salah satu persoalan dalam pengembangan potensi EBT di Bolmong. Hal itu diakui oleh Kepala Bidang ESDM Dinas Perdagangan dan ESDM Bolmong, Manan Tungkagi.
“Kami hanya dapat alokasi anggaran sebesar Rp 40 juta per tahun untuk ESDM. Itu hanya bisa untuk pengawasan saja,” kata Manan.
Menurut Manan, pekerjaan mereka di bidang EBT saat ini hanya sebatas mendata saja lalu menyampaikan itu ke pusat.
“Tahun 2019 kami pernah mengajukan permohonan penelitian potensi panas bumi dan rencananya hasil penelitian itu akan kami sampaikan ke pemerintah pusat melalui provinsi. Tetapi karena pandemi, anggarannya dipangkas dan kegiatannya tidak jadi dilaksanakan,” jelas Manan.
Potensi besar dan target 23%
Pemerintah Indonesia telah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025. Target itu bertujuan mengurangi penggunaan energi dari fosil, agar lebih ramah lingkungan.
Menurut data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi (EBTKE), hingga saat ini pemanfaatan EBT di Indonesia mencapai 10,4 GW atau sekitar 2,5% dari total potensi 417,8 GW dan biofuel sebesar 10 Juta KL dari total potensi 12 Juta KL.
Dikutip dari website ebtke.esdm.go.id, Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana mengakui bahwa target 23% pada 2025 itu cukup besar. Dalam situasi seperti sekarang ini, Dadan mengusulkan strategi pengembangan EBT, antara lain pertama substitusi untuk energi primer, yang tidak akan mengganti teknologi utamanya, seperti contoh Cofiring Biomassa yang tetap menggunakan PLTU yang sama. Kedua, konversi energi primer, yang membutuhkan konversi dari segi teknologi. Setelah mulai pulih dari sisi pertumbuhan ekonomi, maka strategi yang ketiga adalah penambahan kapasitas Pembangkit EBT.
Pemerintah menurut Dadan sedang menyiapkan berbagai perangkat pendukung untuk menambah daya tarik investasi bagi energi terbarukan. Program-progam pengembangan EBTKE yang juga disiapkan, antara lain, mendorong peningkatan kapasitas PLT EBT dengan memastikan komitmen pihak terkait dalam pengembangan PLT EBT sesuai RUPTL; Pengembangan PLTS dan PLTB skala besar untuk menciptakan pasar yang menarik bagi investor dan mengembangkan industri lokal.
Strategi lainnya adalah peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah, untuk mengurangi risiko eksplorasi yang dihadapi pengembang; fasilitas pendanaan berbiaya rendah untuk investasi Energi Terbarukan; dan memanfaatkan waduk untuk PLTS terapung sebagaimana diatur dalam Permen PUPR No. 6 Tahun 2020.
Wakil Direktur Eksekutif YAPEKA, Agustinus Wijayanto menjelaskan bahwa Sulawesi Utara sebenarnya memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT.
“Wilayah ini punya cadangan energi yang terbarukan baik itu energi berasal dari matahari, angin, air, biogas maupun arang aktif,” jelas Agustinus, Minggu (20/6/2021).
Menurut Agustinus, yang pernah mendampingi Marsidi Kadengkang mengembangkan PLTMH di Mengkang, potensi EBT juga tersebar di wilayah Bolmong.
“Untuk Bolmong prospeknya cukup besar, terutama air, biogas dan energi matahari. Hanya saja perlu kajian lebih lanjut,” kata Agustinus.
Potensi yang dimiliki ini dan jika melihat strategi dari EBTKE yang didorong Kementerian ESDM, semestinya Pemkab Bolmong lebih agresif mengupayakan pengembangan EBT di wilayahnya. Strategi pemanfaatan waduk untuk PLTS terapung itu misalnya, dapat didorong dikembangkan di Bolmong mengingat Bolmong memiliki dua bendungan raksasa.
Hal lain yang perlu didorong adalah pemanfaatan tenaga surya melalui PLTS skala besar yang bisa didanai dari dana desa. Beberapa desa di Bolmong telah berinisiatif membangun instalasi penerangan jalan melalui panel tenaga surya.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Kabupaten Bolmong tentang RTRW 2014-2034 sebenarnya telah memuat ambisi Pemkab Bolmong mengembangan EBT. Pada pasal 14 tentang sistem jaringan energi serta lampiran dokumen RTRW itu, menyebut soal rencana pengembangan listrik PLTA Poigar II dengan kapasitas kurang lebih 32MW, PLTMH Mokabang (2,51 MW), PLTM Apado (0,28 MW), PLTM Kinali (1,18 MW), serta PLTM Bilalang (0,29MW).
Jika ambisi ini bisa diseriusi niscaya daftar tunggu sambungan listrik di wilayah PLN UP3 Kotamobagu yang juga mencakup wilayah Bolmong sebesar 12 MW dapat teratasi bahkan dapat mensubsidi ke wilayah lain dalam sistem interkoneksi kelistrikan Sulut – Gorontalo.
Menurut Manajer Bagian Keuangan, SDM dan Administrasi PT PLN (Persero) UP3 Kotamobagu, Muhammad Naufal, beban puncak di wilayah UP3 Kotamobagu saat ini mencapai 45 MW.
Bolmong sejatinya tak perlu khawatir dengan pengembangan EBT terutama di setor pembangkit listrik dari EBT. Bolmong dapat belajar dari daerah tetangganya di Sulut, misalnya Minahasa yang punya tiga PLTA, yakni PLTA Tonsea Lama, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II. Bahkan PLTA Tonsea Lama yang merupakan bagian dari sistem kelistrikan Sulut-Gorontalo adalah PLTA tertua di Indonesia.
Beberapa daerah di Sulut juga telah berhasil memanfaatkan tenaga surya menjadi sumber listrik seperti beberapa wilayah di kabupaten Sangihe. Begitu pula dengan penggunaan biogas di Minahasa Utara.
“Praktik penggunaan EBT di Sulut sebenarnya sudah jalan, misalnya PLTS di pulau-pulau terluar, beberapa upaya pembangkit mikrohidro dan juga penggunaan biogas,” terang Agustinus.
Jika semangat menggunakan energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan ini ada di pengambil kebijakan di Bolmong, niscaya kincir air yang dibangun dengan jerih payah Marsidi Kadengkang di Mengkang bisa terus berputar hingga saat ini. Dan kebanggaan pada Penghargaan Kalpataru itu tetap terjaga sebagai pengingat bagi anak cucu masyarakat Bolmong kelak, bahwa bumi suatu saat akan kehabisan energi dari fosil.