ZONAUTARA.COM – Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, DPR justru membuat kebijakan yang memicu polemik. Pasalnya, anggota dewan hingga staf ahli yang terpapar Covid-19 dan isolasi mandiri disediakan fasilitas hotel bintang tiga oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI.
Hal tersebut dilakukan di tengah situasi krisis yang disebabkan melonjaknya kasus Covid-19. Padahal, kini masyarakat banyak yang terpapar dan kesulitan untuk mendapat fasilitas kesehatan, termasuk tempat untuk isolasi mandiri.
Belakangan juga banyak data laporan mengenai pasien Covid-19 yang meninggal saat isolasi mandiri.
Berdasarkan data LaporCovid terbaru, Rabu (28/7) sebanyak 2.706 pasien Covid-19 yang meninggal saat isolasi mandiri.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyayangkan kebijakan Setjen DPR RI di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Keputusan itu sekaligus menambah daftar panjang polemik yang ditimbulkan DPR selama pandemi.
“Fasilitas khusus isoman di hotel bagi anggota DPR yang sudah diputuskan Sekjen kembali menambah deretan kebijakan DPR yang memperlihatkan minimnya kepedulian dan empati pada nasib rakyat yang di saat bersamaan juga mengalami kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan dan isoman,” kata Lucius saat dihubungi Liputan6.com, Rabu.
Kebijakan serupa sejatinya telah terlihat sejak awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Catatan Formappi, Maret 2020 lalu kebijakan DPR melakukan rapid test kepada 2 ribu anggota dewan dan keluarganya menuai kecaman, karena saat itu ketersediaan alat tes masih terbatas dan mahal.
Kondisi serupa kembali diperlihatkan anggota DPR saat secara diam-diam mengajak keluarganya melakukan vaksinasi Covid-19 pada Februari 2021 lalu. Belum lagi soal permintaan prioritas ICU, hingga kebijakan pelat kendaraan khusus anggota DPR.
“Setiap kebijakan yang spesial bagi anggota DPR ini selalu direspons dengan kritik oleh publik. Sayangnya semua protes dan kritikan itu nampak dianggap angin lalu. Maka bukan hanya kebijakannya saja yang membuat DPR dianggap tak peduli, tetapi juga soal respons mereka pada suara publik,” tutur Lucius.
Menurut Lucius, ketidakpedulian DPR kepada suara rakyat adalah sesuatu yang kontras. Sebab secara kelembagaan, DPR adalah satu-satunya lembaga yang bekerja atas kepercayaan untuk mewakili rakyat di hadapan kebijakan pemerintah.
Karenanya, kebijakan DPR harus berdasarkan aspirasi dan kondisi rakyat. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, DPR seharusnya menghadirkan wajah perwakilan rakyat yang sedang tak berdaya dilanda krisis akibat pandemi Covid-19.
Namun faktanya, kebijakan yang muncul selama pandemi justru menunjukkan ketidakpedulian DPR terhadap kondisi rakyat yang mereka wakili.
“Bagaimana DPR mau mewakili rakyat kalau ternyata hanya sibuk mengurusi fasilitas buat mereka sendiri ketika fasilitas serupa nyatanya juga sangat dibutuhkan rakyat kebanyakan? Tentu sangat mengecewakan,” katanya.
Lucius lantas mengkritik alasan Sekjen DPR yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut sesuai aturan pemerintah, dalam hal ini Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Negara nomor 308 tahun 2020 dan SE Dirjen Perbendaharaan Negara nomor 369 Tahun 2020.
“Saya kira itu terlihat konyol. DPR itu lembaga yang membuat UU, sumber semua aturan. DPR juga lembaga yang memantau pelaksanaan peraturan, termasuk mengawasi produk aturan yang dibuat kementerian. Dengan kewenangan yang kuat dan tinggi, DPR tak bisa berkilah untuk kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai acuan tak terbantahkan dalam hal kebijakan itu sesungguhnya keliru, berlebihan, dan lain-lain. Maka DPR mestinya bisa mengkritisi kebijakan pemerintah yang menjadi rujukan munculnya aturan yang memberikan fasilitas khusus kepada mereka,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, kinerja DPR mengacu pada suara dan kebutuhan rakyat. Atas nama rakyat pula, DPR seharusnya kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sekalipun menguntungkan para anggota dewan.
“Kalau DPR nurut saja karena menguntungkan mereka, ya maka DPR memang jelas tak peduli dan mau diistimewakan. Maka penerimaan mereka atas kebijakan fasilitas khusus isoman tentu membuktikan bahwa mereka hanya kritis terhadap pemerintah kalau kebijakan pemerintah tak menguntungkan mereka. Kalau memberikan kemudahan dan kemewahan, maka DPR tak mau tahu akan mendukungnya,” ucap Lucius.
Yang tak kalah memprihatinkan dari kebijakan ini tentu soal penggunaan uang negara di saat perekonomian sedang lesu akibat pandemi. Belum lagi penanganan Covid-19 nasional yang juga masih membutuhkan alokasi anggaran yang tak sedikit.
Sekalipun dana yang digunakan untuk isoman di hotel ini diambil dari anggaran kontijensi perjalanan luar negeri dan kegiatan narasumber anggota DPR yang tak terpakai, tetap saja itu adalah uang negara.
Menurut Lucius, APBN Indonesia sudah sangat terbebani dengan kondisi pandemi yang belum jelas kapan berakhirnya. Banyak anggaran yang dialihkan untuk penanganan Covid-19. Jika banyak anggaran di DPR yang tak terpakai, seharusnya bisa diserahkan ke pemerintah untuk kebutuhan prioritas.
“Anggaran negara sudah susah payah dijatah agar bisa segera memulihkan situasi pandemi. Maka kepedulian adalah hal utama. DPR yang paling tahu anggaran, mestinya menjadi yang terdepan menunjukkan kepedulian itu melalui sikap dan keputusan yang bijaksana dan tak melukai hati rakyat,” kata Lucius.
Dia juga meminta agar anggota DPR, pegawai dan staf ahli yang terpapar Covid-19 memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah, sama seperti masyarakat umum lainnya.
Tidak menutup kemungkinan pelayanan kesehatan akan semakin terbagi jika DPR tetap membangun fasilitas sendiri. Lucius juga menilai anggota dewan dan para staf ahlinya ingin diutamakan.
“Sedangkan rakyat biasa bisa ditelantarkan,” tandasnya.
| Liputan6